Nasional

Hanan Attaki Tegaskan: Pernikahan Bukan Sekadar Tren, Melainkan Pilar Ibadah dan Pondasi Peradaban Islam.

FESyar Jawa 2025, sebuah festival ekonomi dan syariah yang meriah, bertransformasi menjadi panggung pencerahan spiritual di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya pada Jumat sore, 12 September 2025. Ribuan jamaah, didominasi oleh wajah-wajah muda dari generasi Z dan milenial, memadati setiap sudut masjid, tak sabar menantikan tausiah dari Ustadz Hanan Attaki. Pendakwah yang dikenal dengan gaya santai namun penuh makna ini, hadir bukan hanya sebagai pengisi acara, melainkan sebagai penyeru yang membimbing generasi penerus untuk memahami esensi kehidupan, khususnya dalam babak terpenting: pernikahan. Dalam suasana yang khidmat namun akrab, Ustadz Hanan Attaki dengan lugas menyampaikan pesan mendalam, menegaskan bahwa pernikahan adalah sebuah akad suci yang jauh melampaui sekadar tren musiman atau status sosial yang dikejar.

Ustadz Hanan Attaki, dengan retorikanya yang khas dan mampu merangkul hati kaum muda, memulai tausiahnya dengan menyoroti fenomena pernikahan di era digital. Ia mengakui bahwa tekanan sosial, ekspektasi media sosial, dan keinginan untuk terlihat ‘up-to-date’ seringkali mengaburkan makna sejati dari ikatan suci ini. “Banyak dari kalian, generasi Z, mungkin melihat pernikahan sebagai pencapaian status, ajang pamer resepsi mewah di Instagram, atau sekadar ikut-ikutan teman. Padahal, pernikahan syariah adalah perjanjian agung, sebuah ikrar di hadapan Allah SWT, untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah,” jelasnya, suaranya memenuhi ruang masjid yang luas.

Beliau menekankan bahwa dalam Islam, pernikahan memiliki tujuan yang jauh lebih luhur dan mendalam daripada sekadar memenuhi keinginan duniawi. Pertama, pernikahan bertujuan untuk menciptakan ketenangan jiwa dan pikiran bagi pasangan, memberikan perlindungan dari godaan maksiat, serta menjaga kehormatan diri. Kedua, pernikahan adalah jembatan untuk melanjutkan keturunan yang saleh dan salehah, sebagai investasi dunia dan akhirat. Dan yang terpenting, pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah terpanjang dalam hidup seorang Muslim, yang setiap momennya, dari bangun tidur hingga kembali tidur, bisa bernilai pahala jika diniatkan karena Allah dan dilakukan sesuai tuntunan agama. “Ini yang harus dipahami oleh generasi muda. Nikah itu bukan sekadar tren atau status yang bisa gonta-ganti, melainkan ibadah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Setiap janji, setiap perlakuan, setiap keputusan dalam rumah tangga, semuanya akan dihisab,” ujarnya, mengingatkan para jamaah akan beratnya amanah pernikahan.

Lebih lanjut, Ustadz Hanan Attaki menguraikan bahwa agar pernikahan sah dan menjadi ibadah yang mabrur, seluruh syarat dan rukun yang digariskan syariat harus terpenuhi secara sempurna. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan pondasi yang mengukuhkan kekuatan ikatan tersebut. Adanya wali nikah, yang bertanggung jawab atas perempuan dan memastikan kemaslahatannya, adalah syarat mutlak. Kehadiran dua saksi yang adil, yang menyaksikan akad secara langsung, menjamin transparansi dan keabsahan pernikahan di mata masyarakat dan agama. Dan tentu saja, ijab qabul yang sah, di mana calon suami mengucapkan janji untuk menerima calon istri dengan mahar tertentu, merupakan inti dari akad itu sendiri. “Pernikahan adalah mitsaqan ghalizhan, ikatan yang sangat kuat, sebuah perjanjian agung yang Allah sendiri menjadi saksinya. Kekuatan ikatan ini tidak main-main, bahkan disebut dalam Al-Qur’an setara dengan perjanjian para Nabi,” tegas Ustadz Hanan, menggarisbawahi betapa sakralnya pernikahan dalam pandangan Islam.

Ribuan jamaah yang hadir, banyak di antaranya mengaku baru pertama kali mendengar penjelasan rinci tentang pernikahan syariah dengan gaya penyampaian yang ringan dan mudah dicerna. Suasana masjid dipenuhi dengan anggukan kepala dan tatapan mata yang fokus, menunjukkan betapa relevannya pesan ini bagi mereka. Ustadz Hanan kemudian beralih ke aspek praktis dalam membangun dan mempertahankan rumah tangga yang harmonis. Ia berpesan, bahwa dalam membangun bahtera rumah tangga, pasangan harus senantiasa meneladani akhlak Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW adalah teladan sempurna dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan keluarga.

Hanan Attaki Tegaskan: Pernikahan Bukan Sekadar Tren, Melainkan Pilar Ibadah dan Pondasi Peradaban Islam.

“Attitude dalam pernikahan harus mencontoh Nabi. Bagaimana beliau memperlakukan istrinya dengan kasih sayang, kelembutan, penuh rasa hormat, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Beliau adalah suami terbaik yang selalu mendengarkan, menghargai pendapat, bahkan membantu pekerjaan rumah tangga,” pungkasnya. Ustadz Hanan Attaki memberikan contoh bagaimana Rasulullah selalu memuji istrinya, Aisyah RA, bahkan mengajaknya berlomba lari, menunjukkan sisi romantis dan humoris dalam pernikahan. Beliau juga menunjukkan kesabaran yang luar biasa, memaafkan kesalahan kecil, dan selalu berupaya menjadi penenang bagi keluarganya. Meneladani akhlak Nabi berarti menempatkan cinta, kesabaran, pengertian, dan pengorbanan sebagai pilar utama dalam interaksi sehari-hari.

Pesan ini sangat relevan mengingat tantangan yang dihadapi generasi Z dalam membangun rumah tangga. Tekanan ekonomi, perubahan gaya hidup, serta pengaruh budaya asing yang cenderung mengedepankan individualisme, seringkali membuat konsep pernikahan sebagai ibadah menjadi terpinggirkan. Ustadz Hanan Attaki mengajak para pemuda untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan pernikahan hanya karena desakan lingkungan atau tren sesaat. Sebaliknya, ia mendorong mereka untuk mempersiapkan diri secara matang, baik secara spiritual, emosional, maupun finansial. Mempelajari ilmu tentang pernikahan, memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan, serta memupuk keimanan adalah kunci untuk membangun rumah tangga yang kokoh.

“Persiapan pernikahan itu bukan hanya soal gedung, catering, atau baju pengantin. Jauh lebih penting adalah persiapan hati dan mental. Apakah kita sudah siap menerima kekurangan pasangan? Apakah kita siap untuk berkompromi, bersabar, dan saling menguatkan? Pernikahan adalah sekolah seumur hidup, di mana kita terus belajar dan bertumbuh bersama pasangan menuju ridha Allah,” tutur Ustadz Hanan Attaki. Ia juga mengingatkan bahwa konflik adalah bagian tak terpisahkan dari setiap hubungan. Namun, bagaimana pasangan mengelola konflik tersebut, dengan berpegang pada ajaran Islam dan meneladani Rasulullah, akan menentukan kekuatan dan keberkahan rumah tangga. Musyawarah, saling memaafkan, dan mencari solusi terbaik dengan kepala dingin, adalah kunci untuk melewati badai pernikahan.

Di akhir tausiahnya, Ustadz Hanan Attaki mengajak seluruh jamaah untuk merenungkan kembali niat mereka dalam pernikahan. Apakah niatnya murni karena Allah, untuk menyempurnakan separuh agama, ataukah ada motif-motif lain yang bersifat duniawi. Niat yang lurus akan menjadi fondasi yang kuat, yang akan menuntun pasangan melewati suka dan duka kehidupan rumah tangga. Ia berharap, generasi muda tidak hanya menjadi pelanjut estafet keluarga, tetapi juga menjadi agen perubahan yang mampu membangun peradaban Islam yang kokoh, dimulai dari unit terkecil: keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan menjadikan pernikahan sebagai ibadah, setiap rumah tangga akan menjadi benteng keimanan, melahirkan generasi penerus yang berakhlak mulia, dan pada akhirnya, berkontribusi pada kejayaan umat. Pesan Ustadz Hanan Attaki pada FESyar Jawa 2025 ini menjadi pengingat yang powerful bagi generasi Z dan milenial, bahwa pernikahan bukanlah akhir dari pencarian, melainkan awal dari perjalanan spiritual yang panjang dan penuh berkah, asalkan diniatkan sebagai ibadah yang tulus.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Hanan Attaki Tegaskan: Pernikahan Bukan Sekadar Tren, Melainkan Pilar Ibadah dan Pondasi Peradaban Islam.

Related Articles