Nasional

Gelombang Pemangkasan Anggaran Pusat Hantam Bojonegoro: DBH Migas Anjlok Rp1 Triliun pada 2026, Pembangunan Daerah Terancam

Pemangkasan Anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 oleh Pemerintah Pusat dipastikan membawa dampak signifikan bagi daerah-daerah kaya sumber daya alam, tak terkecuali Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) yang selama ini menjadi salah satu pilar utama penopang pembangunan dan keberlanjutan ekonomi lokal, diproyeksikan mengalami penurunan drastis hingga lebih dari separuh, menimbulkan ancaman serius terhadap berbagai program prioritas dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Kebijakan fiskal nasional ini, yang merupakan respons terhadap dinamika ekonomi makro dan upaya konsolidasi anggaran negara, secara langsung memukul Bojonegoro yang sangat bergantung pada sektor migas.

Untuk Kabupaten Bojonegoro, total alokasi DBH SDA pada tahun 2026 telah ditetapkan sebesar Rp942,9 miliar. Angka ini mencerminkan penurunan yang sangat tajam, yakni sekitar 51,6 persen, jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2025 yang mencapai Rp1,95 triliun. Penurunan paling mencolok terjadi pada komponen DBH Migas, yang pada tahun 2025 tercatat sebesar Rp1,94 triliun, kini pada tahun 2026 hanya akan diterima sebesar Rp941,03 miliar. Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Bojonegoro, Lasuri, mengemukakan kekhawatirannya atas kondisi ini. "Angka ini turun nyaris separuh, atau sekitar Rp1 triliun," ujarnya dengan nada prihatin pada Kamis (16/10/2025), menggarisbawahi besarnya dampak finansial yang harus dihadapi Bojonegoro. Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi minor, melainkan sebuah restrukturisasi anggaran yang fundamental, yang menuntut adaptasi cepat dari pemerintah daerah.

Kepastian mengenai pemotongan anggaran ini diperoleh setelah Pimpinan dan Anggota Banggar DPRD Bojonegoro melakukan kunjungan kerja langsung ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI di Jakarta beberapa waktu lalu. Kunjungan ini bertujuan untuk mengklarifikasi dan memahami secara langsung latar belakang serta mekanisme pemotongan yang akan diberlakukan. Ketua Banggar DPRD Bojonegoro, Abdulloh Umar, dengan tegas memastikan bahwa pengurangan ini bukan sekadar mekanisme kurang salur atau penundaan penyaluran, melainkan merupakan pemotongan langsung yang sudah menjadi ketetapan pemerintah pusat. "Kami pastikan ke Kemenkeu. Memang pemotongan DBH Migas itu bukan kurang salur atau disalurkan 50 persen dulu, tidak. Memang dipotong," tegas Abdulloh Umar, menghilangkan spekulasi mengenai potensi perubahan atau pembatalan kebijakan tersebut.

Direktur Dana Transfer Umum Kemenkeu RI, Sandy Firdaus, dalam kesempatan terpisah, membenarkan kebijakan pemangkasan anggaran nasional, yang mencakup komponen TKD dan DBH Migas. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari langkah fiskal nasional yang bersifat menyeluruh dan berlaku untuk seluruh daerah di Indonesia. "Secara nasional DBH dipotong 50 persen, termasuk untuk Bojonegoro. DBH Migas merupakan bagian dari TKD dan termasuk yang terdampak oleh kebijakan ini," jelas Sandy. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan kondisi fiskal negara dan prioritas belanja nasional, yang terkadang mengharuskan penyesuaian alokasi dana ke daerah meskipun ada potensi dampak yang signifikan. Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah pusat untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan memastikan keberlanjutan keuangan negara di tengah tantangan global dan domestik.

Sandy menambahkan, meskipun Pemerintah Pusat memahami aspirasi dan kebutuhan pembangunan daerah yang beragam, alokasi DBH sudah dihitung berdasarkan persentase tertentu dan disalurkan secara nasional melalui APBN. Penurunan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menyeimbangkan neraca keuangan negara. Total penurunan alokasi TKD secara nasional pada tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp155 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini menggambarkan skala besar dari kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan pemerintah pusat, yang akan terasa di berbagai sektor dan tingkatan pemerintahan daerah. Bagi Bojonegoro, yang selama ini telah merasakan manisnya pendapatan dari sektor migas untuk membiayai berbagai proyek strategis, pemangkasan ini merupakan ujian berat. Proyek-proyek infrastruktur vital, program peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta inisiatif pemberdayaan masyarakat yang sebelumnya direncanakan atau sedang berjalan, kini harus dievaluasi ulang.

Gelombang Pemangkasan Anggaran Pusat Hantam Bojonegoro: DBH Migas Anjlok Rp1 Triliun pada 2026, Pembangunan Daerah Terancam

Penurunan tajam DBH SDA, khususnya dari sektor migas, secara otomatis menuntut Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk segera melakukan penyesuaian mendalam dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka. Pemerintah daerah dihadapkan pada tugas yang tidak mudah untuk memprioritaskan program-program yang bersifat mendesak dan memiliki dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan hampir separuh sumber dana utama kini terpangkas oleh kebijakan fiskal nasional, Bojonegoro harus mencari cara-cara inovatif untuk mempertahankan laju pembangunannya. Ini bisa berarti penundaan proyek-proyek non-esensial, efisiensi anggaran di berbagai dinas, atau bahkan mencari sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) alternatif yang lebih berkelanjutan.

Sebelumnya, Kepala Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) Bojonegoro, Teguh Ratno Sukarno, telah menjelaskan bahwa penurunan alokasi DBH ini mengacu pada ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang APBN Tahun 2026. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa alokasi DBH SDA dihitung hanya sebesar 50 persen dari perkiraan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam. Ketentuan ini sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang memang dirancang untuk menata kembali hubungan fiskal antara pusat dan daerah. Meskipun UU HKPD bertujuan untuk menciptakan tata kelola keuangan yang lebih adil dan transparan, implikasi langsungnya bagi daerah-daerah penghasil SDA seperti Bojonegoro adalah pengurangan pendapatan yang signifikan.

Dampak dari pemotongan ini diperkirakan akan meluas ke berbagai sektor kehidupan di Bojonegoro. Sektor pendidikan mungkin harus menghadapi penundaan pembangunan fasilitas baru atau pengurangan alokasi beasiswa. Sektor kesehatan bisa jadi terpaksa menunda pengadaan alat medis canggih atau program penyuluhan kesehatan. Infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, dan irigasi, yang sangat penting untuk mendukung aktivitas ekonomi masyarakat, juga berpotensi mengalami perlambatan dalam pembangunan dan pemeliharaannya. Ini bukan hanya masalah angka-angka dalam laporan keuangan, melainkan juga menyentuh langsung pada kualitas hidup dan prospek masa depan masyarakat Bojonegoro.

Para pemangku kepentingan di Bojonegoro, mulai dari DPRD, eksekutif daerah, hingga pelaku usaha dan masyarakat sipil, dituntut untuk bekerja sama mencari solusi kreatif. Diversifikasi ekonomi lokal menjadi semakin mendesak, agar Bojonegoro tidak terlalu bergantung pada fluktuasi harga migas dan kebijakan pusat. Pengembangan sektor pertanian, pariwisata, industri pengolahan, serta peningkatan investasi di sektor non-migas dapat menjadi strategi jangka panjang untuk mengurangi risiko fiskal di masa depan. Selain itu, optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) melalui intensifikasi pajak daerah dan retribusi yang adil, serta pengelolaan aset daerah yang lebih produktif, juga harus menjadi prioritas.

Pemotongan anggaran ini juga menjadi momentum bagi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan efisiensi dan transparansi anggaran secara lebih ketat. Setiap rupiah yang tersisa harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, dengan fokus pada program-program yang memiliki dampak multiplikasi terbesar dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Konsultasi publik dan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan anggaran juga akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa prioritas yang ditetapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan riil warga Bojonegoro. Krisis ini, meskipun berat, dapat menjadi katalisator bagi Bojonegoro untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat, mandiri, dan berkelanjutan di masa depan, tidak lagi semata-mata bergantung pada karunia alam yang bersifat fluktuatif dan kebijakan pusat yang dinamis. Tantangan ini membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan manajemen keuangan yang prudent untuk menavigasi masa-masa sulit yang akan datang.

rakyatindependen.id

Gelombang Pemangkasan Anggaran Pusat Hantam Bojonegoro: DBH Migas Anjlok Rp1 Triliun pada 2026, Pembangunan Daerah Terancam

Related Articles