DPRD Pacitan: Proyek Ruang Rawat Jalan RSUD dr. Darsono Mandek, Kualitas dan Keselamatan Kerja Terancam, Desakan Percepatan Menggema

Pembangunan ruang rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Darsono Pacitan telah menjadi sorotan tajam dan mendalam dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pacitan. Proyek vital yang digadang-gadang akan meningkatkan kapasitas layanan kesehatan bagi masyarakat Pacitan ini justru menghadapi kendala serius, mulai dari lambatnya progres pengerjaan hingga kekhawatiran akan kualitas dan standar keselamatan kerja. Desakan kuat agar proyek ini dikebut datang langsung dari Ketua Komisi II DPRD Pacitan, Rudi Handoko, yang merasa prihatin setelah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi proyek.
Rudi Handoko mengungkapkan kekecewaannya terhadap capaian progres proyek yang menurutnya masih jauh dari target yang seharusnya. "Progress-nya kemarin masih nol koma, padahal waktu yang tersisa hanya sekitar 70 hari," ujar Rudi Handoko usai melakukan sidak pembangunan gedung rawat jalan RSUD dr. Darsono pada Kamis pekan lalu. Pernyataan ini sontak memicu alarm kewaspadaan, mengingat sisa waktu pelaksanaan yang semakin menipis. Angka "nol koma" menunjukkan bahwa kemajuan fisik proyek belum mencapai satu persen pun, sebuah indikator yang sangat mengkhawatirkan untuk proyek dengan tenggat waktu yang sudah berjalan separuh lebih dari total masa kontrak. Kondisi ini secara langsung menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas perencanaan, manajemen, dan kapasitas kontraktor pelaksana.
Fasilitas ruang rawat jalan di RSUD dr. Darsono merupakan komponen krusial dalam sistem pelayanan kesehatan rumah sakit. Ruangan ini dirancang untuk melayani pasien yang tidak memerlukan rawat inap namun membutuhkan penanganan medis teratur, pemeriksaan rutin, atau konsultasi dengan dokter spesialis. Dengan adanya ruang rawat jalan yang memadai, diharapkan antrean pasien dapat dikurangi, pelayanan menjadi lebih efisien, dan kenyamanan pasien serta keluarga dapat ditingkatkan. Keterlambatan proyek ini secara langsung berdampak pada tertundanya peningkatan kualitas layanan kesehatan yang sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Pacitan, terutama mereka yang bergantung pada fasilitas kesehatan publik. RSUD dr. Darsono, sebagai rumah sakit rujukan utama di kabupaten tersebut, memikul beban besar dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif, dan fasilitas baru ini semestinya menjadi jawaban atas kebutuhan yang terus meningkat.
Melihat kondisi yang ada, Rudi Handoko mendesak agar kontraktor pelaksana, CV. Bomantara, dan konsultan pengawas, CV. Harmoni Karya Marchameru, segera mengambil langkah-langkah konkret dan drastis untuk mempercepat pekerjaan. Ia menekankan pentingnya menjaga kualitas hasil pekerjaan, meskipun terdapat informasi mengenai penurunan harga paket pekerjaan. "Konsisten menjaga kualitas. Meskipun ada penurunan harga paket, jangan sampai mengurangi mutu," tegas politisi Partai Demokrat itu. Pernyataan ini mengindikasikan adanya kekhawatiran bahwa efisiensi biaya yang dicari melalui penurunan harga paket dapat berpotensi mengorbankan standar kualitas material atau pengerjaan. Dalam konteks pembangunan fasilitas kesehatan, kualitas adalah aspek yang tidak bisa ditawar. Bangunan rumah sakit harus memenuhi standar keamanan, kebersihan, dan durabilitas yang sangat tinggi demi keselamatan pasien dan staf medis. Penggunaan material yang tidak sesuai standar atau pengerjaan yang terburu-buru demi mengejar target waktu dapat berakibat fatal di kemudian hari, mulai dari kerusakan struktural hingga masalah sanitasi yang membahayakan.
Selain lambannya progres dan kekhawatiran akan kualitas, Komisi II DPRD Pacitan juga menyoroti masalah serius terkait penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lokasi proyek. Rudi Handoko mengungkapkan bahwa ia menemukan sejumlah pekerja masih abai dalam menggunakan perlengkapan keselamatan, padahal mereka bekerja di ketinggian yang berisiko tinggi. "K3 itu bukan sekadar formalitas. Helm dan alat pelindung harus dipakai, bukan hanya ditaruh di ruangan. Jangan sampai ada kecelakaan kerja," ungkapnya dengan nada prihatin. Penekanan pada aspek K3 ini sangat relevan dan mendesak. Proyek konstruksi, terutama yang melibatkan pekerjaan di ketinggian, memiliki risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi. Helm, sabuk pengaman, jaring pengaman, dan alat pelindung diri (APD) lainnya bukan hanya sekadar kelengkapan, melainkan nyawa bagi para pekerja. Ketiadaan atau kelalaian dalam penggunaan APD dapat menyebabkan cedera serius, cacat permanen, bahkan kematian. Selain kerugian materiil dan penundaan proyek, kecelakaan kerja juga membawa dampak psikologis yang mendalam bagi pekerja, keluarga, dan seluruh tim proyek. Hal ini juga dapat memicu masalah hukum bagi kontraktor dan pihak-pihak terkait lainnya. Komisi II DPRD Pacitan menekankan bahwa penerapan K3 adalah kewajiban mutlak yang harus dipatuhi tanpa kompromi, mengingat nilai-nilai kemanusiaan dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Proyek pembangunan Gedung Rawat Jalan Tahap II RSUD dr. Darsono Pacitan ini dikerjakan oleh CV. Bomantara sebagai kontraktor pelaksana, dengan pengawasan ketat dari konsultan pengawas CV. Harmoni Karya Marchameru. Pekerjaan ini memiliki nilai kontrak sebesar Rp3,39 miliar, sebuah angka yang tidak kecil dan bersumber dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang berasal dari penerimaan cukai hasil tembakau. Penggunaan DBHCHT diatur secara ketat, salah satunya untuk mendanai kegiatan di bidang kesehatan, penegakan hukum, dan pembinaan industri. Oleh karena itu, setiap rupiah yang digunakan dalam proyek ini harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan efisien. Masa pelaksanaan proyek ini ditetapkan selama 150 hari kalender, yang berarti sudah lebih dari separuh waktu tersebut telah berlalu dengan progres yang masih minim. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas pengawasan oleh konsultan dan komitmen kontraktor.
Keterlambatan progres pembangunan proyek infrastruktur publik semacam ini bukan hanya sekadar masalah administratif, melainkan memiliki implikasi yang luas dan mendalam. Bagi masyarakat Pacitan, setiap hari penundaan berarti penundaan akses terhadap fasilitas kesehatan yang lebih baik. Ini bisa berarti antrean yang lebih panjang, kenyamanan yang kurang, atau bahkan keterlambatan dalam diagnosis dan penanganan penyakit yang bisa berakibat fatal. RSUD dr. Darsono sebagai institusi kesehatan juga akan kesulitan dalam merencanakan peningkatan layanan dan alokasi sumber daya jika pembangunan tidak sesuai jadwal. Selain itu, penggunaan dana publik yang tidak efisien akibat penundaan atau pengerjaan ulang karena kualitas buruk akan merugikan keuangan daerah dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
DPRD Pacitan, melalui Komisi II, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proyek ini berjalan sesuai rencana, baik dari segi waktu, kualitas, maupun anggaran. Sidak yang dilakukan Rudi Handoko adalah salah satu bentuk pengawasan langsung yang harus diikuti dengan tindakan konkret jika tidak ada perubahan signifikan. Opsi-opsi yang mungkin diambil DPRD antara lain memanggil pihak kontraktor dan konsultan pengawas untuk rapat dengar pendapat, merekomendasikan sanksi sesuai ketentuan kontrak, hingga mendorong evaluasi ulang terhadap kinerja mereka. Transparansi dalam setiap tahapan proyek juga menjadi kunci, agar masyarakat dapat turut mengawasi dan memastikan bahwa dana publik digunakan sebagaimana mestinya.
Melihat kompleksitas masalah yang ada, mulai dari progres yang sangat lambat, kekhawatiran akan kualitas yang dapat terkompromi, hingga abainya penerapan K3, proyek pembangunan ruang rawat jalan RSUD dr. Darsono Pacitan memerlukan perhatian serius dari semua pihak terkait. Kontraktor harus segera meningkatkan kapasitas kerja, menambah jumlah pekerja, dan memastikan ketersediaan material yang memadai. Konsultan pengawas harus memperketat monitoring dan memberikan laporan yang akurat serta rekomendasi yang efektif. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan instansi terkait lainnya, juga harus lebih proaktif dalam mengawal dan memfasilitasi percepatan proyek.
Masyarakat Pacitan berhak mendapatkan fasilitas kesehatan yang berkualitas, aman, dan tepat waktu. Oleh karena itu, desakan DPRD Pacitan agar proyek ini dikebut harus menjadi perhatian serius dan direspons dengan tindakan nyata. Pembangunan infrastruktur kesehatan adalah investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat, dan kegagalan dalam melaksanakannya akan membawa dampak negatif yang berkelanjutan. Diharapkan, dengan pengawasan ketat dari DPRD dan komitmen dari semua pihak pelaksana, gedung rawat jalan RSUD dr. Darsono Tahap II ini dapat segera rampung sesuai standar yang diharapkan, dan berfungsi optimal untuk melayani kebutuhan kesehatan masyarakat Pacitan.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id