Janji Surga, Jalan ke Neraka: Ketika Kekuasaan Mengikis Pilar Kebenaran

"Orang yang berkuasa jarang mencintai kebenaran, kebenaran jarang mencintai orang yang berkuasa." Ini adalah adagium kuno yang bergaung sepanjang zaman, sebuah hukum besi sejarah yang tak terhindarkan, menggambarkan tarian abadi antara dua kekuatan yang fundamental namun seringkali saling memandang curiga. Di satu sisi, kekuasaan berdiri megah, seringkali berlindung di balik benteng retorika, citra yang direkayasa, dan janji-janji yang menggiurkan. Di sisi lain, kebenaran, telanjang dan tanpa perhiasan, namun bersinar dengan cahayanya sendiri, tak lekang oleh waktu dan manipulasi. Hubungan mereka, dalam banyak kasus, bagai dua kutub magnet yang tak pernah mau bersatu, atau lebih tepatnya, satu pihak secara aktif menolak pihak lainnya demi mempertahankan dominasinya.
Kekuasaan, dengan segala intriknya, seringkali membisikkan mantra tentang "realpolitik" – sebuah pragmatisme yang kejam – dan perlunya kerahasiaan demi stabilitas atau kemajuan yang diklaim. Ia adalah aktor utama dalam "seni berjanji di surga, lalu mengantarkan kita ke neraka, sambil mengklaim diri sebagai pahlawan yang menyelamatkan negara." Inilah inti dari manipulasi politik yang paling berbahaya dan licik: menciptakan ilusi surga yang gemerlap untuk dibayarkan dengan kenyataan pahit yang tak tertahankan. Kekuasaan, dalam manifestasi terburuknya, selalu memotong-motong kebenaran, membungkusnya dalam kemasan janji fantastis yang seringkali tidak realistis, dan menyajikannya sebagai hidangan yang memabukkan bagi rakyat yang haus akan harapan, yang mendambakan perubahan, dan yang mendambakan masa depan yang lebih baik.
Namun, setelah pesta kampanye usai, setelah gemuruh tepuk tangan mereda, dan tahta kekuasaan telah direngkuh, "hangover" atau efek samping yang memilukan pun tiba. Janji-janji surga itu menguap, lenyap seperti embun pagi di bawah terik matahari. Yang tersisa hanyalah bau nasionalisme sempit yang memecah-belah, kebijakan yang menusuk dari belakang rakyatnya sendiri, atau bahkan proyek-proyek ambisius yang hanya menguntungkan segelintir oligark. Inilah titik di mana fondasi paling vital sebuah bangsa mulai retak dan runtuh: kepercayaan. Ketika pemimpin memilih untuk berbohong, memanipulasi, dan mengkhianati amanah, rakyat pun bertanya-tanya: "Ketika politikus berbohong, rakyat percaya pada siapa?"
Pertanyaan retoris ini bukan sekadar kalimat biasa; ia adalah jeritan hati yang terperdaya, sebuah luka menganga yang dalam pada jiwa kolektif sebuah bangsa. Ketika pemimpin memilih jalan manipulasi, ia tidak hanya mengkhianati rakyatnya, tetapi juga secara perlahan namun pasti meruntuhkan tiang penyangga peradaban itu sendiri. Tanpa kepercayaan, masyarakat akan terombang-ambing dalam lautan kebingungan, tidak lagi mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi ciptaan mesin propaganda yang canggih dan buzer keparat yang terus-menerus menyebarkan disinformasi. Kebenaran menjadi relatif, fakta menjadi kabur, dan pada akhirnya, seluruh struktur sosial menjadi rapuh.
Di sinilah ironi terbesar terungkap. Kekuasaan yang dibangun di atas panggung sandiwara, di atas janji palsu dan manipulasi, seringkali dianggap sebagai puncak kejayaan. Para pemegang kekuasaan semacam itu mungkin menumpuk kekayaan pribadi yang tak terbatas, membangun monumen-monumen megah yang hanya menjadi simbol kesombongan, dan menyempurnakan seni manipulasi mereka, yakin bahwa semua itu akan mengabadikan nama mereka dalam tinta emas sejarah. Mereka percaya bahwa dengan mengendalikan narasi, mereka dapat mengendalikan takdir.
Tetapi sejarah adalah hakim yang paling puitis dan kejam. Apa yang hari ini terpahat megah sebagai simbol kejayaan, esok akan dibaca sebagai peringatan pahit tentang kesombongan yang melampaui batas. Monumen-monumen yang mereka bangun akan berdiri sebagai monumen kenistaan yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kolektif, menjadi saksi bisu atas pengkhianatan dan kebohongan.
Lihatlah pada lembaran waktu yang terentang luas: para Firaun Mesir kuno yang mengklaim diri sebagai dewa, para Kaisar Romawi yang membangun imperium megah di atas penindasan, hingga para diktator modern yang berkuasa dengan tangan besi. Mereka semua adalah maestro dalam "seni berjanji di surga," menjanjikan kemakmuran, stabilitas, atau keagungan bangsa. Tetapi di mana mereka sekarang? Kekayaan mereka kini menjadi artefak museum, kekuasaan mereka menjadi babasan yang diceritakan dalam buku sejarah, dan manipulasi mereka terungkap sebagai kebodohan yang tragis. Mereka jatuh bukan karena pedang musuh yang lebih kuat, melainkan karena ditinggalkan oleh kebenaran yang mereka injak-injak, oleh kepercayaan rakyat yang mereka khianati, dan oleh keadilan yang mereka abaikan. Kebenaran, pada akhirnya, memiliki daya tahan yang tak terduga.
Oleh karena itu, esai ini adalah peringatan yang nyaring bagi para "gangster kekuasaan", bagi para oligark yang menyembunyikan diri di balik layar kebijakan, yang mengendalikan benang-benang takdir dari balik bayangan. Peringatan bahwa kenistaan sejarah bukanlah abstraksi kosong, melainkan takdir yang sudah menanti, sebuah harga yang harus dibayar atas setiap kebohongan dan setiap pengkhianatan. Mereka mungkin bisa membeli hukum hari ini, memonopoli kekayaan negara, dan meredam suara-suara kritis dengan tangan besi. Namun, mereka lupa pada satu hukum alam yang tak terbantahkan, bahwa kesabaran rakyat yang bersahaja itu ada batasnya.
Di balik diam yang patuh, tersimpan gemuruh yang tertahan. Di balik mata yang lelah, tersimpan api kemarahan yang siap berkobar, menunggu percikan kecil untuk meledak. Mereka, rakyat yang selama ini dipandang sebelah mata, yang dianggap tak berdaya, yang terus-menerus ditindas dan dimanipulasi, suatu saat akan mengepalkan tangan dan berteriak lantang: "Cukup sudah!" Titik didih kesabaran itu pasti akan tiba, dan ketika itu terjadi, tidak ada kekuatan yang dapat membendung gelombang perubahan.
Sejarah, pada akhirnya, bukan hanya ditulis oleh para pemenang yang berkuasa, tetapi juga oleh perlawanan rakyat yang bangkit dari tidur panjangnya. Kisah seperti api yang membara di Nepal, di mana kaum muda yang sudah jengah dengan penindasan oligarki dan monarki yang korup akhirnya bangkit dan menulis ulang takdir bangsa mereka dengan darah dan tekad yang membaja, adalah pengingat abadi. Itu adalah bukti nyata bahwa tidak ada kekuasaan yang terlalu kokoh, tidak ada oligarki yang terlalu kaya dan berpengaruh, untuk bisa selamat dari amarah rakyat yang telah sampai pada titik nadir.
Kebenaran mungkin bisa disingkirkan untuk sementara waktu, ditutupi oleh tabir kebohongan dan propaganda. Namun, ia selalu memiliki sekutu terhebatnya: suara rakyat yang terbungkam yang suatu hari nanti akan menemukan nyalinya. Dan ketika nyali itu telah ditemukan, ketika rakyat berani berdiri dan menuntut keadilan, sejarah akan kembali berputar, menggilas segala sesuatu yang dibangun di atas dusta dan tipuan, dan meninggalkannya sebagai peringatan yang terpahat dalam kenistaan bagi generasi mendatang.
Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id