Nasional

Brantas Menjerit: Aktivis Lingkungan Ungkap Ancaman Mikroplastik dan Kelalaian Pemerintah di Jantung Jawa Timur

Malang, rakyatindependen.id – Suara lantang enam aktivis lingkungan dari Komunitas Brantas Mbois dan Ecoton pecah di depan Balai Kota Malang pada Kamis, 6 November 2025. Bukan sekadar unjuk rasa biasa, aksi ini adalah jeritan pilu yang membawa kabar mendalam tentang kondisi Sungai Brantas yang kian sekarat, terutama ancaman mikroplastik yang tak kasat mata namun mematikan. Dalam demonstrasi yang penuh semangat, para pegiat lingkungan menuntut keseriusan tak tergoyahkan dari pemerintah dan kesadaran kolektif warga untuk menghentikan praktik menjadikan sungai sebagai keranjang sampah raksasa yang mengancam keberlangsungan ekosistem dan kehidupan jutaan manusia.

Dengan spanduk bertuliskan "Menuntut Hak-Hak Sungai Brantas" dan teriakan "Kali Brantas sumber kehidupan, bukan tempat sampah! Jangan buang sampah plastik ke Kali Brantas!", koordinator aksi, Dialan Sono, memimpin barisan kecil namun penuh semangat. Atmosfer di depan Balai Kota Malang dipenuhi gema tuntutan agar pemerintah segera mengambil langkah konkret dan tidak lagi membiarkan sungai kebanggaan Jawa Timur ini terjerembap dalam lautan polusi. Aksi ini, menurut Dialan, adalah puncak dari kegelisahan mendalam setelah pengamatan lapangan yang intensif, khususnya pasca-musim hujan deras yang mengguyur Kota Malang selama seminggu terakhir. Hujan, yang seharusnya membersihkan, justru mengungkap fakta pahit tentang betapa bobroknya sistem pengelolaan sampah di Malang Raya.

Dialan Sono membeberkan lima temuan utama yang menjadi dasar protes mereka, yang secara gamblang menggambarkan krisis lingkungan yang sedang terjadi:

1. Akumulasi Sampah Plastik dari Anak Sungai:
Temuan pertama yang diungkapkan Dialan adalah aliran deras sampah plastik yang secara masif menghanyut dari anak-anak sungai seperti Kali Amprong dan Kali Metro, kemudian terakumulasi membentuk ‘pulau-pulau sampah’ di sepanjang aliran utama Kali Brantas. Volume sampah ini diperkirakan meningkat hingga 50% saat musim hujan, menciptakan pemandangan yang memilukan dan menyumbat aliran air. Sampah-sampah ini didominasi oleh plastik sekali pakai, kemasan makanan dan minuman, serta limbah rumah tangga lainnya yang secara sembarangan dibuang ke sungai. Tumpukan sampah ini tidak hanya merusak estetika, tetapi juga menghambat navigasi perahu kecil, mengganggu ekosistem air, dan menjadi sarang penyakit. Para aktivis menekankan bahwa fenomena ini menunjukkan betapa vitalnya pengelolaan sampah di hulu, sebelum limbah-limbah tersebut mencapai sungai utama.

Brantas Menjerit: Aktivis Lingkungan Ungkap Ancaman Mikroplastik dan Kelalaian Pemerintah di Jantung Jawa Timur

2. Kali Brantas Kawasan Muharto sebagai Tempat Pembuangan Sampah Massal:
Lebih jauh, kawasan Muharto di Kecamatan Kedungkandang disorot sebagai salah satu titik terparah di mana warga secara rutin menjadikan tepi sungai sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga. Musim hujan, yang seharusnya membawa berkah, justru menjadi saksi bisu bagaimana volume sampah plastik yang menumpuk digelontorkan tanpa ampun ke hilir, berkumpul di area bendungan Sengguruh. Daerah Sengguruh, yang berfungsi sebagai salah satu bendungan penting, kini menjadi "bak penampungan" raksasa bagi seluruh sampah yang dihanyutkan dari hulu Malang Raya. Kondisi ini tidak hanya mengancam operasional bendungan tetapi juga kualitas air yang mengalir ke daerah-daerah hilir, menciptakan masalah lingkungan yang bersifat lintas wilayah dan membutuhkan solusi terpadu.

3. Minimnya Layanan Pengelolaan Sampah dan Kesadaran Warga:
Akar permasalahan ini, menurut aktivis, adalah minimnya akses terhadap layanan pengelolaan sampah yang memadai bagi sebagian besar warga di Malang Raya, ditambah dengan tingkat kesadaran lingkungan yang masih rendah. Banyak permukiman, terutama di daerah padat penduduk atau pinggiran kota, tidak terjangkau oleh layanan pengangkutan sampah resmi. Akibatnya, sungai seringkali dianggap sebagai opsi termudah dan termurah untuk membuang sampah. Budaya membuang sampah ke sungai, yang mungkin telah berlangsung turun-temurun, diperparah oleh kurangnya edukasi lingkungan dan penegakan hukum yang lemah. Ecoton mengusulkan bahwa perlu ada investasi besar dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang inklusif, mulai dari tempat sampah yang memadai, jadwal pengangkutan yang teratur, hingga program daur ulang berbasis komunitas, diiringi kampanye masif untuk mengubah perilaku masyarakat.

4. Pencemaran Mikroplastik yang Mematikan:
Poin krusial yang diungkapkan Ecoton adalah fakta bahwa Sungai Brantas, beserta seluruh sumber air di Malang Raya, kini telah tercemar secara signifikan oleh mikroplastik. Mikroplastik adalah fragmen plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang berasal dari degradasi sampah plastik yang lebih besar, serat sintetis dari pakaian, atau microbeads dari produk kosmetik. Hasil penelitian lapangan Ecoton menunjukkan konsentrasi mikroplastik yang mengkhawatirkan, dengan rata-rata ribuan partikel ditemukan dalam setiap liter sampel air, bahkan terdeteksi dalam tubuh biota air seperti ikan dan udang yang hidup di sungai tersebut. Ini berarti mikroplastik telah masuk ke dalam rantai makanan, berpotensi membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi ikan dari Brantas, serta mengancam keseimbangan ekosistem sungai secara keseluruhan. Dampak jangka panjang terhadap kesehatan manusia, termasuk potensi gangguan hormon dan masalah pencernaan, menjadi kekhawatiran serius yang harus segera diatasi.

5. Absennya Koordinasi Antar Pemerintah:
Temuan terakhir menyoroti minimnya koordinasi yang efektif antara berbagai entitas pemerintah – mulai dari tingkat kota, kabupaten, provinsi, hingga kementerian pusat – dalam mengelola dan menjaga ekosistem sungai. "Tidak ada koordinasi yang jelas, semua berjalan sendiri-sendiri, dan pada akhirnya sungai yang menjadi korban," tegas Dialan. Kelalaian ini mengakibatkan kebijakan yang tumpang tindih, alokasi anggaran yang tidak efisien, dan kurangnya penegakan hukum yang konsisten. Sungai Brantas, sebagai entitas geografis yang melintasi berbagai wilayah administrasi, membutuhkan pendekatan pengelolaan yang terintegrasi dan kolaboratif, bukan fragmentasi tanggung jawab yang hanya memperparah masalah.

Alaika Rahmatullah, Koordinator Kampanye Ecoton, dengan nada serius mengingatkan bahwa urgensi penyelamatan Brantas bukan hanya soal kebersihan, melainkan eksistensi jutaan jiwa. "Sungai Brantas ini adalah nadi kehidupan, bahan baku utama PDAM yang melayani kebutuhan air bersih bagi jutaan warga di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur, termasuk Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan," jelas Alaika. Ia menegaskan bahwa Malang Raya adalah "benteng pertahanan" yang sangat penting karena berada di kawasan hulu. Kerusakan di hulu akan membawa dampak bencana yang tidak terbayangkan bagi wilayah hilir.

Alaika juga menggarisbawahi pentingnya pemenuhan baku mutu air. "Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kualitas air Sungai Brantas seharusnya memenuhi baku mutu kelas dua, yang berarti harus nihil sampah dan layak digunakan sebagai bahan baku air minum setelah melalui proses pengolahan," tegasnya. Fakta di lapangan menunjukkan jauh dari standar tersebut.

Melihat kondisi ini, Ecoton mendesak agar terwujudnya inisiatif kolaboratif yang kuat antara Pemerintah Kota Malang, Pemerintah Kabupaten Malang, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kolaborasi ini harus mencakup perumusan kebijakan yang komprehensif, implementasi program pengelolaan sampah yang efektif, penegakan hukum yang tegas, serta edukasi publik yang berkelanjutan.

Peringatan keras dari aktivis juga tidak lepas dari landasan hukum yang kuat. Alaika secara gamblang menyoroti Putusan Mahkamah Agung (MA) pada Agustus 2025 yang menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur dan Kementerian Pekerjaan Umum. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tahun 2019 atas gugatan Ecoton terkait insiden ikan mati massal di Brantas yang terjadi beberapa tahun lalu akibat pencemaran limbah industri.

"Dengan putusan MA ini, Gubernur Jawa Timur, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terbukti secara hukum telah melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) karena abai dalam pengendalian pencemaran Kali Brantas," jelas Alaika dengan tegas. Putusan ini menjadi tonggak sejarah yang mengikat pemerintah untuk bertanggung jawab atas kondisi sungai.

Brantas Menjerit: Aktivis Lingkungan Ungkap Ancaman Mikroplastik dan Kelalaian Pemerintah di Jantung Jawa Timur

Konsekuensi dari putusan MA tersebut, lanjut Alaika, adalah kewajiban pemerintah untuk segera melakukan empat hal krusial:

  1. Pemulihan Pencemaran: Pemerintah wajib melakukan upaya pemulihan ekosistem sungai dari pencemaran, yang mencakup operasi pembersihan sampah skala besar, revitalisasi bantaran sungai, dan upaya biologis untuk mengembalikan kualitas air.
  2. Penegakan Hukum: Melakukan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelaku pencemaran, baik industri maupun individu, dengan memberikan sanksi yang setimpal agar ada efek jera.
  3. Pemasangan CCTV di Outlet Pabrik: Mewajibkan pemasangan kamera pengawas (CCTV) di setiap outlet pembuangan limbah pabrik yang berpotensi mencemari sungai, sebagai langkah transparan dan preventif untuk memantau dan mengendalikan pembuangan limbah secara real-time.
  4. Permintaan Maaf kepada Warga Jawa Timur: Pemerintah diwajibkan untuk meminta maaf secara terbuka kepada seluruh warga Jawa Timur atas kelalaiannya dalam menjaga dan mengendalikan pencemaran Kali Brantas, sebagai bentuk pengakuan tanggung jawab moral dan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Alaika menutup pernyataannya dengan seruan yang membakar semangat. "Ini bukan lagi soal pilihan, tapi kewajiban. Pemerintah harus serius. Warga harus sadar. Brantas adalah warisan, bukan beban. Masa depan jutaan orang bergantung pada aksi kita hari ini!" Jeritan para aktivis lingkungan ini adalah panggilan darurat bagi kita semua untuk bertindak, sebelum Sungai Brantas, sang nadi kehidupan Jawa Timur, benar-benar mati.

(dan/but) rakyatindependen.id

Related Articles

X

UPDATE YOUR LICENSE

YOUR LICENSE IS EXPIRED, FOR MORE UPDATE YOU MUST RENEW THE LICENSE

YOUR THEME HAVE VULNERABILITY PROBLEM, UPDATE THIS THEME

- Security Fix: Cross Site Scripting (XSS) vulnerability. - Security Fix: Local File Inclusion vulnerability. - Security Fix: PHP Object Injection vulnerability. - Update: Jannah Extensions plugin updated to version 1.1.5 - And Improvements and minor bug fixes.

Update License