Mantan Direktur Keuangan Jawa Pos Bersaksi: Ungkap Detail Kepemilikan Tabloid Nyata dan Peran Dahlan Iskan dalam Sengketa Hukum yang Memanas
Surabaya, rakyatindependen.id – Gelombang persidangan terkait gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh Nany Widjaja terhadap PT Jawa Pos dan Dahlan Iskan kembali memanas dengan kehadiran saksi kunci. Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, majelis hakim yang dipimpin oleh Soterisno kembali memberikan kesempatan kepada pihak PT Jawa Pos untuk menghadirkan saksi guna memperjelas duduk perkara kepemilikan PT Dharma Nyata Press, penerbit Tabloid Nyata, yang menjadi inti sengketa.
Kali ini, tim kuasa hukum PT Jawa Pos, yang diwakili oleh Eleazer Leslie Sayogo, menghadirkan Suhardjo Basuki, seorang figur yang tidak asing dalam struktur manajemen Jawa Pos. Suhardjo, yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Bagian Keuangan PT Jawa Pos, adalah seorang saksi dengan memori panjang, mengingat ia telah bergabung dengan perusahaan media raksasa tersebut sejak tahun 1984. Pengalamannya yang luas di bagian finansial diharapkan mampu memberikan gambaran komprehensif mengenai kebijakan dan transaksi keuangan yang relevan dengan kasus ini.
Dalam kesaksiannya, Suhardjo Basuki membuka tabir banyak hal, termasuk peran sentral Dahlan Iskan dalam membesarkan dan mengendalikan operasional Jawa Pos. Menurut Suhardjo, figur Dahlan Iskan pada masa tersebut bukan sekadar seorang pemimpin, melainkan arsitek utama yang memegang kendali penuh atas setiap lini operasional dan strategis PT Jawa Pos. Otoritasnya begitu dominan, memungkinkannya untuk mengeluarkan instruksi-instruksi krusial, termasuk mengenai struktur kepemilikan anak-anak perusahaan. Suhardjo secara spesifik mengingat instruksi Dahlan Iskan yang menyatakan bahwa dirinya adalah pemilik saham utama di PT Dharma Nyata Press, entitas yang menerbitkan Tabloid Nyata. Keterangan ini menjadi titik krusial karena langsung menunjuk pada inti sengketa kepemilikan.
Ketika ditanya oleh majelis hakim dan tim kuasa hukum mengenai dasar pengetahuannya atas klaim kepemilikan saham tersebut, Suhardjo dengan tegas menjelaskan bahwa pada masa itu, Dahlan Iskan adalah pimpinan tertinggi di Jawa Pos. Sebagai pucuk pimpinan, Dahlan memiliki kekuasaan dan kewenangan mutlak untuk menentukan kebijakan, termasuk mengenai kepemilikan saham dalam entitas-entitas terafiliasi. Kesaksian ini menggarisbawahi pengaruh Dahlan Iskan yang luar biasa pada periode tersebut, membentuk struktur korporasi dan kepemilikan sesuai visi dan keputusannya.
Lebih lanjut, sebagai mantan pejabat bagian keuangan, Suhardjo juga disorot mengenai transaksi pembayaran sebesar Rp 648 juta yang dilakukan oleh PT Jawa Pos kepada Ned Sakdani dan Anjar Any. Tim kuasa hukum Nany Widjaja mengonfirmasi apakah dalam bukti pembayaran tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa PT Jawa Pos bertindak sebagai pembeli. Suhardjo mengiyakan bahwa ia mengetahui PT Jawa Pos adalah pihak yang mengeluarkan uang sebesar itu. Namun, mengenai beralihnya kepemilikan atau destinasi akhir uang tersebut setelah diserahkan, Suhardjo mengaku tidak memiliki informasi detail. "Yang saya ketahui, PT Jawa Pos sebagai yang mengeluarkan uang tersebut. Beralih ke pihak mana setelah penyerahan uang, saya tidak mengetahui," ujarnya, menggambarkan batasan pengetahuannya sebagai bagian keuangan yang fokus pada arus kas keluar.
Persidangan semakin meruncing ketika tim kuasa hukum penggugat menanyakan tentang klaim Nany Widjaja yang menyatakan bahwa ia meminjam uang sebesar Rp 648 juta dari PT Jawa Pos. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Ned Sakdani dan Anjar Any. Lebih jauh, Nany Widjaja mengklaim bahwa PT Dharma Nyata Press telah mengembalikan uang pinjaman tersebut kepada PT Jawa Pos melalui serangkaian transfer bertahap ke rekening PT Jawa Pos. Pembayaran bertahap ini, menurut Nany, terjadi pada 12 November 1998 sebesar Rp 148 juta, dilanjutkan pada 14 Desember 1998 sebesar Rp 100 juta, 12 Januari 1999 sebesar Rp 100 juta, 12 Februari 1999 sebesar Rp 100 juta, 12 Maret 1999 sebesar Rp 100 juta, dan 12 April 1999 sebesar Rp 100 juta, dengan total keseluruhan Rp 648 juta.
Pertanyaan tajam pun dilontarkan: "Jawa Pos mengeluarkan uang Rp 648 juta sebagaimana keterangan saksi, bahwa uang tadi sudah dikembalikan oleh PT Dharma Press yakni dari rekening Dharma Nyata Press masuk ke rekening Jawa Pos?" Menanggapi pertanyaan ini, Suhardjo Basuki, dengan kapasitasnya sebagai orang yang pernah mengurusi keuangan perusahaan, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat adanya dana masuk seperti yang dimaksudkan dalam transaksi pengembalian pinjaman. Ia menambahkan, jika pun ada aliran dana dari PT Dharma Nyata Press ke rekening PT Jawa Pos, kemungkinan besar itu adalah pembayaran dividen, bukan pengembalian pinjaman. Pernyataan ini secara tidak langsung membantah narasi pinjaman dan pengembalian yang diajukan oleh pihak Nany Widjaja, sekaligus mengindikasikan hubungan keuangan yang bersifat investasi atau kepemilikan antara Jawa Pos dan Dharma Nyata Press.
Usai persidangan, Richard Handiwiyanto, kuasa hukum Nany Widjaja, menyatakan keberatannya terhadap kesaksian Suhardjo Basuki. Menurut Richard, keterangan saksi yang mengklaim kepemilikan PT Dharma Nyata Press oleh PT Jawa Pos berdasarkan dividen yang diberikan kepada Jawa Pos adalah tidak relevan. Richard menegaskan bahwa kepemilikan suatu entitas hukum seperti perseroan terbatas harus didasarkan pada dokumen hukum yang sah, seperti akta pendirian, akta jual beli saham, dan daftar pemegang saham yang tercatat, bukan sekadar kesimpulan pribadi atau dugaan berdasarkan aliran dividen. Ia juga menyoroti bagaimana saksi terkesan menghindar ketika ditanya mengenai legalitas dan prosedur hukum yang mendasari klaim kepemilikan, dengan alasan ia hanyalah bagian keuangan yang tidak mengetahui aspek legalitas.
"Lantas kenapa saksi bicara mengenai kepemilikan secara legal, tapi ketika ditanya legalitas dan seluruh prosedurnya dia menghindar?" tanya Richard, menyiratkan adanya inkonsistensi dalam kesaksian Suhardjo. Menurut Richard, dasar kepemilikan suatu perseroan telah diatur secara jelas dalam undang-undang, dan membuat pernyataan atau kesimpulan tanpa didukung dokumen hukum yang valid bukanlah bentuk keadilan. "Kalau saksi menyatakan bahwa dasar kepemilikan suatu perusahaan adalah kesimpulan dia sendiri dan bukan berdasarkan dokumen hukum, maka saya berharap majelis juga bijak untuk menyikapi hal ini," tambahnya, menyerukan agar majelis hakim menimbang kesaksian tersebut dengan cermat berdasarkan prinsip hukum yang berlaku.
Di sisi lain, kuasa hukum Dahlan Iskan, Yasin N. Alamsyah, S.H., M.H., melihat ada beberapa poin penting yang menguntungkan kliennya dari kesaksian Suhardjo. Pertama, saksi secara faktual mengakui bahwa Dahlan Iskan adalah tokoh sentral dan dominan di tubuh PT Jawa Pos, bahkan menjadi wajah utama perusahaan. "Ini memperkuat fakta bahwa Pak Dahlan memiliki peran dan kontribusi substansial dalam membesarkan PT Jawa Pos hingga dikenal luas seperti sekarang," ujar Yasin, menegaskan posisi Dahlan Iskan sebagai figur kunci dalam sejarah pertumbuhan Jawa Pos.
Kedua, Yasin melanjutkan, keterangan saksi juga menjelaskan bahwa rencana PT Jawa Pos untuk melakukan go public pernah dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2000. Sebagai tindak lanjut dari rencana ambisius tersebut, memang dibuat berbagai dokumen administratif, termasuk penandatanganan/penerbitan Surat Kuasa, pembuatan Akta-akta (termasuk yang berhubungan dengan nominee saham), dan proyeksi keuangan yang disusun sendiri oleh Suhardjo. Namun, Yasin menekankan bahwa rencana go public tersebut tidak pernah terwujud, dan keterangan saksi juga mengonfirmasi hal ini. Oleh karena itu, seluruh dokumen yang dibuat dalam rangka persiapan tersebut, menurut Yasin, telah kehilangan relevansi hukumnya.
"Semua dokumen tersebut merupakan satu kesatuan dari satu rangkaian proses persiapan, dan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum permanen apabila go public tidak terjadi," tegas Yasin. Ia berargumen bahwa apabila dokumen-dokumen tersebut kini dipergunakan secara sepihak untuk tujuan di luar konteks dan kehendak awalnya, terlebih lagi digunakan sebagai dasar tindakan hukum terhadap Dahlan Iskan, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan secara etika maupun hukum. Argumen ini mencoba mementahkan validitas dokumen-dokumen lama yang mungkin dijadikan dasar gugatan oleh pihak penggugat, dengan alasan konteks pembuatannya sudah tidak relevan.
Terpisah, Eleazer Leslie Sayogo, kuasa hukum PT Jawa Pos, menyimpulkan bahwa dari keterangan saksi Suhardjo Basuki terungkap fakta krusial bahwa memang PT Jawa Pos lah yang mengeluarkan uang untuk membeli PT Dharma Nyata Press. "Kenapa saksi bisa mengatakan bahwa Jawa Pos adalah pembeli sahamnya karena yang mengeluarkan uang adalah Jawa Pos," tegas Eleazer, menyederhanakan argumennya bahwa sumber dana adalah indikator kuat kepemilikan. Lebih lanjut, Eleazer mengklaim bahwa dari keterangan saksi juga sudah jelas bahwa dalam RUPS, Dahlan Iskan telah mengakui PT Dharma Nyata Press sebagai anak perusahaan PT Jawa Pos. Pengakuan ini, jika terbukti di persidangan, akan menjadi poin penting bagi pihak Jawa Pos untuk mempertahankan klaim kepemilikan mereka.
Sidang ini menunjukkan kompleksitas sengketa kepemilikan yang melibatkan sejarah panjang sebuah konglomerat media, peran figur sentral seperti Dahlan Iskan, serta interpretasi berbeda atas dokumen dan transaksi keuangan di masa lalu. Majelis hakim kini dihadapkan pada tugas berat untuk menimbang setiap kesaksian dan bukti, memilah mana yang relevan dan mana yang tidak, demi mencapai putusan yang adil dalam kasus yang telah menarik perhatian publik ini.
Sumber: rakyatindependen.id