Gelombang Protes PKL Tuban: Desak Pemkab Carikan Solusi Konkret Pasca-Relokasi yang Melumpuhkan Mata Pencarian

Tuban, Jawa Timur – Ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Tuban, didukung penuh oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tuban, menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban. Aksi yang berlangsung pada Selasa (07/10/2025) ini bukan sekadar unjuk rasa biasa; para pedagang membawa serta gerobak-gerobak dagangan mereka yang kini kosong dan berdebu, simbol nyata dari mata pencarian yang terhenti dan kekecewaan mendalam atas kebijakan relokasi yang dianggap gagal total. Suasana haru dan penuh keputusasaan menyelimuti area demonstrasi, mencerminkan krisis ekonomi yang merenggut harapan ratusan keluarga.
Teriakan kekecewaan dan tangisan pilu memecah keheningan pagi, mengiringi derap langkah para PKL yang berjuang menyuarakan nasib mereka. Gerobak-gerobak siwalan, bakso, pentol, dan aneka jajanan lainnya yang biasanya ramai pembeli, kini hanya menjadi saksi bisu kegetiran hidup. Mereka diparkir berjejer rapi di hadapan gedung pemerintahan, sebuah pesan visual yang kuat tentang betapa lumpuhnya roda ekonomi kecil akibat kebijakan pemerintah daerah. Spanduk-spanduk bertuliskan "Kembalikan Hak Kami Berjualan!", "PKL Butuh Solusi, Bukan Janji!", dan "Omzet Anjlok, Keluarga Terlantar!" terbentang lebar, menjadi cerminan dari tuntutan dan penderitaan mereka.
Salah satu suara paling memilukan datang dari Misri (48), seorang pedagang siwalan asal Panyuran, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Dengan air mata berlinang yang tak terbendung, Misri mengungkapkan kekecewaannya yang teramat sangat. "Saya sudah gak jualan beberapa bulan, Pak. Bukan hanya di Alun-Alun, bahkan saya ngasong saja gak dibolehkan sama Satpol PP," ujarnya, suaranya tercekat menahan isak. Misri, yang telah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari berjualan siwalan di Alun-Alun Tuban, kini merasa seperti kehilangan segalanya. Dagangannya yang musiman kini terpaksa berhenti total, membuatnya kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Ia bercerita bagaimana dulu, Alun-Alun adalah denyut nadi kehidupannya, tempat ia berinteraksi dengan pelanggan setia dan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kini, Alun-Alun yang sama telah menjadi simbol kebijakan yang merenggut kebahagiaan dan kemandiriannya.
Krisis ini bukan hanya soal penurunan omzet, melainkan juga soal martabat dan kelangsungan hidup. Ketua Paguyuban PKL di Tuban, Sujud, menyampaikan dampak yang jauh lebih tragis. "Ini bukan hanya soal dagangan tidak laku, Pak. Ada anggota kami yang meninggal dunia karena stres dan kepikiran berat setelah direlokasi dan tidak bisa berjualan berbulan-bulan," ungkap Sujud dengan nada pilu. Ia merujuk pada Ibu Emi, seorang pedagang yang meninggal mendadak. "Ibu Emi itu meninggal karena kepikiran, jualannya tidak laku, tidak punya uang sepeser pun, sedangkan ia harus menghidupi anak-anaknya," terang Sujud. Kisah Ibu Emi menjadi puncak dari gunung es penderitaan yang dialami para PKL. Kematiannya bukan hanya tragedi pribadi, melainkan juga cermin dari tekanan ekonomi dan psikologis yang luar biasa akibat kehilangan mata pencarian secara mendadak dan tanpa solusi yang memadai. Situasi ini menunjukkan betapa krusialnya peran PKL dalam menopang ekonomi keluarga dan betapa rentannya mereka terhadap perubahan kebijakan tanpa perencanaan matang.
Relokasi PKL dari Alun-Alun Tuban ke kawasan Pantai Boom Tuban merupakan bagian dari proyek revitalisasi Alun-Alun yang digadang-gadang akan memperindah wajah kota dan menarik lebih banyak wisatawan. Alun-Alun Tuban, yang selama puluhan tahun menjadi pusat keramaian, rekreasi, dan juga sentra ekonomi informal bagi ratusan PKL, kini telah berubah total. Konsep "Alun-Alun modern dan tertata" yang diusung pemerintah daerah ternyata tidak mempertimbangkan secara mendalam dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana. Harapan akan penataan kota yang lebih baik justru berujung pada bencana ekonomi bagi sebagian besar warga.
Sejak dipindahkan, kawasan Pantai Boom yang diharapkan menjadi magnet baru bagi para PKL justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Lokasi yang relatif jauh dari pusat keramaian utama kota, aksesibilitas yang terbatas bagi sebagian besar masyarakat lokal, serta infrastruktur pendukung yang belum sepenuhnya memadai, membuat Pantai Boom sepi pengunjung. Mayoritas pembeli PKL di Alun-Alun adalah warga lokal yang rutin beraktivitas di sekitar pusat kota, sementara Pantai Boom lebih banyak menarik wisatawan pada waktu-waktu tertentu. Pergeseran demografi pengunjung ini membuat dagangan para PKL yang selama ini mengandalkan segmen pasar lokal, kini tidak laku. Penurunan omzet dilaporkan mencapai 70 hingga 80 persen, bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkan pembeli dalam sehari penuh.
Kondisi ini memicu keprihatinan serius dari PMII Tuban. Koordinator aksi dari PMII Tuban, Fajar Ramadhan, menegaskan bahwa kehadiran mereka adalah bentuk solidaritas dan perjuangan atas nama keadilan sosial. "Kami mahasiswa tidak bisa tinggal diam melihat penderitaan rakyat. Kebijakan pemerintah seharusnya berpihak pada kesejahteraan masyarakat, bukan malah menyengsarakan," tegas Fajar. Ia menuntut Pemkab Tuban untuk segera mengevaluasi kebijakan relokasi ini dan mencari solusi konkret yang adil dan manusiawi. Menurut PMII, revitalisasi kota tidak boleh mengorbankan mata pencarian rakyat kecil. Mereka mendesak agar Pemkab tidak hanya melihat Tuban dari sisi estetika, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keberlanjutan ekonomi warganya. PMII juga menyoroti kurangnya dialog dan partisipasi aktif dari PKL dalam proses pengambilan keputusan relokasi, yang menyebabkan solusi yang ditawarkan pemerintah tidak relevan dengan kebutuhan para pedagang.
Para PKL dan mahasiswa yang tergabung dalam aksi ini berharap kondisi PKL yang semakin memprihatinkan agar segera diberikan solusi yang nyata dan diperbolehkan berjualan lagi di kawasan Alun-Alun Tuban, setidaknya di area-area tertentu yang tidak mengganggu estetika dan ketertiban. Mereka mengajukan beberapa opsi, seperti penetapan zona khusus PKL di Alun-Alun pada jam-jam tertentu, penyediaan lapak sementara yang layak, atau bahkan skema subsidi dan pelatihan untuk membantu PKL beradaptasi dengan lokasi baru di Pantai Boom jika memang relokasi tidak bisa dibatalkan. Namun, inti dari tuntutan mereka adalah agar Pemkab menunjukkan empati dan komitmen nyata untuk menyelamatkan ratusan keluarga dari jurang kemiskinan.
Sebagai bentuk desakan terakhir, massa aksi juga mengeluarkan ultimatum. Apabila Pemkab Tuban tidak segera memberikan solusi yang konkret dan memuaskan, mereka mengancam akan memaksa berjualan kembali di kawasan Alun-Alun Tuban, terutama pada hari Sabtu dan Minggu, di mana keramaian pengunjung biasanya meningkat. Ancaman ini bukanlah gertakan semata, melainkan refleksi dari keputusasaan yang mendalam dan keyakinan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain berjuang mempertahankan hidup dan masa depan keluarga mereka. Para PKL menegaskan bahwa mereka tidak ingin melanggar aturan, tetapi jika pemerintah tidak memberikan jalan keluar, mereka terpaksa mengambil tindakan demi kelangsungan hidup.
Kasus PKL Tuban ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia tentang pentingnya perencanaan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Revitalisasi kota memang perlu, tetapi tidak boleh mengorbankan sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi bagi jutaan rakyat. Diperlukan dialog yang konstruktif, studi dampak sosial ekonomi yang komprehensif, dan penyediaan alternatif mata pencarian yang layak sebelum mengambil keputusan besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kini, bola ada di tangan Pemkab Tuban. Akankah mereka mendengarkan suara rakyatnya dan mencari solusi yang adil, ataukah akan membiarkan krisis ini berlarut-larut, mengancam kehidupan ratusan keluarga dan meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Tuban?
rakyatindependen.id