Tulungagung, sebuah kabupaten yang kaya akan warisan budaya, kembali menjadi sorotan sebagai pusat kegiatan pelestarian seni tari tradisional. Pada Sabtu, 18 Oktober 2025, puluhan seniman tari dari berbagai daerah di eks Karisidenan Kediri berkumpul di Tulungagung untuk mengikuti Workshop Nyantrik 8, sebuah inisiatif penting yang bertujuan untuk mendalami dan melestarikan tari Gandrung Marsan dari Banyuwangi. Acara ini bukan sekadar pelatihan tari biasa, melainkan sebuah pertukaran budaya yang mendalam, mempertemukan para pegiat seni dengan maestro tari Gandrung Marsan yang disegani, Subari Sofyan.
Suasana di lokasi workshop dipenuhi dengan antusiasme yang membara. Para peserta, yang datang dari berbagai kota seperti Blitar, Kediri, dan Nganjuk, menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Mereka tidak hanya menyimak materi yang disampaikan oleh Subari Sofyan dengan seksama, tetapi juga secara aktif memperagakan setiap gerakan tari khas Banyuwangi tersebut. Gandrung Marsan, sebuah tarian yang memiliki kekhasan dan filosofi mendalam, menjadi fokus utama pembelajaran. Berbeda dengan beberapa bentuk tari Gandrung lainnya yang lebih banyak ditarikan oleh perempuan, Gandrung Marsan secara tradisional lebih sering dibawakan oleh penari pria, sebuah aspek yang memberikan nuansa dan energi yang unik pada setiap gerakannya.
Alzio, salah seorang peserta workshop, tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Baginya, kesempatan untuk belajar langsung dari maestro Subari Sofyan adalah sebuah anugerah. "Saya belum pernah menari Gandrung Marsan sebelumnya, dan ini adalah kesempatan emas bagi saya untuk belajar langsung dari ahlinya," ujar Alzio dengan mata berbinar. Ia menambahkan bahwa tidak hanya mendapatkan ilmu baru, tetapi juga pengalaman berharga untuk mementaskan tari tersebut secara langsung setelah workshop. Dengan semangat membara, Alzio mengikuti setiap arahan dan gerakan yang diajarkan oleh Subari Sofyan, berusaha menangkap esensi dan jiwa dari tarian tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fransiswa Valentia, peserta asal Kediri. Meskipun Fransiswa memiliki pengalaman menari Gandrung sebelumnya, Gandrung Marsan adalah hal yang baru baginya. "Materi yang diberikan sangat menarik dan berbeda. Kalau Gandrung Marsan ini biasanya ditarikan oleh cowok, berbeda dengan Gandrung lain yang mungkin lebih umum ditarikan oleh penari wanita," tutur Fransiswa, menyoroti perbedaan fundamental yang menjadikan Gandrung Marsan memiliki karakter tersendiri. Perbedaan ini, menurutnya, memberikan tantangan sekaligus pengalaman baru yang memperkaya khazanah tari yang ia kuasai.
Workshop Nyantrik 8 ini bukan hanya tentang belajar gerakan, tetapi juga tentang memahami sejarah, filosofi, dan nilai-nilai yang terkandung dalam tari Gandrung Marsan. Subari Sofyan, dengan pengalamannya yang puluhan tahun, tidak hanya mengajarkan teknik menari, tetapi juga berbagi cerita tentang asal-usul Gandrung Marsan, evolusinya, serta perannya dalam masyarakat Banyuwangi. Ia menjelaskan bagaimana tarian ini merupakan bagian tak terpisahkan dari ritual, perayaan, dan kehidupan sosial di tanah kelahirannya, mencerminkan semangat gotong royong, keberanian, dan keindahan budaya lokal.
Gandrung Marsan, atau sering juga disebut Gandrung Lanang, adalah salah satu bentuk awal dari tari Gandrung yang berkembang di Banyuwangi. Pada awalnya, Gandrung memang ditarikan oleh penari pria, dan Gandrung Marsan ini merupakan salah satu representasi otentik dari bentuk tersebut. Gerakannya cenderung lebih gagah, kuat, dan ekspresif, seringkali diiringi dengan musik gamelan yang dinamis. Kostumnya pun memiliki kekhasan tersendiri, mencerminkan identitas maskulin yang kuat namun tetap elegan. Mempelajari Gandrung Marsan berarti menyelami akar budaya yang mendalam, memahami bagaimana sebuah seni tari dapat menjadi cerminan sejarah dan identitas suatu masyarakat.
Subari Sofyan sendiri menyatakan kebanggaannya melihat antusiasme para peserta. Ia tidak menyangka bahwa workshop di Tulungagung ini akan menarik perhatian seniman dari daerah lain yang begitu jauh. "Saya sangat senang dengan digelarnya Workshop Nyantrik ini. Melihat peserta datang dari Blitar, Kediri, dan Nganjuk menunjukkan bahwa semangat untuk melestarikan seni tari tradisional begitu besar dan meluas," ujarnya dengan senyum. Baginya, ini adalah bukti bahwa upaya pelestarian budaya tidak mengenal batas geografis, dan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menyatukan berbagai komunitas.
Lebih jauh, Subari Sofyan mengungkapkan harapannya agar Tulungagung dapat berkembang menjadi pusat wisata seni yang semarak, sebagaimana Banyuwangi telah berhasil melakukannya. Ia melihat potensi besar di Tulungagung, terutama karena kabupaten ini telah memiliki dua warisan budaya tak benda (WBTB) yang diakui secara nasional, yaitu tari Reyog Kendang dan Jaranan Sentherewe. "Karena Tulungagung sudah memiliki tari Reyog Kendang dan Jaranan Sentherewe yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda, jika dikelola secara maksimal, potensi untuk menjadi destinasi wisata seni yang berkembang pesat sangat besar," pungkasnya.
Visi Subari Sofyan ini bukan tanpa dasar. Tari Reyog Kendang adalah sebuah seni pertunjukan yang enerjik, melibatkan puluhan penari dengan kendang yang diikat di pinggang, menghasilkan ritme yang memukau. Sementara itu, Jaranan Sentherewe adalah seni kuda lumping khas Tulungagung yang memiliki keunikan gerak dan iringan musiknya. Kedua tarian ini, jika dipromosikan dan dikelola dengan baik, dapat menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, tidak hanya sebagai penonton tetapi juga sebagai peserta dalam workshop serupa.
Penyelenggaraan Workshop Nyantrik 8 di Tulungagung ini merupakan bagian dari upaya kolektif untuk memperkuat jaringan seniman tari di regional eks Karisidenan Kediri. Kolaborasi antar daerah ini sangat krusial untuk memastikan bahwa seni tari tradisional tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan esensinya. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara seniman dari berbagai latar belakang budaya memperkaya wawasan mereka dan memicu inovasi dalam kreasi seni.
Para peserta workshop diharapkan tidak hanya membawa pulang ilmu dan pengalaman menari Gandrung Marsan, tetapi juga semangat untuk terus belajar, berkreasi, dan melestarikan warisan budaya di daerah masing-masing. Alzio dan Fransiswa, beserta puluhan peserta lainnya, kini menjadi duta-duta kecil yang akan menyebarkan pesona Gandrung Marsan ke lingkungan mereka. Mereka akan menjadi mata rantai penting dalam transmisi pengetahuan dari generasi ke generasi.
Keberhasilan Workshop Nyantrik 8 ini menjadi bukti bahwa minat terhadap seni tari tradisional masih sangat tinggi, terutama di kalangan generasi muda. Ini memberikan harapan besar bagi masa depan seni budaya Indonesia. Dengan adanya inisiatif seperti Nyantrik, di mana seniman senior berbagi ilmu dengan generasi penerus, kekayaan budaya bangsa akan terus hidup dan bersemi. Dukungan dari pemerintah daerah, komunitas seni, dan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Tulungagung sebagai pusat kebudayaan dan destinasi wisata seni yang berkelanjutan.
Melalui acara semacam ini, Tulungagung tidak hanya menjadi tuan rumah bagi sebuah workshop tari, tetapi juga menjadi simpul penting dalam jejaring pelestarian budaya nasional. Ini adalah langkah nyata menuju cita-cita agar seni tari tradisional, seperti Gandrung Marsan, Reyog Kendang, dan Jaranan Sentherewe, tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga bagian integral dari identitas dan kebanggaan masyarakat Indonesia. Semoga semangat dan harmoni gerak yang tercipta di Tulungagung akan terus menginspirasi dan membawa asa baru bagi dunia seni dan budaya tanah air.
[nm/beq] Berita lainnya dapat diakses di rakyatindependen.id.