Gelombang Literasi Jawa Timur: Minat Baca Melejit, Perpustakaan Bersemi Kembali Pasca Pandemi

Surabaya – Jawa Timur tengah mengalami fenomena kebangkitan literasi yang luar biasa, ditandai dengan tingginya minat baca masyarakat dan peningkatan kunjungan yang signifikan ke perpustakaan, terutama pasca-pandemi COVID-19. Data terbaru menunjukkan bahwa provinsi ini menorehkan angka literasi yang membanggakan, menempatkannya sebagai salah satu garda terdepan dalam pengembangan budaya membaca di Indonesia.
Muhamad Arif Widodo, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Jawa Timur, menegaskan bahwa tingkat literasi dan kegemaran membaca di provinsi ini berada pada kategori yang sangat tinggi. "Tingkat literasi dan kegemaran membaca di Jawa Timur itu luar biasa, termasuk tinggi. Angka kami di atas 78 persen, dan Surabaya lebih tinggi lagi," ujar Arif dalam sebuah kesempatan di Sampoerna Academy Grand Pakuwon Surabaya, ditulis Sabtu (13/9/2025). Pernyataan ini bukan sekadar klaim, melainkan cerminan dari dinamika nyata di lapangan yang menunjukkan antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas literasi.
Angka di atas 78 persen untuk tingkat literasi provinsi adalah pencapaian yang patut diapresiasi, mengingat tantangan era digital yang kerap menggeser fokus masyarakat dari membaca buku. Tingkat literasi yang tinggi merupakan indikator penting kemajuan suatu daerah, karena berkaitan erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, kemampuan berpikir kritis, inovasi, serta daya saing ekonomi. Masyarakat yang literat cenderung lebih informatif, partisipatif dalam pembangunan, dan mampu mengambil keputusan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Dispusip Jatim, sebagai motor penggerak literasi, telah menjalankan berbagai program strategis untuk mencapai dan mempertahankan angka tersebut, mulai dari pengembangan koleksi, peningkatan fasilitas, hingga edukasi dan promosi budaya membaca di seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu pendorong utama dari lonjakan minat baca ini adalah peningkatan kunjungan ke perpustakaan. Setelah masa-masa sulit pandemi COVID-19 yang membatasi interaksi sosial dan akses ke fasilitas publik, perpustakaan kini kembali menjadi magnet bagi masyarakat. Kunjungan ke perpustakaan tidak hanya sekadar mencari atau meminjam buku, melainkan telah bertransformasi menjadi pusat aktivitas komunal dan edukasi. Arif menyoroti bagaimana perpustakaan telah berevolusi menjadi ruang ketiga (third place) yang esensial, tempat di mana individu dapat berkumpul, belajar, dan berinterinteraksi di luar lingkungan rumah atau pekerjaan.
"Setelah Covid-19, kunjungan ke perpustakaan berangsur-angsur meningkat kembali," jelas Arif. Peningkatan ini tidak terjadi secara instan, melainkan bertahap dalam lima tahun terakhir, dengan akselerasi yang signifikan pasca-pandemi. Periode pembatasan sosial selama pandemi rupanya memicu masyarakat untuk mencari alternatif hiburan dan pengembangan diri, dan ketika pembatasan dilonggarkan, banyak yang kembali menemukan kenyamanan dan manfaat dari perpustakaan. Fenomena ini menunjukkan resiliensi budaya membaca dan kemampuan perpustakaan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah, menawarkan lingkungan yang aman dan menarik bagi para pengunjung.
Meskipun dunia telah memasuki era digital yang serba canggih, dengan berbagai format e-book dan platform baca daring, preferensi masyarakat terhadap buku fisik tetap tinggi. Arif mengamati bahwa kecintaan terhadap buku fisik tidak akan pudar. "Orang masih senang memegang buku fisik. Saya pikir, buku fisik tidak akan ditinggalkan," katanya. Perasaan memegang lembaran kertas, mencium aroma khas buku, serta sensasi membalik halaman, memberikan pengalaman taktil yang tidak dapat digantikan oleh layar digital. Buku fisik seringkali dianggap lebih minim distraksi, memungkinkan pembaca untuk fokus sepenuhnya pada isi bacaan tanpa godaan notifikasi atau tautan lain.
Lebih dari itu, buku fisik juga memiliki nilai sentimental dan sosial yang kuat. Arif memberikan contoh bahwa orang cenderung memberikan hadiah berupa buku fisik, bukan buku digital. Ini menunjukkan bahwa buku fisik masih dianggap sebagai benda berharga yang sarat makna, simbol perhatian, dan warisan pengetahuan. Penerbitan buku fisik pun terus berkembang, bahkan dengan inovasi dalam desain sampul, kualitas kertas, dan tata letak, untuk menarik minat pembaca di tengah gempuran media digital. Perpustakaan, dengan koleksi buku fisiknya yang melimpah, menjadi tempat utama bagi masyarakat untuk menikmati pengalaman membaca yang autentik ini.
Fungsi perpustakaan modern jauh melampaui sekadar tempat penyimpanan buku. Arif menekankan bahwa kunjungan ke perpustakaan juga didorong oleh keinginan untuk berinteraksi dan berdiskusi dengan orang lain. "Pertemuan fisik ini juga tidak bisa ditinggalkan," tegasnya. Perpustakaan kini menjadi hub komunitas yang menyelenggarakan berbagai acara, mulai dari bedah buku, lokakarya menulis, kelas literasi digital, hingga diskusi panel tentang isu-isu terkini. Ini menciptakan ekosistem pembelajaran yang kolaboratif, di mana individu tidak hanya menyerap informasi tetapi juga berbagi pengetahuan, bertukar pikiran, dan membangun jaringan sosial. Perpustakaan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai segmen masyarakat, memfasilitasi dialog, dan memperkaya pemahaman kolektif.
Dalam konteks pengukuran tingkat literasi, Kota Surabaya kembali menorehkan prestasi gemilang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, pada tahun 2024, Surabaya berhasil meraih angka Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) sempurna sebesar 100,00 poin. "Surabaya tahun 2024 yang nomor satu. Nilainya otomatis maksimal," kata Arif dengan bangga. Pencapaian ini menegaskan posisi Surabaya sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan inovasi literasi di Jawa Timur, bahkan di tingkat nasional. Tingginya TKM di Surabaya dapat diatribusikan pada sejumlah faktor, termasuk infrastruktur perpustakaan yang modern dan tersebar luas, program literasi yang inovatif dari pemerintah kota, dukungan kuat dari komunitas pendidikan, serta kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya membaca.
Selain Surabaya, beberapa daerah lain di Jawa Timur juga menunjukkan performa luar biasa dalam tingkat kegemaran membaca. Kota Kediri menempati posisi kedua dengan 99,34 poin, diikuti oleh Kota Madiun dengan 96,53 poin. Daerah-daerah lain yang juga menunjukkan angka di atas rata-rata provinsi meliputi Banyuwangi (88,73 poin), Kota Mojokerto (87,52 poin), Bojonegoro (84,53 poin), dan Sidoarjo (83,97 poin). Arif juga menambahkan bahwa kota-kota yang menjadi pusat pembelajaran dan pendidikan, seperti Malang dan Madiun, secara otomatis memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi karena ekosistem akademik dan budaya yang kuat.
Prestasi ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari kerja keras dan kolaborasi berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, institusi pendidikan, komunitas literasi, dan tentunya masyarakat itu sendiri. Perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah tersebut telah berinovasi, tidak hanya sebagai gudang buku, tetapi juga sebagai pusat kegiatan kreatif, pembelajaran sepanjang hayat, dan inkubator ide. Mereka menyediakan akses tidak hanya ke buku, tetapi juga ke internet, fasilitas komputer, dan ruang diskusi yang nyaman, menjadikan perpustakaan sebagai jantung aktivitas intelektual di masing-masing kota dan kabupaten.
Keberhasilan Jawa Timur dalam meningkatkan minat baca dan kunjungan perpustakaan pasca-pandemi menjadi sebuah inspirasi. Ini menunjukkan bahwa di tengah arus deras informasi digital dan berbagai tantangan modern, budaya membaca tetap memiliki tempat yang kokoh dan relevan. Dispusip Jatim berkomitmen untuk terus mengembangkan program-program literasi yang inklusif dan inovatif, memastikan bahwa akses terhadap pengetahuan dan fasilitas membaca dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di pelosok Jawa Timur. Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan momentum ini, memperluas jangkauan literasi ke daerah-daerah yang masih tertinggal, serta mengintegrasikan literasi digital dengan literasi tradisional untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya gemar membaca tetapi juga cerdas dalam memanfaatkan informasi di segala bentuk.
Dengan semangat kebangkitan literasi ini, Jawa Timur tidak hanya membangun generasi yang gemar membaca, tetapi juga membentuk masyarakat yang kritis, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global. Perpustakaan, sebagai pilar utama dalam ekosistem literasi, akan terus menjadi mercusuar pengetahuan yang menerangi jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi seluruh warga Jawa Timur.
rakyatindependen.id