Ancaman Senyap di Balik Galon Guna Ulang: Bagaimana BPA Merusak Kesehatan dan Masa Depan Balita Indonesia

Setiap hari, jutaan keluarga di Indonesia mengandalkan air minum dari galon guna ulang untuk memenuhi kebutuhan hidrasi sehari-hari, termasuk untuk menyiapkan susu formula atau minuman bagi bayi dan balita mereka. Namun, di balik kemudahan dan kebiasaan yang telah mengakar ini, tersimpan sebuah bahaya laten yang secara perlahan namun pasti dapat menggerogoti kesehatan dan masa depan generasi penerus bangsa: paparan Bisphenol A (BPA) dari material plastik galon tersebut. Ancaman ini, yang sering kali tidak disadari, menempatkan balita Indonesia dalam risiko serius terhadap berbagai gangguan kesehatan dan perkembangan yang dapat bersifat permanen.
Para ahli kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah menyuarakan peringatan keras mengenai kerentanan balita terhadap dampak buruk bahan kimia berbahaya ini. Isu ini bahkan telah menjadi sorotan utama dalam forum internasional, terbukti dengan adanya rancangan perjanjian global yang dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Busan, Korea Selatan. Perjanjian tersebut secara eksplisit menekankan pentingnya melindungi anak-anak dari paparan BPA, menggarisbawahi skala dan urgensi masalah ini di kancah global.
BPA adalah senyawa kimia sintetis yang digunakan secara luas dalam produksi plastik polikarbonat keras dan resin epoksi. Plastik polikarbonat banyak ditemukan pada produk-produk rumah tangga yang sering kita gunakan, termasuk botol bayi, wadah penyimpanan makanan, dan tentu saja, galon air minum guna ulang. Sementara itu, resin epoksi digunakan sebagai lapisan pelindung di bagian dalam kaleng makanan dan minuman untuk mencegah korosi logam dan kontaminasi. Selain itu, BPA juga dapat ditemukan pada mainan anak-anak tertentu, peralatan medis, hingga kertas struk belanja yang kita terima setiap hari.
Salah satu sifat paling mengkhawatirkan dari BPA adalah kemampuannya untuk bermigrasi atau berpindah dari material plastik ke makanan atau minuman yang bersentuhan dengannya. Proses migrasi ini dapat meningkat secara signifikan saat material plastik terkena panas, seperti ketika galon disimpan di tempat yang terpapar sinar matahari langsung, atau saat air panas dituangkan ke dalam wadah yang mengandung BPA. Semakin lama kontak antara plastik dan cairan, serta semakin tinggi suhu, semakin besar potensi BPA yang dilepaskan.
Dr. Basrah Amru, seorang ahli kesehatan masyarakat terkemuka di Jakarta, menjelaskan mengapa balita menjadi kelompok yang paling rentan terhadap paparan BPA. "Tubuh bayi belum memiliki kemampuan metabolisme dan sistem detoksifikasi yang sempurna untuk membuang BPA secara efisien. Akibatnya, racun ini akan bertahan lebih lama di dalam tubuh mereka, menumpuk, dan berpotensi menimbulkan efek toksik yang lebih parah dibandingkan orang dewasa," ujarnya pekan lalu. Ia menambahkan bahwa paparan BPA bahkan dapat terjadi sejak bayi masih berada di dalam kandungan, di mana BPA dari tubuh ibu dapat menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan otak janin. Paparan prenatal ini dapat memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap fungsi kognitif dan perilaku anak.
Senada dengan Dr. Basrah, Dr. Irfan Dzakir Nugroho dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menegaskan bahwa paparan BPA memiliki potensi serius untuk menimbulkan gangguan perilaku dan neurodevelopmental pada anak. "BPA bisa menyebabkan anak jadi hiperaktif, cemas, susah konsentrasi, bahkan depresi," katanya. Mekanisme di balik gangguan ini melibatkan kemampuan BPA untuk meniru atau mengganggu fungsi hormon alami dalam tubuh, terutama hormon estrogen, yang sangat krusial untuk perkembangan otak dan sistem saraf. Gangguan pada keseimbangan hormon ini dapat mengubah jalur perkembangan saraf dan memengaruhi neurotransmiter, yang pada gilirannya memanifestasikan diri dalam bentuk masalah perilaku. Dampak jangka panjangnya tidak kalah mengerikan, seperti peningkatan risiko obesitas dan diabetes di masa dewasa, yang berpotensi menjadi epidemi kesehatan masyarakat di kemudian hari.
Lebih lanjut, Dr. Basrah Amru juga menyoroti bagaimana BPA dapat melemahkan daya tahan tubuh anak. "Anak yang terpapar BPA lebih mudah sakit karena sistem kekebalannya terganggu," jelasnya. BPA diketahui dapat memengaruhi sel-sel kekebalan tubuh, mengurangi kemampuannya untuk melawan infeksi dan merespons patogen. Ini berarti anak-anak yang terpapar BPA mungkin akan lebih sering menderita penyakit infeksi, alergi, atau bahkan memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit autoimun. Sebuah sistem kekebalan tubuh yang lemah pada masa kanak-kanak dapat memiliki implikasi serius terhadap kesehatan sepanjang hidup mereka.
Kekhawatiran akan bahaya BPA bukanlah isapan jempol semata. Peringatan ini selaras dengan langkah progresif yang diambil oleh Badan Keamanan Pangan Eropa (EFSA). Pada tahun lalu, EFSA secara drastis menurunkan batas aman paparan BPA hingga 20.000 kali lebih ketat dari standar sebelumnya. Penurunan ini didasarkan pada hasil riset terbaru yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa zat ini berbahaya bahkan dalam dosis yang sangat kecil, jauh di bawah ambang batas yang sebelumnya dianggap aman. Sebagai tindak lanjut, Uni Eropa telah mengambil langkah tegas dengan secara resmi melarang penggunaan BPA dalam kemasan makanan mulai Januari 2025. Kebijakan ini mencerminkan komitmen kuat Uni Eropa untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, dari paparan bahan kimia berbahaya.
Bagaimana dengan Indonesia? Di Tanah Air, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengambil langkah awal dengan mewajibkan pencantuman label peringatan Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon air minum dalam kemasan yang terbuat dari polikarbonat. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mereka agar lebih berhati-hati dalam penggunaan produk yang berpotensi mengandung BPA. Namun, banyak pihak, termasuk para ahli kesehatan, berpendapat bahwa pelabelan saja mungkin tidak cukup. Mengingat tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat yang bervariasi, serta kemampuan migrasi BPA yang tidak dapat sepenuhnya dicegah hanya dengan pelabelan, langkah yang lebih komprehensif seperti pelarangan total atau penggantian material mungkin perlu dipertimbangkan di masa depan.
Melindungi anak-anak dari paparan BPA adalah investasi untuk masa depan mereka. Para ahli menyarankan langkah-langkah sederhana namun efektif yang dapat dilakukan orang tua untuk meminimalkan risiko paparan BPA pada anak-anak mereka:
- Pilih Alternatif Bebas BPA: Prioritaskan penggunaan botol minum dan wadah makanan yang terbuat dari bahan kaca, stainless steel, atau plastik berlabel "BPA-free" (biasanya terbuat dari polipropilena/PP atau Tritan). Pastikan untuk memeriksa simbol daur ulang pada plastik; angka 3 atau 7 seringkali menunjukkan keberadaan BPA, meskipun tidak selalu.
- Hindari Pemanasan Plastik: Jangan pernah memanaskan makanan atau minuman dalam wadah plastik di microwave, oven, atau kompor. Panas tinggi dapat mempercepat pelepasan BPA ke dalam makanan. Pindahkan makanan ke wadah kaca atau keramik sebelum dipanaskan.
- Cuci dengan Hati-hati: Cuci botol dan wadah plastik dengan tangan menggunakan sabun lembut dan air hangat, bukan air panas mendidih. Hindari penggunaan mesin pencuci piring dengan siklus panas tinggi dan deterjen abrasif yang dapat merusak permukaan plastik dan memicu pelepasan BPA.
- Perhatikan Kondisi Wadah: Ganti botol bayi, botol minum, dan wadah makanan plastik yang sudah usang, tergores, atau retak. Kerusakan pada permukaan plastik dapat meningkatkan risiko migrasi BPA.
- Kurangi Makanan Kaleng: Batasi konsumsi makanan dan minuman kaleng, terutama untuk anak-anak, karena lapisan dalam kaleng seringkali mengandung resin epoksi yang dapat melepaskan BPA. Pilihlah makanan segar atau beku sebagai gantinya.
- Simpan Galon di Tempat Sejuk: Jika menggunakan galon guna ulang, pastikan untuk menyimpannya di tempat yang sejuk, kering, dan tidak terpapar sinar matahari langsung. Hindari menyimpan galon di dalam mobil yang panas atau di dekat sumber panas lainnya.
- Pendidikan dan Kesadaran: Sebarkan informasi mengenai bahaya BPA kepada keluarga, teman, dan komunitas. Semakin banyak orang yang sadar, semakin besar tekanan untuk perubahan kebijakan dan pilihan produk yang lebih aman.
"Dampak BPA mungkin tidak terlihat sekarang, tapi bisa berlangsung seumur hidup. Gangguan perkembangan otak, masalah perilaku, hingga risiko penyakit kronis di masa dewasa adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar," tegas Dr. Basrah. "Makanya, melindungi anak dari BPA harus jadi prioritas utama bagi setiap orang tua dan pemangku kepentingan."
Dengan semakin banyaknya negara yang mengambil langkah tegas untuk melarang penggunaan BPA dan meningkatnya bukti ilmiah yang tak terbantahkan mengenai bahayanya, para orang tua di Indonesia diharapkan untuk lebih waspada dan proaktif dalam memilih produk yang aman untuk anak-anak mereka. Terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan, periode krusial yang sangat menentukan fondasi kesehatan dan perkembangan si kecil. Keputusan yang kita ambil hari ini akan membentuk masa depan generasi emas Indonesia. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama memastikan lingkungan yang aman dan bebas BPA untuk anak-anak kita.
(rakyatindependen.id)