Nasional

DPRD Surabaya Nilai Operasi Gabungan Satpol PP di Eks Lokalisasi Moroseneng Hanya Gimmick

Surabaya kembali dihebohkan oleh perdebatan sengit seputar efektivitas penegakan peraturan daerah (perda) di kawasan eks lokalisasi Moroseneng. Sebuah operasi gabungan yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya, TNI, Polri, serta perangkat wilayah setempat di Jalan Sememi Jaya I dan Sememi Jaya II pada Selasa (7/10/2025) malam, justru memicu kritik tajam dari kalangan legislatif. Imam Syafi’i, seorang anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi Partai NasDem, secara blak-blakan menuding bahwa operasi tersebut hanyalah "gimmick" belaka, sebuah sandiwara yang minim substansi dan jauh dari hasil yang diharapkan. Kecurigaan kuat akan adanya kebocoran informasi menjadi sorotan utama, mengingat temuan lapangan yang ia saksikan sendiri hanya dua hari sebelumnya sangat bertolak belakang dengan laporan "nihil" yang disampaikan oleh aparat.

Moroseneng, sebuah nama yang telah lama terpatri dalam sejarah kelam Surabaya sebagai salah satu pusat aktivitas prostitusi, kini kembali menjadi arena pertarungan antara upaya penegakan hukum dan praktik ilegal yang seolah tak ada habisnya. Sejak resmi ditutup beberapa tahun silam, kawasan ini seharusnya beralih fungsi menjadi area permukiman yang tertib dan bebas dari praktik asusila. Namun, realitas di lapangan kerap berbicara lain. Keluhan masyarakat dan pengamatan langsung dari berbagai pihak menunjukkan bahwa praktik prostitusi masih berdenyut di balik tirai-tirai tertutup, memanfaatkan celah dan kelemahan dalam pengawasan.

Imam Syafi’i, yang dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu kerakyatan, tidak tinggal diam. Dengan inisiatifnya sendiri, ia melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kawasan Moroseneng dua hari sebelum operasi gabungan Satpol PP digelar. Hasil sidaknya mengejutkan dan mengkhawatirkan. "Saya sidak sebelumnya, praktik prostitusi itu masif terjadi. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, banyak rumah yang beroperasi, bahkan terang-terangan menawarkan jasa. Situasinya sangat ramai, jauh dari kesan sepi atau terkunci," ungkap Imam dengan nada prihatin pada Jumat (10/10/2025). Ia menggambarkan bagaimana praktik ilegal tersebut berlangsung secara terbuka, seolah tanpa rasa takut akan penindakan. Temuan ini menjadi landasan kuat bagi Imam untuk mempertanyakan laporan "nihil" yang dikeluarkan oleh Satpol PP pasca-operasi.

Kesenjangan antara temuan Imam Syafi’i dan laporan resmi Satpol PP memunculkan tanda tanya besar. "Tapi saat Satpol PP datang, laporannya malah nihil. Ini ada apa dengan patroli Satpol PP? Kenapa hasilnya tidak ada? Jangan-jangan informasinya bocor," ujarnya, melontarkan kecurigaan serius yang tidak bisa dianggap remeh. Dugaan kebocoran informasi bukan sekadar spekulasi tanpa dasar. Dalam banyak kasus penegakan hukum, kebocoran informasi seringkali menjadi penghalang utama bagi keberhasilan operasi. Jika para pelaku kejahatan sudah mengetahui rencana operasi jauh-jauh hari, mereka akan memiliki cukup waktu untuk "tiarap" atau menghentikan aktivitas mereka sementara, sehingga operasi berakhir tanpa hasil. Hal ini tidak hanya menggagalkan tujuan penindakan, tetapi juga merusak citra dan kredibilitas aparat penegak hukum di mata publik.

Imam Syafi’i menekankan bahwa operasi gabungan yang seharusnya menjadi langkah tegas dalam memberantas praktik prostitusi, justru berpotensi menjadi bumerang jika tidak dilakukan secara profesional dan rahasia. "Kalau operasi dilakukan benar-benar mendadak dan tertutup, mustahil tidak menemukan apa pun. Saya curiga informasi operasi ini sudah bocor duluan sehingga para pelaku keburu tiarap," tegasnya. Baginya, hasil "nihil" dalam operasi gabungan semacam ini adalah indikasi nyata adanya masalah serius dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi. Ini bukan hanya masalah kegagalan teknis, tetapi juga menyangkut integritas dan komitmen aparat dalam menjalankan tugasnya.

DPRD Surabaya Nilai Operasi Gabungan Satpol PP di Eks Lokalisasi Moroseneng Hanya Gimmick

Menanggapi tudingan tersebut, Camat Benowo, Denny Christupel Tupamahu, yang juga terlibat dalam operasi, memberikan klarifikasinya. Ia mengklaim bahwa saat pengawasan dilakukan, seluruh rumah yang diduga menjadi tempat praktik prostitusi dalam keadaan terkunci dan gelap. "Kami tidak menemukan aktivitas yang diduga itu. Pintu digembok dari luar serta lampu mati," jelas Denny. Namun, pernyataan Camat Denny ini justru semakin memperkuat dugaan Imam Syafi’i. Rumah-rumah yang terkunci dan gelap saat operasi, setelah sebelumnya ramai dan aktif, adalah skenario klasik dari sebuah operasi yang informasinya telah bocor. Para pelaku dengan cepat mengamankan diri dan menyembunyikan bukti, meninggalkan lokasi dalam keadaan "bersih" di mata petugas.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang strategi dan taktik operasi yang diterapkan. Apakah tim gabungan sudah cukup terlatih untuk melakukan operasi senyap dan mendadak? Apakah ada protokol yang jelas untuk mencegah kebocoran informasi? Dan yang paling penting, bagaimana menjamin bahwa operasi semacam ini tidak hanya menjadi ritual formalitas belaka, melainkan benar-benar efektif dalam memberantas praktik ilegal? Masyarakat memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemerintah daerah dan aparat penegak perda untuk menciptakan lingkungan yang aman, tertib, dan bermoral. Ketika operasi besar-besaran berakhir tanpa hasil, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dapat terkikis.

Imam Syafi’i mendesak Satpol PP dan seluruh pihak terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja mereka. Ia menyerukan perlunya koordinasi yang lebih ketat dan terstruktur dengan aparat penegak hukum lainnya, termasuk kepolisian dan TNI, untuk memastikan bahwa pengawasan di kawasan eks lokalisasi tidak sebatas formalitas. "Moroseneng ini sudah jadi persoalan lama. Kalau hanya patroli simbolik, ya tidak akan pernah selesai. Pemkot harus serius menuntaskan ini," tegasnya. Permasalahan Moroseneng bukan hanya tentang penindakan sesaat, melainkan memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari penegakan hukum yang tegas, rehabilitasi sosial bagi para pelaku, hingga pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar agar tidak lagi bergantung pada aktivitas ilegal.

Lebih jauh, anggota dewan tersebut menyoroti pentingnya komitmen politik dari Pemerintah Kota Surabaya untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Tanpa komitmen yang kuat dan strategi jangka panjang, praktik prostitusi di eks lokalisasi akan terus menjadi siklus yang tak berkesudahan, bersembunyi di balik bayang-bayang dan kembali beroperasi ketika pengawasan mengendur. Ini bukan hanya tentang menangkap pelaku, tetapi juga tentang memutus mata rantai ekonomi yang mendukung praktik tersebut, serta memberikan solusi berkelanjutan bagi mereka yang terlibat.

Di sisi lain, Camat Denny menegaskan bahwa pengawasan tidak akan berhenti di Moroseneng saja. "Kami akan lanjutkan pengawasan dan juga menyasar eks lokalisasi Klakah Rejo," pungkasnya. Pernyataan ini menunjukkan adanya niat untuk melanjutkan upaya penindakan di area lain yang juga disinyalir masih menjadi sarang praktik prostitusi. Namun, janji ini harus diiringi dengan perbaikan mendasar dalam strategi operasi, terutama terkait pencegahan kebocoran informasi dan peningkatan efektivitas di lapangan. Tanpa perbaikan ini, operasi di Klakah Rejo pun berisiko mengalami nasib serupa, berakhir dengan laporan "nihil" yang justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Permasalahan eks lokalisasi seperti Moroseneng dan Klakah Rejo adalah cerminan dari kompleksitas masalah sosial-ekonomi yang ada di perkotaan. Prostitusi seringkali berakar pada kemiskinan, kurangnya lapangan kerja, dan minimnya akses pendidikan atau keterampilan. Oleh karena itu, solusi jangka panjang tidak bisa hanya mengandalkan penindakan represif. Pemerintah kota perlu merumuskan program-program pemberdayaan ekonomi, pelatihan keterampilan, serta pendampingan sosial bagi individu yang rentan terlibat dalam praktik prostitusi, serta bagi masyarakat sekitar agar tidak lagi mentolerir keberadaan aktivitas ilegal tersebut. Pendidikan moral dan agama juga memegang peranan penting dalam membentuk kesadaran masyarakat.

DPRD Surabaya, sebagai lembaga pengawas, memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa program-program tersebut berjalan efektif dan tepat sasaran. Mereka harus terus mendorong pemerintah kota untuk tidak hanya melakukan operasi "gimmick", tetapi merancang strategi yang holistik, berkelanjutan, dan transparan. Audit terhadap prosedur operasi Satpol PP, penyelidikan terhadap dugaan kebocoran informasi, serta pembentukan tim khusus untuk memantau perkembangan di eks lokalisasi bisa menjadi langkah-langkah lanjutan yang perlu dipertimbangkan.

Pada akhirnya, keberhasilan dalam memberantas praktik prostitusi di eks lokalisasi seperti Moroseneng akan sangat bergantung pada sinergi antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, DPRD, dan partisipasi aktif dari masyarakat. Komitmen yang tulus, strategi yang matang, dan pelaksanaan yang bersih dari intervensi atau kebocoran informasi adalah kunci untuk mengembalikan Moroseneng menjadi kawasan yang benar-benar bersih, tertib, dan bermartabat, jauh dari bayang-bayang "gimmick" dan "misteri operasi nihil" yang terus menghantui. Masyarakat Surabaya menantikan tindakan nyata, bukan sekadar laporan di atas kertas.

[rakyatindependen.id]

DPRD Surabaya Nilai Operasi Gabungan Satpol PP di Eks Lokalisasi Moroseneng Hanya Gimmick

Related Articles