282 Wajib Pajak Diduga Manipulasi Ekspor Sawit, Negara Rugi Triliunan Rupiah

Operasi gabungan skala besar yang melibatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, serta Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara Polri berhasil membongkar praktik manipulasi ekspor produk turunan minyak sawit mentah (CPO) yang terstruktur dan masif. Praktik ilegal ini diperkirakan telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah dan berpotensi melibatkan ratusan entitas perusahaan di seluruh Indonesia. Pengungkapan ini menjadi sorotan utama dalam upaya pemerintah memperketat pengawasan terhadap komoditas strategis dan memberantas praktik ekonomi bayangan.
Insiden krusial yang memicu pengungkapan ini terjadi di Buffer Area MTI NPCT, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, salah satu gerbang utama perdagangan internasional Indonesia. Dalam operasi yang dirancang secara cermat, tim gabungan berhasil mengamankan 87 kontainer yang memuat total 1.802 ton produk turunan CPO. Barang-barang sitaan ini, yang diperkirakan bernilai Rp28,7 miliar, adalah milik PT MMS, sebuah perusahaan yang kini menjadi fokus penyelidikan. Penangkapan ini bukan sekadar penegakan hukum biasa, melainkan puncak dari investigasi mendalam terhadap pola-pola penghindaran pajak dan manipulasi dokumen ekspor yang semakin canggih.
Modus operandi yang digunakan oleh PT MMS dan entitas lain yang dicurigai adalah menyamarkan produk turunan CPO sebagai "fatty matter", sebuah komoditas yang secara administratif tidak dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor. Padahal, secara substansi, barang yang diekspor tersebut adalah turunan CPO yang seharusnya tunduk pada kewajiban pungutan dan bea ekspor sesuai peraturan yang berlaku. Pejabat DJP dalam keterangan resminya menegaskan bahwa praktik ini merupakan bentuk nyata dari penghindaran pajak dan manipulasi dokumen ekspor yang merugikan negara secara signifikan. "Pelaku berupaya menghindari kewajiban pajak dengan menyamarkan komoditasnya agar terlihat legal secara administratif. Praktik ini merupakan bentuk penghindaran pajak dan manipulasi dokumen ekspor yang terencana dan merugikan," jelasnya.
Selain penyamaran jenis komoditas, tim gabungan juga menemukan indikasi kuat praktik underinvoicing, yaitu pelaporan nilai barang ekspor yang lebih rendah dari harga sebenarnya di pasar internasional. DJP memperkirakan bahwa potensi kerugian negara dari praktik underinvoicing saja bisa mencapai sekitar Rp140 miliar, hanya dari kasus PT MMS dan beberapa entitas terkait yang sedang diselidiki awal. Kerugian ini berasal dari selisih antara nilai yang dilaporkan dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dengan harga riil di pasar global, yang secara langsung mengurangi dasar pengenaan pajak dan bea keluar.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa modus operandi ini menunjukkan pergeseran pola dari praktik sebelumnya yang terjadi pada periode 2021 hingga 2024. Kala itu, para eksportir seringkali melaporkan produk ekspornya sebagai POME Oil (Palm Oil Mill Effluent Oil) atau limbah cair sawit, juga dengan tujuan menghindari pungutan ekspor. Adaptasi modus dari POME Oil ke "fatty matter" ini mengindikasikan tingkat kecanggihan dan fleksibilitas para pelaku dalam mencari celah hukum untuk menghindari kewajiban fiskal. Ini menunjukkan bahwa otoritas harus selalu selangkah lebih maju dalam mengidentifikasi dan menutup celah-celah tersebut.

Penemuan yang paling mencengangkan dari penyelidikan sementara adalah dugaan keterlibatan sebanyak 282 wajib pajak atau perusahaan dalam praktik serupa. Data awal menunjukkan bahwa total nilai Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari seluruh entitas tersebut mencapai angka fantastis, yakni Rp47,98 triliun. Angka ini bukan kerugian langsung, melainkan nilai total ekspor yang diduga dimanipulasi. Jika diasumsikan bahwa sebagian kecil saja dari nilai ini berhasil lolos dari pengenaan pajak dan bea keluar melalui praktik manipulasi, maka potensi kerugian negara dapat dengan mudah mencapai puluhan triliun rupiah. Angka ini menegaskan skala masalah yang dihadapi dan dampak masif terhadap penerimaan negara yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan.
Data komprehensif mengenai 282 wajib pajak ini telah dilaporkan secara resmi oleh DJP kepada Menteri Keuangan untuk ditindaklanjuti secara hukum. Kementerian Keuangan, melalui berbagai direktorat jenderal di bawahnya, berkomitmen penuh untuk mengambil langkah-langkah tegas. "282 wajib pajak ini akan segera menjalani pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, hingga penyidikan. Negara tidak akan mentolerir praktik manipulasi ekspor yang menggerus penerimaan negara dan memperkuat ekonomi bayangan," tegas DJP, menggarisbawahi tekad pemerintah untuk memberantas praktik ilegal ini hingga ke akar-akarnya.
Operasi ini bukan hanya sekadar penegakan hukum, tetapi juga merupakan bagian integral dari langkah strategis pemerintah untuk memperkuat pengawasan ekspor komoditas strategis, terutama minyak sawit. Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan tata kelola yang baik dan transparan dalam industri ini. Praktik underinvoicing dan penyamaran barang ekspor tidak hanya merugikan negara dari sisi pajak, bea keluar, dan pungutan ekspor, tetapi juga menciptakan "shadow economy" atau kegiatan ekonomi gelap yang merusak sistem keuangan nasional, mendistorsi pasar, dan menciptakan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha yang patuh.
Dampak dari praktik manipulasi ekspor ini meluas jauh lebih dari sekadar hilangnya penerimaan negara. Dana pungutan ekspor CPO, misalnya, sebagian besar dialokasikan untuk pengembangan industri sawit berkelanjutan, peremajaan kebun sawit rakyat, dan stabilisasi harga. Ketika dana ini berkurang akibat manipulasi, program-program vital tersebut terancam, berdampak langsung pada kesejahteraan petani sawit dan keberlanjutan industri secara keseluruhan. Selain itu, praktik ini juga merusak citra Indonesia di mata internasional sebagai negara yang berkomitmen pada praktik perdagangan yang adil dan transparan.
Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum lainnya kini akan memperkuat sinergi melalui pemanfaatan teknologi data analitik dan kecerdasan buatan untuk mendeteksi pola-pola manipulasi yang semakin kompleks. Analisis data lintas sektor dari DJP, DJBC, Kementerian Perdagangan, dan lembaga keuangan akan menjadi kunci dalam mengungkap jaringan pelaku kejahatan ekonomi ini. Selain itu, peninjauan ulang regulasi dan prosedur ekspor akan terus dilakukan untuk menutup celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh para manipulator. Edukasi kepada para eksportir mengenai pentingnya kepatuhan pajak dan bea cukai juga akan ditingkatkan, diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar.
Pemerintah menegaskan bahwa pengungkapan kasus ini hanyalah awal dari serangkaian tindakan lebih lanjut. Proses pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan akan dilakukan secara profesional dan transparan, dengan tujuan membawa para pelaku ke meja hijau dan memastikan bahwa kerugian negara dapat dipulihkan semaksimal mungkin. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengirimkan pesan kuat kepada seluruh pelaku usaha bahwa pemerintah tidak akan ragu menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat. Komitmen untuk menciptakan iklim investasi dan perdagangan yang sehat, adil, dan transparan tetap menjadi prioritas utama.
rakyatindependen.id




