Prioritaskan Masa Depan Anak: PDIP Jatim Dorong Mediasi Komprehensif dalam Kasus Nikah Siri Anggota DPRD Blitar

Blitar diguncang oleh skandal yang menyeret nama seorang anggota DPRD Kabupaten Blitar dari fraksi PDI Perjuangan. Kasus nikah siri yang diikuti dugaan penelantaran anak ini telah mencapai perhatian serius dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Jawa Timur. Dalam responsnya, partai berlambang banteng moncong putih ini menempatkan solusi kemanusiaan, khususnya perlindungan terhadap anak, sebagai prioritas utama di atas segala pertimbangan politis. Wakil Bidang DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Budi “Kanang” Sulistyono, secara tegas menyerukan agar proses mediasi segera diinisiasi dan terus dilakukan tanpa henti hingga ditemukan “titik temu” yang adil bagi semua pihak, terutama demi masa depan sang anak yang tidak bersalah.
Pernyataan Kanang, politisi senior PDIP yang juga dikenal memiliki rekam jejak panjang dalam dunia politik Jawa Timur, mengisyaratkan pendekatan yang menyejukkan di tengah pusaran kontroversi. Alih-alih langsung membicarakan sanksi politik atau tindakan disipliner, Kanang memilih untuk mengedepankan aspek kemanusiaan. Ia mendesak agar semua pihak terkait segera duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik. Penekanannya adalah pada pentingnya mediasi yang konstruktif, sebuah proses yang diharapkan mampu menjembatani perbedaan dan konflik demi mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, terutama bagi pihak yang paling rentan dalam kasus ini: anak.
"Saya sudah koordinasi dengan Bapak Bupati Blitar. Maka yang kita minta adalah mediasi. Bagaimana mediasi ini bisa menemukan titik temu, maka itu akan lebih baik ketika keduanya menemukan titik temu," tegas Kanang pada Senin, 3 Oktober 2025, menunjukkan komitmen partai untuk terlibat aktif dalam penyelesaian masalah ini. Koordinasi dengan kepala daerah setempat juga mengindikasikan bahwa penyelesaian kasus ini tidak hanya menjadi urusan internal partai, tetapi juga melibatkan pemerintah daerah demi kepentingan masyarakat.
Kanang secara lugas menyampaikan prinsip yang menjadi landasan utama PDIP dalam menyikapi kasus ini: anak tidak boleh menjadi korban. "Perkawinan siri dan anak tidak bisa dipersengketakan seperti itu. Apakah itu anak kandung atau bukan, anak tidak boleh jadi korban," tandasnya, menegaskan bahwa status hukum pernikahan orang tua tidak boleh mengurangi hak-hak fundamental seorang anak. Pernyataan ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia yang menjamin hak setiap anak untuk tumbuh, berkembang, dan mendapatkan perlindungan, tanpa memandang status perkawinan orang tuanya. Ini adalah pesan kuat yang mengingatkan semua pihak akan esensi keadilan dan kemanusiaan.
DPD PDIP Jatim secara aktif mendorong kedua belah pihak, yaitu anggota dewan yang bersangkutan dan RD (30), warga Ponggok yang melaporkan kasus ini, untuk membuka diri terhadap dialog. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan vital sang anak serta ibunya. "Maka titik temu ini adalah duduk bersama. Perlunya anak apa, perlunya istri apa, serta perlunya yang bersangkutan (anggota dewan) apa," jelas Kanang. Pendekatan ini mengindikasikan bahwa mediasi tidak hanya berfokus pada penyelesaian konflik, tetapi juga pada pemenuhan hak-hak dasar dan masa depan yang lebih baik bagi anak dan ibu. Ini juga mengakui bahwa anggota dewan yang bersangkutan juga memiliki kepentingan yang perlu dipertimbangkan dalam kerangka penyelesaian yang adil.

Permasalahan ini mulai mencuat ke ruang publik setelah RD, seorang ibu muda berusia 30 tahun dari Ponggok, berani mengambil langkah melaporkan kasusnya ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Blitar. RD mengaku telah dinikahi secara siri oleh anggota dewan tersebut pada tanggal 18 Maret 2022. Pernikahan di bawah tangan itu, menurut pengakuan RD, disaksikan oleh keluarga dan beberapa perangkat desa, menunjukkan bahwa pernikahan tersebut, meskipun tidak tercatat secara negara, memiliki legitimasi sosial dan agama di mata pihak yang terlibat.
Dari pernikahan siri tersebut, lahir seorang anak perempuan yang kini telah berusia 2,5 tahun. Namun, kebahagiaan memiliki buah hati tidak berlangsung lama. Menurut pengakuan RD, setelah melahirkan, ia merasa tidak dinafkahi dan ditelantarkan oleh sang anggota dewan yang disebutnya lari dari tanggung jawab. Situasi ini menempatkan RD dalam posisi yang sangat sulit, harus berjuang sendiri untuk membesarkan anaknya tanpa dukungan finansial dan moral dari ayah biologis sang anak. Pengaduan ke BK DPRD Blitar menjadi upaya terakhir RD untuk mencari keadilan dan pertanggungjawaban.
RD kini menuntut pertanggungjawaban penuh dari anggota dewan tersebut, termasuk kejelasan status hukum untuk anaknya. Kejelasan status hukum ini krusial untuk memastikan anak memiliki hak-hak sipil yang diakui negara, seperti akta kelahiran, hak waris, dan hak atas pendidikan. Tanpa pengakuan hukum, anak tersebut berpotensi menghadapi berbagai hambatan administratif dan sosial di kemudian hari. Tuntutan RD bukan hanya tentang nafkah, tetapi juga tentang identitas dan masa depan anaknya.
Menanggapi alotnya kasus ini dan potensi kesulitan dalam mencapai kesepakatan, Kanang meminta semua pihak terkait untuk tidak menyerah dalam mencari solusi damai melalui musyawarah. "Pokoknya jangan lelah mediasi ini. Ini akan terus (dilakukan)," pungkasnya, menunjukkan komitmen kuat PDIP Jatim untuk memastikan mediasi berjalan sampai tuntas. Kesabaran dan ketekunan dalam proses mediasi dianggap kunci untuk mencapai hasil yang terbaik bagi semua, terutama bagi anak yang menjadi fokus utama.
Kasus nikah siri yang melibatkan pejabat publik, seperti anggota DPRD, selalu menarik perhatian karena implikasi etika, moral, dan hukumnya. Nikah siri, atau pernikahan di bawah tangan, adalah pernikahan yang sah secara agama Islam namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Meskipun dianggap sah menurut syariat, ketiadaan pencatatan ini menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang kompleks, terutama bagi pihak perempuan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Salah satu konsekuensi paling signifikan adalah terkait status hukum anak. Anak yang lahir dari pernikahan siri seringkali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah biologis. Akta kelahiran yang tidak lengkap ini dapat menghambat hak anak untuk mengakses pendidikan, layanan kesehatan, hingga hak waris. Meskipun ada mekanisme pengesahan anak melalui penetapan pengadilan, proses ini seringkali panjang, rumit, dan memakan biaya, menjadi beban tambahan bagi ibu tunggal yang sudah berjuang.
Bagi seorang anggota DPRD, kasus semacam ini juga membawa dampak serius terhadap kredibilitas dan citra institusi yang diwakilinya. Anggota dewan, sebagai wakil rakyat, diharapkan memiliki integritas moral dan mematuhi etika publik. Melakukan nikah siri, apalagi diikuti dengan dugaan penelantaran anak, dapat dianggap melanggar kode etik dan mencederai kepercayaan publik. Masyarakat menuntut pejabat publik untuk tidak hanya menjalankan tugas legislatifnya dengan baik, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan pribadi.
Peran Badan Kehormatan (BK) DPRD dalam kasus ini menjadi sangat penting. BK adalah alat kelengkapan DPRD yang bertugas menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD. BK berwenang untuk menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota dewan, termasuk kasus-kasus terkait moralitas atau tindakan yang merugikan masyarakat. Sanksi yang bisa diberikan oleh BK bervariasi, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, hingga rekomendasi pencopotan dari jabatan atau keanggotaan DPRD, tergantung tingkat pelanggaran dan hasil penyelidikan. Namun, dalam konteks kasus ini, DPD PDIP Jatim mendorong agar pendekatan kemanusiaan melalui mediasi didahulukan sebelum mempertimbangkan sanksi politik.
Mediasi yang didorong oleh DPD PDIP Jatim ini diharapkan dapat melibatkan berbagai pihak. Selain anggota dewan dan RD, mediasi bisa difasilitasi oleh BK DPRD, perwakilan DPD PDIP Jatim, pihak keluarga, hingga tokoh masyarakat atau agama yang dihormati. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dialog terbuka dan jujur. Fokus utama mediasi adalah mencapai kesepakatan mengenai nafkah anak, pengakuan status anak secara hukum (misalnya melalui itsbat nikah dan pengesahan anak di pengadilan agama), serta jaminan keberlangsungan hidup dan pendidikan anak di masa depan.
Dalam kasus seperti ini, tekanan psikologis yang dialami RD sebagai ibu dan juga sang anak tidak boleh diabaikan. RD menghadapi beban ganda: membesarkan anak seorang diri dan berjuang mencari keadilan di tengah stigma sosial yang mungkin melekat pada pernikahan siri. Anak juga berhak mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari kedua orang tuanya, terlepas dari konflik yang terjadi di antara mereka. Oleh karena itu, mediasi juga perlu mempertimbangkan aspek dukungan psikososial bagi ibu dan anak.
DPD PDIP Jatim, sebagai partai politik yang menaungi anggota dewan tersebut, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kadernya tidak hanya menjalankan tugas partai, tetapi juga mematuhi norma-norma sosial dan hukum yang berlaku. Pernyataan Kanang yang mengedepankan hak anak menunjukkan bahwa partai ini berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan politik dengan tanggung jawab moral dan kemanusiaan. Ini juga menjadi ujian bagi PDIP untuk menunjukkan komitmennya terhadap perlindungan perempuan dan anak, sesuai dengan platform partai yang seringkali mengedepankan keadilan sosial.
Kasus ini juga menjadi cerminan dari tantangan yang lebih luas terkait pernikahan siri di Indonesia. Meskipun ada upaya pemerintah untuk mendorong pencatatan pernikahan, kasus-kasus seperti ini terus bermunculan, seringkali menempatkan perempuan dan anak dalam posisi rentan. Perlunya edukasi yang lebih masif tentang pentingnya pernikahan yang tercatat secara negara, serta konsekuensi hukum dan sosial dari nikah siri, menjadi semakin mendesak.
Akhirnya, komitmen untuk tidak lelah dalam proses mediasi yang disampaikan oleh Kanang adalah harapan bagi RD dan anaknya. Ini adalah janji untuk terus mengupayakan keadilan dan solusi terbaik, memastikan bahwa hak-hak anak tidak terabaikan dalam konflik orang tuanya. Keberhasilan mediasi ini tidak hanya akan memberikan kejelasan bagi pihak yang bersengketa, tetapi juga akan menjadi preseden positif bagi penanganan kasus serupa di masa depan, menegaskan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama. Semua pihak kini menantikan bagaimana proses mediasi ini akan berjalan dan apa "titik temu" yang akan dicapai, dengan harapan besar bahwa masa depan sang anak akan terjamin dan tidak menjadi korban dari permasalahan orang tuanya.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id



