Dugaan Skandal IUP PT Timah di Belitung: Praktisi Hukum Soroti Kejanggalan Proses dan Hak Atas Tanah Warga, Menuntut Keadilan Agraria

Konflik agraria antara PT Timah Tbk. dan warga di Desa Bulutumbang, Kecamatan Badau, Kabupaten Tanjung Pandan, Belitung, terkait lahan seluas 60 hektar, semakin memanas dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Permasalahan yang telah berlangsung lama ini menggambarkan potret buram ketidakpastian hukum dan hak atas tanah masyarakat di tengah geliat industri pertambangan. Warga pemilik lahan, yang secara turun-temurun menguasai dan mengelola tanah tersebut dengan bukti Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sah, merasa terpojok dan terancam hak-haknya dengan terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di dalam konsesi PT Timah.
Lahan sengketa yang menjadi jantung konflik ini bukan sekadar hamparan tanah kosong. Bagi warga Desa Bulutumbang, area seluas 60 hektar itu adalah sumber kehidupan, tempat mereka bercocok tanam, menanam sawit, dan melakukan aktivitas pertanian lainnya yang telah menopang ekonomi keluarga selama beberapa generasi. Namun, ironisnya, aktivitas mereka di lahan sendiri kini terlarang. Larangan tersebut tidak hanya bersifat lisan, melainkan juga tertuang dalam papan nama yang sempat dipasang oleh pihak tertentu di lokasi, seolah-olah mengusir warga dari tanah leluhur mereka. Keberadaan papan nama ini menjadi simbol nyata dari penguasaan paksa dan pembatasan hak yang dirasakan masyarakat.
Lebih jauh, kejanggalan utama yang disoroti adalah bahwa hingga saat ini, pemegang IUP, dalam hal ini PT Timah Tbk., belum sepenuhnya menyelesaikan hak atas tanah yang akan digunakan untuk kegiatan pertambangan. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) secara tegas mengamanatkan kewajiban untuk melakukan penyelesaian hak atas tanah, termasuk memberikan ganti rugi yang layak kepada warga atau pemegang hak atas tanahnya, baik itu ganti rugi untuk tumbuhan yang ada di atasnya maupun bangunan jika ada. Ketidakmampuan atau keengganan untuk memenuhi kewajiban ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai legalitas dan etika operasional perusahaan negara.
Praktisi Hukum Siprianus Edi Hardum secara terang-terangan menilai bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan janggal dalam permasalahan ini. Menurutnya, proses penerbitan IUP untuk PT Timah di lokasi tersebut patut dipertanyakan dari awal. "Kalau itu tanah warga yang turun temurun, di mana sebelumnya pemerintah mengeluarkan IUP untuk pertambangan timah. Berdasarkan undang-undang Minerba, pertambangan mineral dan batubara yang di dalamnya juga timah, sebelum pemerintah mengeluarkan izin itu kan harus ada penyelidikan atau eksplorasi," ujar Edi Hardum dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/10/2025). Ia menambahkan bahwa tahapan penyelidikan ini seharusnya melibatkan persetujuan warga dan penyelesaian ganti rugi, baru kemudian IUP dapat diterbitkan.
Edi Hardum menekankan bahwa proses eksplorasi adalah tahap krusial yang tidak bisa dilewati begitu saja. Dalam konteks pertambangan, eksplorasi bertujuan untuk memastikan keberadaan, kualitas, dan kuantitas cadangan mineral yang ekonomis. Jika pada akhirnya di lahan tersebut tidak ditemukan timah, atau cadangan yang ada tidak ekonomis untuk ditambang, maka keluarnya IUP menjadi sangat mencurigakan. "Nah, saya memastikan bahwa IUP itu keluar tanpa melalui proses yang benar. IUP ini dikeluarkan begitu saja tanpa melalui proses eksplorasi apakah ada timah atau tidak," tandasnya. Pernyataan ini mengindikasikan dugaan kuat adanya praktik penerbitan izin yang tidak transparan dan tidak sesuai prosedur, yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat.
Menurut Edi Hardum, jika proses penerbitan IUP tidak melalui tahapan yang benar, khususnya terkait eksplorasi dan penyelesaian hak atas tanah, maka izin tersebut cacat hukum. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, sebagai dasar hukum yang mengatur secara ketat proses perizinan pertambangan. "Karena itu tidak benar, lanjut Edi Hardum, menurut UU Minerba nomor 2 tahun 2005, perubahan atas UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, proses izinnya dipastikan salah," katanya, menegaskan adanya pelanggaran serius terhadap regulasi yang berlaku.
Dugaan kuat mengarah pada motif di balik penerbitan IUP ini bukan semata-mata untuk kegiatan pertambangan timah yang sebenarnya, melainkan untuk tujuan penguasaan lahan oleh pihak atau perusahaan tertentu. "Ini patut diduga hanya untuk izin pertambangan tapi sebenarnya dikuasai oleh orang tertentu, perusahaan tertentu. Kok keluar IUP tapi tidak ada timah di bawahnya. Tidak salah warga kalau mengambil alih (tanah), yaitu tanah hak milik masyarakat," jelasnya. Perspektif ini menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dan manipulasi perizinan untuk kepentingan segelintir pihak, mengorbankan hak-hak fundamental masyarakat.
Dalam sistem hukum agraria Indonesia, keberadaan alas hak merupakan fondasi kepemilikan. Edi Hardum menjelaskan bahwa di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terdapat beberapa jenis hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Penggunaan Lahan (HPL). Dalam kasus ini, tanah yang dikuasai warga adalah hak milik. "Tanah warga ini kan hak milik, walaupun dia belum punya sertifikat, tapi sudah ada SKT. Itu sudah alas hak sebenarnya, menurut UU Pokok Agraria," ujarnya. Penjelasan ini menegaskan bahwa SKT, meskipun bukan sertifikat, memiliki kekuatan hukum yang kuat sebagai bukti penguasaan fisik dan pengakuan hak secara turun-temurun, yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Dengan adanya alas hak yang kuat dari warga, Edi Hardum berpendapat bahwa masyarakat tidak salah jika mereka mempertahankan atau bahkan mengambil alih kembali tanah mereka. "Jadi, saya pikir masyarakat tidak salah kalau dia ambil dan pemerintah di sini harus melindungi masyarakat atas tanahnya," kata Edi Hardum lagi. Ia menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini, pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk membela dan melindungi hak-hak masyarakat, bukan malah membela kepentingan perusahaan yang diduga telah memperoleh tanah warga dengan cara yang tidak benar atau tidak sah.
Lebih lanjut, Edi Hardum memberikan panduan hukum bagi warga jika PT Timah bersikeras untuk menguasai lahan tersebut. "Kalau misalnya PT Timah terus bersikeras mengambil itu, warga jaga di tempat. Kalau terjadi sesuatu misalnya lapor ke Polisi secara pidana yaitu dengan pasal 167, memasuki lahan orang atau pekarangan, ada ancaman pidananya," ucapnya. Pasal 167 KUHP mengatur tentang tindakan memasuki pekarangan atau lahan orang lain tanpa izin, yang merupakan tindak pidana.
Selain itu, ia juga menyebut Pasal 257 KUHP yang berkaitan dengan tindakan menghalang-halangi penggunaan jalan umum atau perairan umum, yang dalam konteks ini bisa diinterpretasikan sebagai menghalangi akses warga ke lahan mereka sendiri. "Ada juga pasal 257 KUHP. Yang lain adalah gugatan perdata, perbuatan melawan hukum, mengambil tanah warga tanpa hak. Masyarakat harus melawan, dia (warga) tidak salah kalau seperti ini," pungkas Edi Hardum. Gugatan perdata atas dasar "perbuatan melawan hukum" (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata memberikan jalur hukum bagi warga untuk menuntut ganti rugi atas kerugian material dan imaterial yang mereka alami akibat tindakan PT Timah.
Konflik ini juga menyoroti peran strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Timah. Sebagai entitas negara, BUMN seharusnya menjadi pelopor dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya. Kasus di Belitung ini berpotensi merusak citra BUMN dan mengikis kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak rakyat kecil. Diperlukan transparansi penuh dan akuntabilitas dari PT Timah serta pihak-pihak terkait dalam proses penerbitan IUP ini.
Sayangnya, upaya untuk mendapatkan klarifikasi dari pihak PT Timah Tbk. menemui jalan buntu. Direktur Utama PT Timah Tbk, Kolonel (purn) Restu Widyantoro (yang kini menjabat sebagai Brigjen TNI Kehormatan), ketika dikonfirmasi oleh wartawan sejak Kamis 2 Oktober 2025 melalui pesan WhatsApp, belum memberikan keterangannya. Beberapa kali dihubungi lewat sambungan telepon hingga berita ini diturunkan pun tidak ada jawaban. Sikap diam dari manajemen PT Timah ini semakin memperkeruh suasana dan menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai kesediaan perusahaan untuk menghadapi masalah ini secara terbuka dan bertanggung jawab.
Masyarakat Desa Bulutumbang dan praktisi hukum mendesak pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta lembaga terkait lainnya untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil. Perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat adat dan tradisional, serta penegakan hukum yang transparan dalam proses perizinan pertambangan, adalah kunci untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Keadilan agraria harus menjadi prioritas utama demi menjaga keharmonisan sosial dan keberlanjutan pembangunan di Indonesia.
[kun]
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id.