Nasional

Jerat Mafia Tanah di Malang: Sertifikat Ganda Picu Laporan Puluhan Warga ke Polda Jatim

Suasana Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jawa Timur pada Rabu (25/9/2025) siang tampak ramai oleh kehadiran puluhan warga Desa Ngajum, Kecamatan Balesari, Kabupaten Malang. Raut wajah mereka memancarkan campuran kekecewaan, keputusasaan, namun juga secercah harapan. Mereka datang tidak sendirian, melainkan didampingi oleh advokat senior berpengalaman, Masbuhin, dari firma hukum Masbuhin & Partners. Kedatangan mereka memiliki satu tujuan utama: melaporkan dugaan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sindikat mafia tanah yang telah merenggut ketenangan dan hak atas kepemilikan lahan mereka. Laporan resmi ini telah teregister dengan Nomor: LP/B/1197/VIII/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR, menandai dimulainya babak baru perjuangan hukum bagi para petani di Ngajum.

Masbuhin, dalam keterangannya di Mapolda Jatim, dengan tegas menyatakan bahwa praktik mafia tanah merupakan ancaman serius yang tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, dampak dari kejahatan agraria ini jauh melampaui kerugian finansial semata. "Praktik mereka tidak hanya berdampak pada kepemilikan tanah secara perorangan, tetapi juga menggangu stabilitas hukum, ekonomi dan sosial, seperti yang dialami puluhan warga," ujarnya. Lebih lanjut, Masbuhin menjelaskan bahwa keberadaan mafia tanah mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan, menghambat investasi yang sah, serta memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Ini adalah pukulan telak bagi prinsip keadilan agraria dan kepastian hukum yang menjadi pilar negara.

Kasus yang menimpa puluhan warga Ngajum ini berakar pada sejarah panjang penguasaan dan penggarapan lahan. Tanah perkebunan tebu yang menjadi sengketa ini bukanlah lahan baru yang tanpa pemilik. Sebaliknya, lahan tersebut telah dikuasai dan diusahakan oleh puluhan warga Desa Ngajum selama lebih dari tiga dekade, tepatnya sejak awal tahun 1990-an. Mereka memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan secara sah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Malang sejak tahun 1994, sebuah bukti otentik atas kepemilikan mereka. Selama puluhan tahun itu pula, para warga secara rutin dan patuh membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), memenuhi kewajiban sebagai pemilik tanah yang sah. Mereka membangun kehidupan, menanam harapan, dan menggantungkan masa depan keluarga mereka pada lahan tersebut.

Namun, ketenangan itu terusik secara brutal pada tahun 2024. Puncak kegeraman dan kekecewaan warga mencapai titik didih ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang, secara mengejutkan, menerbitkan SHM atas nama orang lain di lahan yang sama persis dengan yang mereka miliki. Fenomena inilah yang memunculkan indikasi kuat adanya sertifikat ganda, sebuah anomali hukum yang seharusnya tidak terjadi dalam sistem administrasi pertanahan yang tertata. Keberadaan dua sertifikat sah untuk satu bidang tanah yang sama adalah bukti nyata adanya praktik ilegal yang terstruktur dan terorganisir.

Masbuhin membeberkan salah satu contoh konkret yang menggambarkan betapa liciknya modus operandi mafia tanah ini. "Contohnya warga atas nama Tarimin, dia sudah menguasai dan memiliki lahan perkebunan sejak tahun 1993, dengan Sertifikat Hak Milik No. 603, dengan luas 4.630 m2," jelas Masbuhin. "Tiba-tiba di atas tanah perkebunan dia sekarang ini, muncul dan terbit Sertifikat Hak Milik Baru dari BPN Kabupaten Malang pada tanggal 31 Juli 2024, Sertifikat No. 01049, atas nama: MSE, dengan menggabungkan luas tanah milik 3 warga termasuk Tarimin." Bayangkan kekecewaan Tarimin, seorang petani yang telah mencurahkan separuh hidupnya menggarap tanah itu, melihat hak miliknya secara sepihak diklaim oleh pihak lain dengan dasar sertifikat baru yang tiba-tiba muncul. Ini bukan hanya tentang kehilangan tanah, tetapi juga tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan dan keadilan.

Jerat Mafia Tanah di Malang: Sertifikat Ganda Picu Laporan Puluhan Warga ke Polda Jatim

Kasus lain yang tak kalah mencengangkan menimpa SHM No. 173 atas nama Soekari Poerwanto. Lahan ini telah dijual secara sah kepada Sri Rahayu pada tahun 2013, dibuktikan dengan akta jual beli PPAT No. 134/2013 yang lengkap dan valid. Namun, ironisnya, pada tahun 2024, di atas lahan yang sudah berpindah tangan secara legal ini, kembali diterbitkan SHM baru No. 02148 atas nama MDZ. Ini menunjukkan bahwa para pelaku tidak hanya menargetkan tanah yang masih dipegang oleh pemilik asli, tetapi juga tanah yang sudah melalui proses transaksi jual beli yang sah, menciptakan kerumitan hukum yang lebih besar dan merugikan pihak ketiga yang tidak bersalah. "Masih banyak lagi modus-modus kejahatan serupa dan memiliki pola yang sama," tambah Masbuhin, mengindikasikan bahwa ini bukan kasus sporadis, melainkan bagian dari jaringan kejahatan yang lebih luas.

Menurut Masbuhin, dugaan praktik mafia tanah ini dilakukan dengan memalsukan dokumen untuk proses sertifikasi, terutama melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program PTSL, yang sejatinya digagas pemerintah untuk mempercepat sertifikasi tanah dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, justru diduga menjadi celah bagi para mafia tanah. Mereka memanfaatkan celah-celah administrasi, kurangnya verifikasi lapangan yang ketat, serta manipulasi data untuk memuluskan penerbitan sertifikat palsu atau ganda. Selain pemalsuan dokumen, Masbuhin juga menduga adanya kolusi dengan oknum aparat atau pejabat terkait, baik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah desa, atau bahkan notaris/PPAT. Keterlibatan oknum ini menjadi kunci dalam melancarkan aksi kejahatan agraria yang terstruktur dan sulit dibongkar tanpa investigasi mendalam. Dokumen-dokumen yang dipalsukan bisa beragam, mulai dari identitas pemilik, surat keterangan riwayat tanah, hingga bukti penguasaan fisik lahan yang tidak benar, semuanya direkayasa untuk menciptakan legalitas semu.

Sejauh ini, sekitar 20 warga telah secara resmi melapor ke Polda Jatim, dengan total lahan yang menjadi korban mencapai sekitar 15 hektar. Namun, Masbuhin memperkirakan bahwa jumlah korban sebenarnya jauh lebih banyak, diperkirakan ada 30 warga lainnya yang juga menjadi korban namun belum sempat melapor. Angka ini bisa terus bertambah seiring terkuaknya modus operandi yang lebih luas. "Mafia tanah tersebut telah mempergunakan cara-cara untuk merebut atau mengklaim tanah milik warga ini secara ilegal dengan modus operandi pemalsuan dokumen," tegas Masbuhin, menekankan sifat kriminal dari tindakan ini.

Firma hukum Masbuhin & Partners, yang dikenal memiliki rekam jejak dalam penanganan kasus-kasus agraria, telah ditunjuk warga Malang untuk membongkar kasus ini. Tim advokat tidak hanya menerima laporan di meja, melainkan langsung turun ke lapangan pada 19 September 2025 guna melakukan identifikasi dan verifikasi secara menyeluruh. Mereka mencocokkan batas-batas tanah, menelusuri riwayat penguasaan, hingga mengumpulkan keterangan dari warga sekitar serta bukti-bukti fisik lainnya yang dapat memperkuat laporan. Langkah proaktif ini menunjukkan keseriusan tim advokat dalam membela hak-hak klien mereka.

Respons cepat dari Polda Jatim, dengan segera memulai pemeriksaan saksi-saksi usai laporan masuk, menjadi secercah harapan bagi para korban. Proses pemeriksaan saksi adalah langkah awal krusial dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi dan bukti yang cukup guna mengidentifikasi pelaku dan membangun konstruksi kasus. "Sehingga harapan kami jajaran penyidik Ditreskrimum Polda Jatim segera dapat membongkar kasus mafia tanah yang meresahkan warga Malang, dan bisa menyeret pihak-pihak yang menjadi Dader (pelaku utama), Doen Pleger (penyuruh), Medepleger (turut melakukan), dan Medeplichtige (pembantu), termasuk sponsorship (pendana alias bandarnya)," pungkas Masbuhin dengan nada penuh harap. Ia menekankan pentingnya menjerat semua pihak yang terlibat, dari operator lapangan hingga otak di balik kejahatan dan para penyokong dana, untuk memberikan efek jera yang maksimal. Kasus ini bukan hanya tentang pengembalian hak atas tanah, tetapi juga tentang penegakan keadilan dan pemberantasan praktik mafia yang merusak tatanan masyarakat.

Fenomena mafia tanah bukanlah masalah baru di Indonesia, namun kasus di Ngajum ini adalah gambaran nyata dari betapa rentannya kepemilikan tanah warga kecil di hadapan jaringan terorganisir yang memanfaatkan kelemahan sistem dan integritas individu. Laporan ini bukan sekadar upaya hukum untuk mengembalikan hak milik, tetapi juga seruan moral agar pemerintah dan aparat penegak hukum semakin gencar memerangi kejahatan agraria ini, memastikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat, dan melindungi hak-hak dasar petani yang menjadi tulang punggung perekonomian bangsa. Keadilan harus ditegakkan agar jerit hati puluhan petani di Malang ini tidak berakhir sia-sia.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Jerat Mafia Tanah di Malang: Sertifikat Ganda Picu Laporan Puluhan Warga ke Polda Jatim

Related Articles