"Demo Berujung Daring: Emak-emak Surabaya ‘Naik Pitam’ Hadapi Kelas Dadakan di Rumah"

Surabaya, kota pahlawan yang dikenal dengan semangat warganya, kini menyaksikan babak baru dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Keputusan pemerintah untuk memberlakukan pembelajaran daring sebagai respons terhadap aksi demonstrasi yang melanda kota pekan lalu, ternyata menghadirkan tantangan tersendiri bagi para ibu rumah tangga. Di balik hiruk pikuk demonstrasi dan kekhawatiran akan keamanan, tersembunyi kisah-kisah perjuangan emak-emak Surabaya yang harus berjibaku dengan peran ganda: ibu rumah tangga sekaligus guru dadakan bagi anak-anak mereka.
Situasi ini semakin kompleks mengingat beberapa fasilitas umum dan bangunan bersejarah di Surabaya, termasuk Gedung Grahadi, menjadi sasaran aksi anarkis. Keputusan pembelajaran daring diambil sebagai langkah preventif untuk melindungi anak-anak dari potensi bahaya yang mungkin timbul akibat demonstrasi. Namun, di balik niat baik tersebut, para ibu di Surabaya justru merasakan tekanan yang luar biasa. Mereka harus memutar otak untuk mengatur jadwal belajar anak-anak, memastikan ketersediaan perangkat, dan tetap menjalankan tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya.
Kepanikan dan keluhan para emak-emak ini pun mulai bermunculan di berbagai platform, mulai dari grup sekolah hingga media sosial. Mereka merasa kewalahan karena harus membagi perhatian dan sumber daya untuk lebih dari satu anak. Keterbatasan perangkat, seperti laptop atau tablet, menjadi kendala utama. Belum lagi masalah koneksi internet yang seringkali tidak stabil, menambah frustrasi para ibu yang berusaha memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak mereka.
"Katanya anak-anak enak nge-zoom cuma sebentar. Enak dari mana? Emak-nya yang darah tinggi, ini baru dua hari. Masih ada dua hari lagi," tulis Muslimah, seorang wali murid di grup SD Swasta di Medokan Ayu. Keluhan ini menjadi representasi dari beban ganda yang harus dipikul para ibu. Mereka tidak hanya dituntut untuk memastikan anak-anak tetap belajar dengan baik, tetapi juga harus menjaga kesehatan fisik dan mental mereka sendiri di tengah tekanan yang bertubi-tubi.
Ungkapan "Jiwa Mak Lampir Auto Menyala" yang diunggah oleh akun @atinnurhayati932 di media sosial, menjadi viral dan menggambarkan dengan tepat perasaan para emak-emak Surabaya saat ini. Caption "bukan karena Covid tapi karena demo" semakin menegaskan bahwa situasi politik di luar rumah memiliki dampak langsung pada keseharian keluarga. Para ibu merasa seperti berubah menjadi sosok Mak Lampir, tokoh antagonis dalam cerita rakyat yang terkenal dengan kemarahannya, karena harus menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan dalam mendampingi anak-anak belajar daring.
Yulianti, seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, juga mengeluhkan peningkatan konsumsi rumah tangga selama pembelajaran daring. Untuk memotivasi anak-anak agar tidak malas-malasan belajar, ia terpaksa harus membeli berbagai macam jajanan dari luar. "Belum lagi drama rebutan laptop karena ketiganya membutuhkan sarana belajar yang lebih baik," keluhnya. Kisah Yulianti ini menggambarkan bagaimana pembelajaran daring tidak hanya berdampak pada aspek pendidikan, tetapi juga pada aspek ekonomi keluarga.
Pemberlakuan pembelajaran daring di Surabaya, yang dimulai sejak 1 September hingga 4 September 2025, memang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari potensi bahaya demonstrasi. Namun, bagi para ibu, kebijakan ini justru menambah daftar panjang pekerjaan rumah tangga dan membuat mereka harus memutar otak agar pembelajaran anak-anak tetap efektif. Mereka harus menjadi guru, motivator, dan penghibur sekaligus, di tengah keterbatasan sumber daya dan waktu.
Kisah para emak Surabaya ini menjadi cerminan bahwa setiap peristiwa besar di masyarakat, termasuk gejolak politik, selalu memiliki dampak yang menyentuh level paling pribadi, yaitu keluarga. Para ibu adalah garda terdepan dalam menjaga stabilitas keluarga di tengah situasi yang tidak pasti. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang setiap hari untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak dan masa depan yang cerah.
Namun, beban yang dipikul para emak-emak Surabaya ini tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu memberikan dukungan yang konkret untuk meringankan beban mereka. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Penyediaan Bantuan Perangkat dan Akses Internet: Pemerintah dapat memberikan bantuan berupa laptop atau tablet murah bagi keluarga yang kurang mampu. Selain itu, perlu ada subsidi atau program khusus untuk memastikan semua keluarga memiliki akses internet yang stabil dan terjangkau.
Pelatihan dan Pendampingan bagi Orang Tua: Banyak orang tua yang merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendampingi anak-anak belajar daring. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyelenggarakan pelatihan atau workshop bagi orang tua tentang cara efektif mendampingi anak belajar, menggunakan platform pembelajaran daring, dan mengatasi masalah-masalah teknis yang mungkin timbul.
Penyederhanaan Kurikulum dan Tugas: Kurikulum pembelajaran daring perlu disederhanakan agar tidak terlalu membebani siswa dan orang tua. Tugas-tugas yang diberikan juga harus relevan dan bermakna, serta disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa.
Dukungan Psikologis: Tekanan dan stres yang dialami para emak-emak selama pembelajaran daring dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Oleh karena itu, perlu ada layanan dukungan psikologis yang mudah diakses oleh para ibu, seperti konseling atau kelompok dukungan sebaya.
Keterlibatan Komunitas: Komunitas-komunitas di Surabaya dapat berperan aktif dalam membantu para emak-emak menghadapi tantangan pembelajaran daring. Misalnya, dengan mengadakan kegiatan belajar bersama, menyediakan tutor sukarelawan, atau mengumpulkan donasi untuk membantu keluarga yang membutuhkan.
Selain langkah-langkah tersebut, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran ibu dalam pendidikan anak. Para ibu tidak boleh merasa sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Mereka perlu mendapatkan dukungan dan apresiasi dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Kisah para emak-emak Surabaya ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Semua pihak perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung bagi anak-anak.
Di tengah gejolak politik dan ketidakpastian, para emak-emak Surabaya tetap menjadi pilar kekuatan keluarga. Mereka adalah simbol ketangguhan, kesabaran, dan cinta kasih. Dengan dukungan yang tepat, mereka akan mampu melewati tantangan ini dan memastikan anak-anak mereka tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Mari kita hargai dan dukung para emak-emak Surabaya, karena mereka adalah masa depan bangsa.
Pembelajaran daring memang menjadi solusi sementara di tengah situasi yang tidak kondusif. Namun, perlu diingat bahwa pembelajaran tatap muka tetap merupakan metode yang paling efektif untuk pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mencari solusi untuk mengatasi masalah demonstrasi dan memastikan keamanan di Surabaya, sehingga pembelajaran tatap muka dapat segera dimulai kembali.
Sementara itu, mari kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para emak-emak Surabaya yang telah berjuang tanpa lelah untuk mendampingi anak-anak mereka belajar daring. Mereka adalah pahlawan sejati yang patut kita teladani. Semoga kisah mereka menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang demi pendidikan dan masa depan anak-anak Indonesia.
Dengan semangat gotong royong dan kepedulian, kita bisa melewati masa sulit ini bersama-sama. Mari kita bergandengan tangan untuk menciptakan Surabaya yang aman, nyaman, dan ramah bagi semua warganya, termasuk para emak-emak dan anak-anak yang menjadi harapan bangsa.