Nasional

Pengkhianatan Seragam: Oknum Polisi Didakwa Pemasok Pupuk Subsidi Ilegal, Jaringan Mafia Terungkap di Surabaya

Gelombang kejahatan ekonomi yang merugikan negara dan mengancam ketahanan pangan petani kembali mencuat ke permukaan. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjadi saksi bisu dimulainya persidangan kasus sindikat perdagangan pupuk subsidi ilegal, sebuah praktik lancung yang melibatkan sejumlah individu, termasuk seorang oknum anggota kepolisian sebagai pemasok utama. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Esti Dilla Rahmawatai dari Kejaksaan Negeri Surabaya secara gamblang memaparkan peran masing-masing terdakwa dalam jaringan gelap yang memanfaatkan celah dalam distribusi pupuk bersubsidi yang sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan petani kecil.

Dua nama utama yang duduk di kursi pesakitan adalah Zaini, yang berperan sebagai sopir pengangkut, dan Reza Vickidianto Hidayat, otak di balik transaksi ilegal ini. Keduanya didakwa melakukan praktik perdagangan gelap pupuk bersubsidi, komoditas vital yang seharusnya didistribusikan secara ketat sesuai regulasi pemerintah untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan bagi para petani dan pembudidaya ikan. Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan pengkhianatan terhadap amanat negara dan hak-hak dasar petani yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan pupuk.

Terbongkarnya sindikat ini bermula dari penangkapan Zaini pada tanggal 13 Juli 2025 di Jalan Raya Kenjeran, Surabaya. Kala itu, Zaini mengemudikan sebuah truk Fuso yang mencurigakan. Di dalam bak truk tersebut, petugas Satreskrim Polrestabes Surabaya yang sedang berpatroli mendapati muatan sebanyak 180 karung pupuk subsidi jenis Urea dan NPK Phonska. Kecurigaan polisi semakin menguat lantaran Zaini tidak dapat menunjukkan dokumen resmi yang sah untuk pengangkutan pupuk bersubsidi dalam jumlah besar tersebut. Penangkapan ini menjadi pintu gerbang untuk membongkar jaringan yang lebih luas. "Saat dihentikan, terdakwa Zaini menunjukkan gelagat mencurigakan dan tidak mampu menjelaskan asal-usul serta tujuan pengiriman pupuk. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan bahwa pupuk tersebut tidak dilengkapi surat jalan resmi dan diduga kuat berasal dari jalur distribusi ilegal," terang seorang petugas yang terlibat dalam penangkapan, yang identitasnya enggan disebutkan.

Dalam ruang sidang yang serius, JPU Esti Dilla Rahmawatai menegaskan di hadapan majelis hakim bahwa pupuk bersubsidi memiliki mekanisme penyaluran yang sangat spesifik. "Pupuk bersubsidi itu seharusnya disalurkan melalui kelompok tani atau pembudidaya ikan sesuai penugasan pemerintah. Namun, terdakwa memperoleh dan memperjualbelikannya secara bebas untuk mencari keuntungan pribadi, mengabaikan kepentingan ribuan petani yang sangat membutuhkan," ujar jaksa dengan nada tegas, menggarisbawahi dampak serius dari perbuatan para terdakwa terhadap sektor pertanian nasional.

Lebih jauh, dakwaan jaksa mengungkap bahwa Zaini bukanlah pemain tunggal dalam skema ilegal ini. Ia hanyalah salah satu roda penggerak dalam jaringan yang lebih terstruktur. Reza Vickidianto Hidayat, yang disebut sebagai otak transaksi, memainkan peran krusial sebagai pembeli pupuk subsidi dari seorang anggota kepolisian bernama Akhmad Fadholi. Kasus Akhmad Fadholi sendiri disidangkan secara terpisah, mengindikasikan adanya penyelidikan dan proses hukum yang lebih mendalam terhadap keterlibatan aparat penegak hukum dalam kejahatan ini. Keterlibatan oknum polisi ini menambah dimensi serius pada kasus, menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas institusi dan kepercayaan publik.

Pengkhianatan Seragam: Oknum Polisi Didakwa Pemasok Pupuk Subsidi Ilegal, Jaringan Mafia Terungkap di Surabaya

Jaksa menguraikan secara rinci modus operandi keuangan yang digunakan dalam sindikat ini. Reza membeli pupuk subsidi dari Fadholi dengan harga Rp140 ribu per karung, jauh di bawah harga pasar non-subsidi. Kemudian, pupuk tersebut dijual kembali kepada seorang pembeli di Bojonegoro bernama Suroso dengan harga Rp175 ribu per karung. Meskipun selisih harga per karung terlihat tidak terlalu besar, keuntungan yang diperoleh dari transaksi dalam skala besar ini sangat menggiurkan. Transaksi ilegal ini, menurut jaksa, dilakukan berulang kali dalam rentang waktu yang relatif singkat, yakni antara tanggal 3 hingga 12 Juli 2025. Dalam setiap pengiriman, jumlah pupuk yang diperdagangkan mencapai 180 karung, serupa dengan muatan truk yang dikemudikan Zaini saat tertangkap. Total nilai transaksi gelap ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp125 juta, sebuah angka yang signifikan dan menunjukkan skala operasional sindikat ini. "Perbuatan para terdakwa jelas melanggar ketentuan distribusi barang dalam pengawasan dan dilakukan di luar mekanisme resmi, menciptakan kerugian negara dan ketidakadilan bagi petani yang berhak," tambah jaksa, menyoroti pelanggaran sistematis yang dilakukan.

Dampak dari pengalihan pupuk subsidi ini sangat luas. Pertama, negara mengalami kerugian finansial yang besar akibat subsidi yang tidak tepat sasaran. Dana miliaran rupiah yang dialokasikan untuk membantu petani justru menguap ke kantong-kantong pribadi para mafia pupuk. Kedua, petani yang sah dan terdaftar dalam kelompok tani kesulitan mendapatkan pupuk. Kelangkaan ini memaksa mereka membeli pupuk non-subsidi dengan harga yang jauh lebih tinggi, atau bahkan gagal panen karena tidak memiliki akses pupuk yang memadai. Situasi ini secara langsung mengancam produksi pertanian nasional dan berpotensi memicu inflasi harga bahan pangan. Ketiga, keterlibatan oknum polisi seperti Akhmad Fadholi merusak citra institusi kepolisian dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Ini adalah pengkhianatan ganda: terhadap negara dan terhadap sumpah jabatan.

Dalam sidang tersebut, Zaini dan Reza didakwa dengan dua alternatif pasal. Alternatif pertama adalah Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Pasal ini secara khusus menargetkan perbuatan yang mengganggu perekonomian negara, termasuk perdagangan barang-barang dalam pengawasan pemerintah. Alternatif kedua adalah Pasal 110 juncto Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengatur larangan perdagangan barang-barang tertentu yang merugikan kepentingan umum. Selain itu, keduanya juga dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena diduga melakukan kejahatan secara bersama-sama, mengindikasikan adanya perencanaan dan eksekusi yang terorganisir. Ancaman hukuman untuk pasal-pasal tersebut tidaklah ringan, bisa berupa pidana penjara bertahun-tahun dan denda yang besar, mencerminkan keseriusan negara dalam memberantas praktik mafia pupuk.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak terkait, mulai dari produsen pupuk, distributor, hingga aparat penegak hukum. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat, sistem distribusi yang transparan, dan sanksi yang tegas bagi siapa pun yang berani bermain-main dengan hajat hidup petani dan ketahanan pangan nasional. Pihak kepolisian, melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), diharapkan dapat melakukan penyelidikan internal yang mendalam terkait keterlibatan Akhmad Fadholi, untuk memastikan tidak ada lagi oknum yang mencoreng institusi dan mengkhianati amanah rakyat. Proses persidangan ini diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan, hingga ke akar-akarnya, dan memberikan efek jera agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. Pengadilan Negeri Surabaya kini mengemban tugas berat untuk menegakkan keadilan, memastikan bahwa para pelaku kejahatan ekonomi ini mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka yang merugikan jutaan petani dan seluruh bangsa.

(rakyatindependen.id)

Pengkhianatan Seragam: Oknum Polisi Didakwa Pemasok Pupuk Subsidi Ilegal, Jaringan Mafia Terungkap di Surabaya

Related Articles