Badai Anggaran 2026: Pemprov Jatim Hadapi Pemangkasan Dana Transfer Pusat Rp2,815 Triliun, Prioritas Belanja Daerah Dipertajam

Surabaya – Kebijakan fiskal pemerintah pusat kembali menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, menggelar rapat koordinasi krusial bersama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dan sejumlah kepala daerah lainnya di kantor Gedung Keuangan Negara (GKN) di Jalan Indrapura, Surabaya, pada Kamis, 2 Oktober 2025 lalu. Pertemuan tersebut membahas topik sensitif yang berdampak langsung pada stabilitas keuangan daerah: pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) secara signifikan yang akan diberlakukan di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada tahun anggaran 2026.

Secara nasional, kebijakan ini mengindikasikan pemangkasan TKD sebesar Rp200 triliun yang akan dipangkas dari alokasi untuk seluruh daerah. Angka ini mencerminkan upaya pemerintah pusat untuk mengelola anggaran negara dengan lebih efisien, namun sekaligus menimbulkan tantangan besar bagi pemerintah daerah dalam menjalankan program pembangunan dan pelayanan publik. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan kontribusi ekonomi terbesar, tidak luput dari dampak kebijakan ini. Berdasarkan surat Kementerian Keuangan, tepatnya dari Dirjen Perimbangan Keuangan, per tanggal 23 September 2025 dengan nomor S-62/PK/2025, TKD untuk Provinsi Jawa Timur diproyeksikan akan berkurang sebesar Rp2,815 triliun, dari Rp11,4 triliun pada tahun 2025 menjadi Rp8,8 triliun di tahun 2026 mendatang.

Penurunan ini merupakan pukulan signifikan, mencatat pengurangan sebesar 24,21 persen dari alokasi TKD Provinsi Jatim tahun sebelumnya. Dampak pemangkasan ini tidak hanya dirasakan oleh pemerintah provinsi, tetapi juga meluas ke tingkat kabupaten/kota. Total penurunan TKD untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur diproyeksikan mencapai lebih dari Rp17,5 triliun. Angka ini menggarisbawahi skala tantangan fiskal yang akan dihadapi oleh seluruh entitas pemerintahan di Jawa Timur. TKD sendiri merupakan salah satu tulang punggung pendapatan daerah yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang sangat vital untuk pembiayaan belanja daerah, termasuk gaji pegawai, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Dampak pemangkasan ini bukan hanya fenomena di Jawa Timur. Provinsi lain dengan ekonomi besar seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat juga merasakan imbasnya. Pemprov DKI Jakarta, dalam rancangan awal, memproyeksikan penerimaan transfer dari pusat sebesar Rp26 triliun, yang berasal dari DBH, DAU, dan DAK. Namun, jumlah tersebut kini dipangkas secara signifikan, dengan DBH saja yang akan berkurang sekitar Rp15 triliun, menyisakan sekitar Rp11 triliun. Pemangkasan ini tentu akan menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penyesuaian anggaran yang substansial, mengingat statusnya sebagai ibu kota negara yang memiliki kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik yang sangat kompleks.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga harus menghadapi kenyataan pahit yang serupa pada tahun 2026. Dana transfer pusat yang selama ini menjadi salah satu sumber utama pembiayaan daerah dipangkas cukup besar, mencapai Rp2,458 triliun. Kondisi ini membuat proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat 2026 menyusut dari Rp31,1 triliun menjadi Rp28,6 triliun. Rincian pemangkasannya sangat mendetail dan menunjukkan betapa luasnya dampak kebijakan ini. Dana Bagi Hasil (DBH) pajak pusat yang sebelumnya diproyeksikan mencapai Rp2,2 triliun kini hanya tinggal Rp843 miliar. Dana Alokasi Umum (DAU) pun turun dari Rp4 triliun menjadi Rp3,3 triliun, yang berarti mengurangi fleksibilitas daerah dalam membiayai belanja rutin.

Yang lebih mencolok adalah penghapusan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik senilai Rp276 miliar, yang biasanya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur vital seperti jalan, irigasi, hingga ruang kelas baru di sekolah. Penghapusan DAK fisik ini tentu akan menghambat laju pembangunan infrastruktur di Jawa Barat dan berpotensi menunda proyek-proyek yang telah direncanakan. Bahkan, DAK nonfisik untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga ikut terpangkas, dari Rp4,8 triliun menjadi Rp4,7 triliun, meskipun Pemprov Jabar menegaskan bahwa layanan publik, terutama pendidikan, tetap menjadi prioritas utama. Situasi ini menunjukkan bahwa pemangkasan anggaran bukanlah sekadar angka, melainkan memiliki konsekuensi nyata terhadap program dan proyek yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Menanggapi tantangan fiskal yang tidak ringan ini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jatim, Ir. Mohammad Yasin, M.SI, memberikan penjelasan kepada rakyatindependen.id pada Sabtu, 4 Oktober 2025. Yasin menegaskan kembali data yang termuat dalam surat Kemenkeu (Dirjen Perimbangan Keuangan) tanggal 23 September 2025 No S-62/PK/2025 Perihal Penyampaian Rancangan Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran (TA) 2026, yang menyatakan bahwa TKD untuk Jatim memang mengalami penurunan sebesar Rp2,815 triliun. "Angka itu jika dibandingkan dengan TKD untuk Jatim pada TA 2025 sebesar Rp11,440 triliun, sementara tahun 2026 sebesar Rp8,816 triliun. Sedangkan penurunan TKD untuk 38 kabupaten/kota di Jatim lebih dari Rp17,5 triliun," kata Yasin.

Mengenai potensi dampak yang timbul dari penurunan TKD terhadap APBD 2026, Yasin menjelaskan bahwa hal tersebut masih dalam pembahasan intensif di lingkup Pemprov Jatim. Hal ini mengingat pembahasan Rancangan APBD 2026 saat ini sedang berjalan di DPRD Jatim. Proses pembahasan ini akan menjadi forum penting untuk merumuskan strategi adaptasi yang paling efektif. Yasin memastikan bahwa langkah-langkah penyesuaian akan segera dilakukan. "Yang pasti kita akan lakukan penyesuaian pendapatan. Tentunya akan membawa konsekuensi pada efisiensi belanja perangkat daerah," tegasnya.

Strategi efisiensi belanja akan menjadi kunci. Pemprov Jatim akan melakukan pemilahan ketat terhadap pos-pos anggaran. "Belanja rutin yang sifatnya wajib seperti belanja pegawai, listrik, air, kemudian belanja wajib yang bersifat pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan permukiman, air bersih dan sanitasi, pelayanan sosial dan ketentraman dan ketertiban umum sebagaimana yang menjadi Visi Misi Ibu Gubernur yang tertuang dalam Nawa Bhakti Satya akan menjadi skala prioritas," papar Yasin. Prioritas ini menunjukkan komitmen Pemprov Jatim untuk memastikan bahwa fungsi-fungsi dasar pemerintahan dan pelayanan esensial kepada masyarakat tidak terganggu secara signifikan, meskipun di tengah keterbatasan anggaran. Program-program yang manfaatnya bisa secara langsung dirasakan masyarakat tetap akan menjadi fokus utama.

Di sisi lain, Yasin juga memaparkan area-area yang akan menjadi sasaran efisiensi. "Sementara efisiensi akan mengacu Inpres No 1 Tahun 2025 kemarin, yaitu belanja-belanja perjalanan dinas, honorarium, belanja rapat, paket meeting, belanja alat tulis kantor, FGD, kajian, seminar dan lainnya," tukasnya. Pemangkasan pos-pos ini merupakan langkah umum yang diambil pemerintah daerah saat menghadapi tekanan anggaran, karena dianggap tidak memiliki dampak langsung yang esensial terhadap pelayanan publik dan pembangunan jangka panjang. Ini adalah upaya untuk memangkas "lemak" anggaran agar dana yang tersedia bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak dan prioritas.

Meskipun TKD dipangkas, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa sebenarnya uang yang dialokasikan untuk daerah secara keseluruhan tetap meningkat jumlahnya, namun dengan mekanisme yang berbeda. Peningkatan tersebut diwujudkan melalui peningkatan program daerah yang didanai secara spesifik oleh pusat. "Jadi, kan di transportnya kan turun Rp200 triliun ya. Tapi program-program untuk daerah naik dari Rp900 triliun ke Rp1.300 triliun. Tambah lebih banyak. Jadi kita ingin melihat kinerja uang yang lebih efektif," tegas Purbaya. Pernyataan ini mengindikasikan adanya pergeseran paradigma dari transfer dana yang bersifat umum menjadi pendanaan program-program spesifik yang selaras dengan prioritas nasional. Hal ini menuntut pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mengusulkan dan melaksanakan program yang relevan dengan kebutuhan daerah namun juga mendukung agenda pembangunan pusat.

Menteri Keuangan juga menekankan pentingnya akuntabilitas. Pemerintah pusat tetap akan melakukan pengawasan dan evaluasi ketat untuk penggunaan anggaran TKD di seluruh daerah di Indonesia. Jika pemanfaatan anggaran dinilai baik dan sesuai dengan evaluasi berkala yang dilakukan, maka ada kemungkinan anggaran dari pusat bisa saja ditambah di kemudian hari. Ini adalah mekanisme insentif yang mendorong pemerintah daerah untuk mengelola keuangan secara transparan, efisien, dan berorientasi pada hasil.

Pemangkasan TKD ini merupakan ujian sesungguhnya bagi kemandirian fiskal daerah dan kemampuan adaptasi pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang terbatas. Bagi Pemprov Jatim dan 38 kabupaten/kotanya, ini adalah momentum untuk memperkuat inovasi dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance dalam setiap alokasi anggaran. Fokus pada prioritas, efisiensi belanja, dan akuntabilitas akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa "Badai Anggaran 2026" dapat dilalui tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan laju pembangunan daerah yang telah berjalan. Tantangan ini juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengevaluasi ulang program-program yang kurang efektif dan mengalihkan sumber daya ke inisiatif yang memiliki dampak lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat.

(rakyatindependen.id)

Exit mobile version