Nasional

Jawa Timur Konsisten Pertahankan Status Bebas Rabies Sejak 1996: Kementan Apresiasi Kolaborasi Menuju Nol Kematian Manusia Akibat Rabies 2030

Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian (Kementan) secara tegas mengonfirmasi bahwa Provinsi Jawa Timur (Jatim) telah berhasil mempertahankan statusnya sebagai wilayah bebas rabies sejak tahun 1996 silam, sebuah pencapaian yang patut diacungi jempol dan menjadi tolok ukur nasional. Penegasan ini disampaikan oleh Direktur Kesehatan Hewan Kementan, Hendra Wibawa, dalam momen penting peringatan puncak World Rabies Day (WRD) 2025 yang diselenggarakan di Balai Besar Veteriner Farma (BBVF) Pusvetma Surabaya, Sabtu (11/10/2025). Status bebas rabies ini bukan sekadar gelar, melainkan cerminan dari kerja keras, kolaborasi lintas sektor, serta kesadaran masyarakat yang tinggi dalam menjaga kesehatan hewan dan manusia. Keberhasilan ini menempatkan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis mematikan ini di Indonesia.

Acara puncak World Rabies Day (WRD) 2025 di Surabaya menjadi platform penting untuk menggaungkan kembali komitmen global dalam memberantas rabies. Hari Rabies Sedunia diperingati setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak rabies pada manusia dan hewan, serta untuk mempromosikan upaya pencegahan dan pengendalian. Penyelenggaraan di BBVF Pusvetma Surabaya, sebuah lembaga yang memiliki peran strategis dalam diagnostik dan penelitian veteriner, semakin menegaskan keseriusan pemerintah dalam mengelola isu kesehatan hewan. Dalam sambutannya, Hendra Wibawa tidak hanya memuji Jawa Timur, tetapi juga menyoroti provinsi lain di Pulau Jawa yang telah mencapai status serupa. Ia memastikan bahwa Jatim bersama dengan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan zona bebas rabies yang menjadi contoh bagi wilayah lain. "Di Jawa ini yang bebas adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY," ujar Hendra, menggarisbawahi peta keberhasilan di Pulau Jawa.

Pencapaian Jawa Timur dalam mempertahankan status bebas rabies selama hampir tiga dekade ini memiliki implikasi yang sangat luas dan positif. Dari perspektif kesehatan masyarakat, ini berarti risiko penularan rabies kepada manusia di Jatim sangat minim, melindungi jutaan penduduk dari ancaman penyakit yang hampir selalu fatal jika tidak ditangani segera. Secara ekonomi, status ini mendukung sektor pariwisata karena wisatawan dapat merasa aman berkunjung tanpa khawatir akan rabies. Bagi sektor peternakan, hewan ternak terlindungi dari ancaman virus, memastikan produktivitas dan keamanan pangan. Selain itu, status bebas rabies juga mempermudah lalu lintas perdagangan hewan dari Jatim ke daerah lain yang juga bebas rabies, menghindari karantina yang ketat dan biaya tambahan. Ini adalah fondasi kuat bagi pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat di Jawa Timur.

Pemerintah menargetkan pembebasan rabies di seluruh Pulau Jawa pada tahun 2029, sebuah ambisi besar yang memerlukan upaya ekstra dari provinsi-provinsi yang belum bebas. Namun, Hendra Wibawa menegaskan bahwa mempertahankan status bebas rabies, apalagi mencapainya, bukanlah tugas satu pihak. Hal ini membutuhkan kolaborasi dan tanggung jawab bersama yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. "Pemberantasan atau pengendalian rabies itu membutuhkan kerjasama, kolaborasi semuanya. Tidak hanya dari Kementerian Pertanian, tapi juga Kementerian Kesehatan, masyarakat, dan pemerintah daerah," tegasnya. Kolaborasi ini mewujud dalam bentuk program vaksinasi massal, edukasi publik, pengawasan lalu lintas hewan, serta respons cepat terhadap laporan gigitan hewan. Keterlibatan Kementerian Kesehatan sangat krusial dalam penanganan kasus gigitan pada manusia dan penyediaan vaksin antirabies (VAR) untuk manusia, sementara pemerintah daerah menjadi ujung tombak implementasi program di lapangan.

Hendra Wibawa juga menyoroti vaksinasi sebagai tindakan pencegahan yang paling vital dan efektif dalam memerangi rabies. Menurutnya, mencapai cakupan vaksinasi lebih dari 70 persen populasi hewan rentan, terutama anjing, akan sangat efektif dalam melindungi hewan peliharaan dan menekan penularan virus. Angka 70 persen ini bukanlah kebetulan; ia merupakan ambang batas kritis untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity), di mana virus akan kesulitan menemukan inang baru untuk bereplikasi, sehingga rantai penularan dapat terputus. Kekebalan kelompok melindungi tidak hanya hewan yang divaksinasi, tetapi juga hewan yang tidak dapat divaksinasi karena alasan medis atau usia. Oleh karena itu, memastikan sebagian besar populasi anjing diimunisasi adalah kunci untuk menciptakan zona penyangga yang kuat terhadap penyebaran rabies.

Jawa Timur Konsisten Pertahankan Status Bebas Rabies Sejak 1996: Kementan Apresiasi Kolaborasi Menuju Nol Kematian Manusia Akibat Rabies 2030

Meskipun animo masyarakat Surabaya dalam program vaksinasi gratis pada WRD 2025 sangat baik, yang menunjukkan kesadaran yang meningkat, Hendra mengingatkan bahwa vaksinasi adalah tanggung jawab mandiri setiap pemilik hewan. Program pemerintah adalah dukungan, namun bukan satu-satunya jalan. "Tidak harus menunggu program dari pemerintah, apalagi ini terkait dengan hewan kesayangan kita," tambahnya. Ini menekankan pentingnya kepemilikan hewan yang bertanggung jawab, di mana pemilik harus secara proaktif memastikan hewan peliharaannya mendapatkan vaksinasi rutin. Vaksinasi rutin, yang umumnya dianjurkan setahun sekali, tidak hanya dapat diakses melalui program pemerintah daerah, tetapi juga di klinik dokter hewan swasta yang tersebar luas. Kemudahan akses ini seharusnya menghilangkan alasan bagi pemilik hewan untuk tidak memvaksinasi hewan kesayangannya.

Tantangan dalam mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi tentu saja ada. Biaya vaksinasi, meskipun tidak terlalu mahal, bisa menjadi kendala bagi sebagian pemilik hewan, terutama di daerah pedesaan. Kurangnya kesadaran akan pentingnya vaksinasi, mitos-mitos yang beredar, serta kesulitan dalam menjangkau populasi anjing liar atau anjing yang berkeliaran bebas juga menjadi hambatan signifikan. Untuk mengatasi ini, diperlukan program edukasi yang berkelanjutan, subsidi vaksinasi bagi masyarakat kurang mampu, serta strategi penangkapan dan vaksinasi anjing liar yang humanis dan efektif. Pelibatan komunitas lokal dan organisasi pecinta hewan juga sangat penting untuk memastikan pesan vaksinasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat dan untuk membantu menjangkau populasi anjing yang sulit diakses.

Di sisi lain, Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, Imron Suandy, menambahkan bahwa selain vaksinasi, pengendalian laju populasi hewan pembawa rabies (HPR), khususnya anjing, juga merupakan langkah krusial. Populasi anjing yang tidak terkontrol dapat mempersulit upaya vaksinasi dan meningkatkan risiko penyebaran rabies. Pengendalian populasi bisa dilakukan melalui program sterilisasi atau pengebirian massal (steril/neuter and release), yang tidak hanya mengurangi jumlah hewan tetapi juga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hewan. Imron Suandy berharap melalui kesadaran kolektif dan vaksinasi mandiri yang terus-menerus, target global untuk nol kasus kematian manusia akibat rabies pada 2030 dapat tercapai. "Tidak boleh ada lagi kasus (rabies, kematian) di manusia," ujarnya, menegaskan urgensi dan ambisi dari target ini.

Target global nol kematian manusia akibat rabies pada 2030 adalah bagian dari inisiatif "United Against Rabies" yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies (GARC). Pendekatan yang digunakan adalah "One Health," yang mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terkait. Oleh karena itu, solusi untuk rabies harus melibatkan kolaborasi lintas sektor yang mengintegrasikan kesehatan hewan dan kesehatan manusia. Keberhasilan Jawa Timur adalah bukti nyata bahwa pendekatan ini efektif dan dapat direplikasi di wilayah lain. Namun, upaya ini tidak boleh berhenti, karena ancaman rabies selalu mengintai jika kewaspadaan mengendur.

Meskipun Jawa Timur aman dari rabies, Kementan tetap meningkatkan kewaspadaan mengingat adanya laporan peningkatan jumlah kasus gigitan hewan secara nasional. Peningkatan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti peningkatan populasi hewan peliharaan, urbanisasi yang mengurangi habitat alami hewan liar, atau kurangnya edukasi tentang interaksi yang aman dengan hewan. Penting untuk dicatat bahwa meskipun kasus gigitan meningkat, kasus kematian pada manusia dapat dicegah berkat program pencegahan dan penanganan yang ada. Masyarakat diminta untuk segera melapor dan melakukan tata laksana cepat setelah terjadi gigitan hewan. Sebab, kebanyakan kasus pada manusia hingga meninggal, terjadi karena tidak tertangani dengan cepat dan tepat. Ini berarti rabies adalah penyakit yang dapat dicegah jika penanganan medis segera dilakukan, termasuk pembersihan luka secara menyeluruh, pemberian vaksin antirabies (VAR), dan dalam beberapa kasus, imunoglobulin antirabies (RIG) pasca-paparan.

Pemerintah sendiri saat ini fokus ke dua wilayah endemik utama di Indonesia, yaitu Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kedua provinsi ini menghadapi tantangan yang berbeda dan lebih kompleks dalam pengendalian rabies. Di Bali, populasi anjing yang tinggi dan faktor budaya membuat pengendalian menjadi lebih rumit. Sementara di NTT, kondisi geografis kepulauan dan keterbatasan akses menjadi hambatan utama. Mempertahankan status bebas rabies di Jawa Timur memerlukan kewaspadaan terhadap ancaman dari luar, seperti masuknya hewan pembawa rabies secara ilegal dari daerah endemik. Pengawasan ketat di pintu masuk provinsi, baik darat, laut, maupun udara, serta edukasi masyarakat tentang bahaya membawa hewan dari daerah endemik, menjadi kunci untuk mencegah reintroduksi virus.

Kesuksesan Jawa Timur dalam mempertahankan status bebas rabies selama puluhan tahun adalah prestasi luar biasa yang patut diapresiasi. Ini adalah hasil dari komitmen yang kuat, strategi yang terencana, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Namun, perjalanan belum berakhir. Tantangan untuk mempertahankan status ini, terutama dengan adanya daerah endemik di Indonesia dan potensi pergerakan hewan, membutuhkan kewaspadaan yang berkelanjutan, inovasi dalam program pencegahan, serta dukungan tanpa henti dari pemerintah pusat dan daerah. Dengan semangat kolaborasi dan tanggung jawab bersama, Jawa Timur dapat terus menjadi benteng kokoh bebas rabies, serta menjadi inspirasi bagi seluruh Indonesia dalam mewujudkan target nol kematian manusia akibat rabies pada 2030.

(rakyatindependen.id)

Jawa Timur Konsisten Pertahankan Status Bebas Rabies Sejak 1996: Kementan Apresiasi Kolaborasi Menuju Nol Kematian Manusia Akibat Rabies 2030

Related Articles