476 Guru Honorer Sumenep Diusulkan Susulan PPPK, Berpotensi Dialihkan Jadi Tenaga Teknis

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), telah menetapkan kerangka kerja PPPK sebagai salah satu jalur bagi tenaga honorer untuk menjadi bagian dari ASN, dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan peningkatan kesejahteraan. Namun, implementasi di lapangan seringkali menghadapi tantangan, terutama terkait ketersediaan formasi yang sesuai dengan latar belakang dan pengalaman para honorer. Kasus 476 guru honorer di Sumenep ini adalah contoh nyata dari dilema tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep, Agus Dwi Saputra, menjelaskan secara rinci bahwa usulan awal formasi PPPK paruh waktu yang diajukan oleh pihaknya telah didasarkan pada kebutuhan riil di lapangan. Dari total 2.119 guru honorer yang tercatat di Sumenep, hanya 1.621 orang yang masuk dalam pengusulan tahap pertama. Penentuan jumlah ini, menurut Agus, sangat bergantung pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang menjadi rujukan utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Yang kami usulkan sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan dapodik. Jadi yang 476 kemarin itu tidak ikut diusulkan karena kebutuhan guru sudah terpenuhi," kata Agus pada Kamis lalu. Pernyataan ini menegaskan bahwa kuota guru telah dianggap mencukupi berdasarkan analisis data nasional, sehingga menyisakan ratusan guru honorer tanpa formasi yang jelas di bidang pendidikan.
Dapodik sendiri merupakan sistem pendataan nasional yang sangat krusial, mencakup data komprehensif mulai dari sekolah, peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, hingga substansi pendidikan. Keakuratan dan kelengkapan data di Dapodik menjadi fondasi bagi perencanaan kebijakan pendidikan, alokasi anggaran, dan penentuan formasi ASN di sektor pendidikan. Ketika Dapodik menunjukkan bahwa kebutuhan guru di Sumenep sudah terpenuhi, secara otomatis formasi untuk guru baru menjadi sangat terbatas, bahkan untuk guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi. Ini menciptakan paradoks: di satu sisi ada guru-guru honorer yang membutuhkan kepastian status, di sisi lain data resmi menunjukkan tidak ada lagi celah untuk formasi guru.
Munculnya usulan susulan untuk 476 nama guru honorer ini tidak lepas dari desakan kuat yang datang dari ratusan guru honorer itu sendiri. Merasa nasibnya terkatung-katung setelah tidak masuk dalam pengusulan awal, mereka secara kolektif menyuarakan aspirasinya, mencari dukungan dari berbagai pihak, termasuk Bupati Sumenep. Setelah melalui proses konsultasi dan pertimbangan mendalam dengan pimpinan daerah, Disdik Sumenep akhirnya mengajukan tambahan 476 nama ke Kemenpan-RB. Langkah ini menunjukkan adanya upaya politik dan administratif untuk merespons tekanan dari bawah dan mencari solusi bagi para pendidik yang terancam kehilangan kesempatan.
Namun, Agus Dwi Saputra memberikan penegasan yang cukup berat bagi para guru honorer tersebut. Ia menekankan bahwa usulan susulan ini tidak secara otomatis menjamin mereka akan ditempatkan sebagai guru. "Ya karena memang kebutuhan guru ini sudah tercukupi. Mau tidak mau usulan susulan ini nanti yang formasinya full, ya berubah menjadi tenaga teknis, bukan guru lagi," paparnya. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa meskipun ada upaya untuk mengakomodasi mereka, batasan formasi guru yang ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan Dapodik tetap menjadi kendala utama. Konsekuensinya, solusi yang ditawarkan adalah mengalihkan mereka ke formasi tenaga teknis, sebuah kategori yang mencakup berbagai pekerjaan administratif atau dukungan non-pengajaran di lingkungan pemerintahan daerah.
Pergeseran dari guru menjadi tenaga teknis bukanlah hal sepele. Bagi seorang guru, profesi mengajar adalah panggilan jiwa yang telah mereka geluti bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun. Menjadi tenaga teknis berarti harus meninggalkan identitas sebagai pendidik, beradaptasi dengan jenis pekerjaan yang berbeda, dan mungkin juga menghadapi skala gaji serta jenjang karier yang tidak sesuai dengan ekspektasi awal mereka sebagai guru. Ini berpotensi menimbulkan disonansi profesional dan psikologis, terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang atau minat pada pekerjaan teknis. Pekerjaan tenaga teknis bisa meliputi staf administrasi, pustakawan, laboran, atau petugas arsip, yang semuanya memerlukan keahlian berbeda dari pedagogi. Meskipun tujuannya adalah memberikan kepastian status ASN, metode ini bisa memicu rasa kecewa dan menurunkan motivasi.
Agus Dwi Saputra menambahkan bahwa seluruh berkas guru honorer yang diusulkan susulan sudah dilengkapi dan diserahkan kepada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Sumenep. Ini menunjukkan bahwa proses administrasi di tingkat lokal telah berjalan sesuai prosedur, memindahkan bola tanggung jawab ke BKPSDM untuk langkah selanjutnya. BKPSDM, sebagai ujung tombak manajemen kepegawaian di daerah, memiliki peran krusial dalam memproses usulan ini dan meneruskannya ke tingkat nasional.
Plt. Kepala BKPSDM Sumenep, Arif Firmanto, menegaskan kesiapan pihaknya untuk meneruskan usulan susulan tersebut. "Tugas kami hanya memproses, kemudian meneruskan usulan Dinas Pendidikan. Terkait berapa kebutuhan guru dan seterusnya, itu data dan analisanya dari Dinas Pendidikan," ungkap Arif. Pernyataan ini menegaskan pembagian tugas yang jelas antara Disdik sebagai penentu kebutuhan formasi di sektor pendidikan dan BKPSDM sebagai fasilitator administratif. BKPSDM bertanggung jawab untuk memastikan kelengkapan dokumen dan kepatuhan terhadap regulasi kepegawaian, sementara substansi dan justifikasi kebutuhan formasi tetap berada di bawah wewenang dinas teknis terkait.
Meskipun demikian, Arif Firmanto memastikan bahwa pemerintah daerah tetap berkomitmen untuk memperjuangkan nasib semua guru honorer agar bisa masuk dalam formasi PPPK, termasuk yang berstatus paruh waktu. "Semoga perjuangan ini berhasil. Apalagi yang sudah mengabdi bertahun-tahun sebagai guru honorer. Semoga lolos di formasi PPPK paruh waktu," ucapnya, menyiratkan harapan besar dari pemerintah daerah agar ada jalan keluar terbaik bagi para pendidik ini. Perjuangan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga melibatkan lobi dan komunikasi intensif dengan Kemenpan-RB di tingkat pusat, untuk mencari celah atau kebijakan khusus yang dapat mengakomodasi kondisi unik di Sumenep.
Situasi di Sumenep ini merupakan cerminan dari tantangan nasional dalam menyelesaikan masalah tenaga honorer. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memang mengamanatkan penyelesaian masalah tenaga non-ASN, termasuk honorer, agar tidak ada lagi status kepegawaian ganda setelah tahun 2024. Namun, proses transisi ini tidak selalu mulus, terutama karena adanya keterbatasan anggaran, kuota formasi, dan kebutuhan yang berbeda di setiap daerah. Bagi guru honorer, status PPPK paruh waktu, meskipun belum ideal, setidaknya memberikan kepastian pendapatan, jaminan sosial, dan pengakuan resmi sebagai bagian dari ASN, yang selama ini menjadi dambaan mereka setelah bertahun-tahun mengabdi dengan upah minim dan tanpa jaminan masa depan.
Perjuangan para guru honorer ini bukan hanya tentang mendapatkan status kepegawaian, tetapi juga tentang pengakuan terhadap dedikasi dan kontribusi mereka dalam mencerdaskan anak bangsa. Banyak dari mereka telah mengabdi puluhan tahun di sekolah-sekolah terpencil, mengisi kekosongan guru dengan gaji yang jauh di bawah standar kelayakan. Potensi dialihfungsikan menjadi tenaga teknis, meskipun membuka pintu menuju status ASN, dapat dirasakan sebagai bentuk "degradasi" profesional bagi mereka yang memiliki passion kuat dalam mengajar.
Ke depan, keputusan dari Kemenpan-RB akan menjadi penentu nasib 476 guru honorer ini. Apakah ada fleksibilitas kebijakan yang memungkinkan mereka tetap menjadi guru di Sumenep, ataukah mereka harus menerima kenyataan untuk beralih profesi demi mendapatkan kepastian status ASN? Kasus ini akan menjadi barometer penting bagaimana pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dalam menyeimbangkan kebutuhan formasi, regulasi nasional, dan kesejahteraan para abdi negara, terutama mereka yang telah lama mengabdi di garis depan pendidikan. Para guru honorer di Sumenep kini hanya bisa berharap bahwa perjuangan pemerintah daerah dan aspirasi mereka akan didengar dan mendapatkan solusi yang adil. Ini adalah episode krusial dalam reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id