Audit Inspektorat Lumajang Ungkap Kebangkrutan Perumda Semeru, Kerugian Rp3 Miliar Memicu Tuntutan Akuntabilitas Menyeluruh

Laporan mengejutkan datang dari Lumajang, Jawa Timur, di mana Inspektorat Kabupaten Lumajang secara resmi menyatakan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Semeru berada dalam kondisi bangkrut, dengan estimasi kerugian usaha yang mencapai angka fantastis sekitar Rp3 miliar. Deklarasi kebangkrutan ini bukan sekadar pernyataan biasa, melainkan hasil dari audit keuangan komprehensif yang dilakukan menyusul keputusan Bupati Lumajang, Indah Amperawati, yang sebelumnya telah menyatakan status bangkrut bagi perusahaan daerah tersebut. Temuan ini sontak memicu gelombang pertanyaan dan tuntutan akan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah tersebut.
Inspektur Inspektorat Lumajang, Akhmad Taufik Hidayat, menjelaskan bahwa proses audit ini mencakup laporan keuangan Perumda Semeru selama periode krusial, yakni sejak awal masa jabatan Direktur Utama Mochammad Bahrul Wahid pada tahun 2023 hingga proyeksi akhir masa jabatannya pada tahun 2025. Periode ini menjadi fokus utama karena diyakini sebagai rentang waktu di mana keputusan-keputusan strategis yang berdampak besar pada kesehatan finansial perusahaan diambil. Dari serangkaian pemeriksaan mendalam terhadap berbagai dokumen finansial, transaksi, dan catatan operasional, tim auditor menemukan adanya defisit yang signifikan, yang secara kumulatif mencapai kerugian usaha senilai Rp3 miliar.
“Kalau kerugiannya itu kerugian usaha. Ya kalau nilainya Rp3 miliar ada,” tegas Taufik pada Rabu (22/10/2025), menggarisbawahi besaran angka yang menunjukkan skala permasalahan finansial yang dihadapi Perumda Semeru. Kerugian ini, menurut Taufik, bukan semata-mata berasal dari inefisiensi operasional harian, melainkan lebih jauh berakar pada keputusan-keputusan investasi dan kemitraan bisnis yang gagal total. Perusahaan, dalam upaya untuk mengembangkan dan memperluas usahanya, dilaporkan telah mencoba beragam skema penanaman modal dan menjalin kerja sama bisnis dengan berbagai pihak. Namun, sayangnya, seluruh inisiatif tersebut tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan, bahkan justru menguras modal awal perusahaan secara progresif.
“Jadi, kerugian usaha itu, perusahaan berusaha melakukan penanaman modal, kemudian join, tetapi tidak ada yang berhasil semua. Karena dulu punya modal, dibuat usaha ini dan itu tidak ada keuntungan yang masuk,” jelas Taufik, memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai akar masalah kebangkrutan Perumda Semeru. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa manajemen perusahaan mungkin telah mengambil risiko investasi yang terlalu tinggi tanpa analisis kelayakan yang memadai, atau mungkin kurangnya pengawasan dan evaluasi terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan. Kegagalan demi kegagalan dalam usaha tersebut pada akhirnya menggerogoti aset dan modal perusahaan hingga mencapai titik tidak mampu lagi beroperasi secara berkelanjutan.
Audit keuangan yang intensif ini dipicu oleh pengunduran diri Direktur Utama Perumda Semeru, Mochammad Bahrul Wahid, yang diajukan pada tanggal 30 April 2025. Pengunduran diri ini kemudian disetujui secara resmi oleh Bupati Lumajang, Indah Amperawati. Meskipun pengunduran diri telah diterima, Pemerintah Kabupaten Lumajang, melalui Inspektorat, merasa perlu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Langkah ini diambil untuk memastikan transparansi penuh dalam pengelolaan keuangan perusahaan daerah, menelusuri secara pasti penyebab utama kerugian yang begitu besar, serta untuk mengidentifikasi potensi-potensi pelanggaran atau kelalaian dalam tata kelola.
Persetujuan pengunduran diri Wahid disertai dengan syarat penting. Inspektur Taufik mengungkapkan bahwa mantan Direktur Utama tersebut diminta untuk membuat surat pernyataan terkait kesanggupan untuk tetap memberikan keterangan atau bantuan jika di kemudian hari keterangannya dibutuhkan dalam proses penelusuran lebih lanjut. “Sudah disetujui oleh Bupati Lumajang soal pengunduran dirinya. Namun, meskipun disetujui, kita minta membuat surat pernyataan terkait kesanggupan kalau belakang hari dibutuhkan,” ungkap Taufik. Klausul ini mengindikasikan bahwa proses investigasi mungkin belum sepenuhnya berakhir, dan mantan direktur tetap memiliki tanggung jawab moral dan potensi tanggung jawab hukum terkait pengelolaan Perumda Semeru selama masa jabatannya.
Perumda Semeru, sebagai salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Lumajang, seharusnya berperan sebagai motor penggerak ekonomi lokal dan penyedia layanan publik bagi masyarakat. Tujuan pendirian BUMD pada umumnya adalah untuk mengelola potensi daerah, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kegagalan Perumda Semeru untuk memenuhi mandatnya, dan bahkan mengalami kerugian sebesar Rp3 miliar, merupakan pukulan telak bagi harapan masyarakat dan citra pemerintahan daerah. Kerugian ini tidak hanya sebatas angka di laporan keuangan, tetapi juga mencerminkan hilangnya potensi pengembangan daerah dan pemborosan dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Lumajang.
Implikasi dari kebangkrutan Perumda Semeru ini sangat luas. Secara finansial, kerugian Rp3 miliar merupakan beban yang tidak sedikit bagi kas daerah. Dana tersebut, yang mungkin berasal dari penyertaan modal pemerintah daerah, kini hilang dan tidak dapat kembali. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan Pemkab Lumajang untuk mendanai program-program pembangunan lainnya. Secara ekonomi, kegagalan perusahaan daerah ini berpotensi menyebabkan hilangnya peluang kerja, terhambatnya pertumbuhan sektor-sektor terkait yang seharusnya digarap oleh Perumda, serta menurunnya kepercayaan investor terhadap iklim usaha di Lumajang.
Lebih jauh lagi, dampak sosial dan politik dari kasus ini tidak bisa diabaikan. Masyarakat Lumajang berhak mendapatkan penjelasan yang transparan dan akuntabel mengenai bagaimana dana publik dikelola dan mengapa sebuah perusahaan daerah yang seharusnya menjadi kebanggaan justru berujung pada kebangkrutan. Kasus ini juga menyoroti pentingnya tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) dalam tubuh BUMD. Kurangnya profesionalisme, intervensi politik, atau lemahnya sistem pengawasan internal seringkali menjadi penyebab utama terpuruknya BUMD di berbagai daerah di Indonesia. Perumda Semeru tampaknya menjadi salah satu contoh tragis dari tantangan-tantangan tersebut.
Pemerintah Kabupaten Lumajang kini dihadapkan pada tugas berat untuk mengevaluasi secara menyeluruh tata kelola keuangan seluruh BUMD yang ada di bawah naungannya. Kasus Perumda Semeru harus menjadi momentum untuk memperkuat mekanisme pengawasan, meningkatkan kapabilitas manajemen, serta memastikan bahwa setiap keputusan investasi dan kerja sama bisnis didasarkan pada studi kelayakan yang matang dan prinsip kehati-hatian. Langkah-langkah preventif harus segera diambil untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang, demi menjaga kepercayaan publik dan efisiensi penggunaan anggaran daerah.
Langkah-langkah selanjutnya yang mungkin akan diambil oleh Pemkab Lumajang bisa beragam, mulai dari restrukturisasi besar-besaran, pembubaran Perumda Semeru dan likuidasi asetnya, hingga potensi penuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti bertanggung jawab atas kerugian tersebut jika ditemukan unsur pidana. Hasil audit Inspektorat akan menjadi dasar krusial bagi Bupati Indah Amperawati dalam menentukan arah kebijakan dan tindakan tegas yang diperlukan. Penegakan akuntabilitas menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa setiap rupiah dana daerah dikelola dengan penuh tanggung jawab dan profesionalisme.
Kasus Perumda Semeru ini juga menjadi cerminan dari tantangan yang lebih luas dalam pengelolaan BUMD di seluruh Indonesia. Banyak BUMD yang didirikan dengan tujuan mulia untuk menggerakkan ekonomi daerah, namun seringkali terjebak dalam masalah inefisiensi, kerugian, bahkan korupsi. Faktor-faktor seperti penunjukan direksi yang tidak berdasarkan meritokrasi, campur tangan politik dalam operasional, serta lemahnya sistem pelaporan dan pengawasan menjadi momok yang terus menghantui. Pembelajaran dari kasus Lumajang ini harus menjadi pengingat bagi pemerintah daerah lainnya untuk terus memperbaiki sistem tata kelola BUMD mereka, memastikan bahwa setiap BUMD beroperasi secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kemajuan daerah serta kesejahteraan masyarakat.
Masa depan Perumda Semeru kini berada di ujung tanduk. Yang jelas, proses yang sedang berjalan ini menuntut akuntabilitas total dari semua pihak yang terlibat. Pemerintah Kabupaten Lumajang memiliki tugas besar untuk tidak hanya menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga untuk membangun kembali fondasi tata kelola yang kuat dan transparan, agar kasus kebangkrutan BUMD tidak lagi menjadi kisah tragis yang berulang di kemudian hari. Transparansi penuh dalam pengungkapan hasil audit dan langkah-langkah penindakan selanjutnya akan menjadi tolok ukur komitmen pemerintah daerah terhadap prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Rakyatindependen.id