Kangean Membara: Amuk Massa Bakar Mess Kontraktor dan Aset Anggota Dewan Pasca-Penangkapan Nelayan dalam Pusaran Konflik Seismik.
Situasi di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura, memanas dan mencapai titik didih pada Selasa, 4 November 2025, malam, menyusul serangkaian peristiwa yang berakar pada ketegangan antara masyarakat nelayan lokal dengan aktivitas eksplorasi energi di perairan mereka. Gelombang kemarahan warga yang dipicu oleh penangkapan enam nelayan oleh pihak kepolisian, tidak hanya berujung pada pengerahan massa ke Markas Kepolisian Sektor (Polsek) Kangean, tetapi juga eskalasi anarkis berupa pembakaran fasilitas vital yang terafiliasi dengan kepentingan pihak ketiga dan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep. Insiden ini menyoroti kompleksitas konflik sumber daya alam, perlindungan mata pencarian tradisional, dan tantangan penegakan hukum di tengah gejolak sosial.
Ketegangan di Kangean bukanlah fenomena baru. Beberapa waktu terakhir, aktivitas survei seismik yang dilakukan oleh Kangean Energy Indonesia (KEI), sebuah kontraktor pihak ketiga yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi, telah menimbulkan keresahan di kalangan nelayan setempat. Survei seismik, yang menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk memetakan cadangan migas di bawah laut, sering kali dituding mengganggu ekosistem laut, merusak terumbu karang, dan yang paling krusial bagi warga Kangean, mengusir ikan dari habitatnya. Bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada hasil laut, gangguan sekecil apapun terhadap ekosistem ini dapat berarti ancaman serius terhadap keberlanjutan ekonomi keluarga mereka. Protes-protes sporadis telah terjadi sebelumnya, namun belum pernah mencapai tingkat kekerasan dan kerusakan properti yang terjadi pada malam itu.
Puncak ketegangan bermula ketika aparat keamanan menangkap enam nelayan yang diduga menjadi provokator dalam serangkaian upaya pengusiran kapal induk milik KEI yang tengah melakukan uji seismik di perairan Kangean. Menurut informasi yang dihimpun, keenam nelayan tersebut tidak hanya mengusir, tetapi juga disebut-sebut membawa senjata tajam dan menggunakan kembang api untuk menakut-nakuti kru kapal survei. Penangkapan ini, yang dilakukan dalam operasi gabungan TNI-Polri, dengan cepat menyebar di kalangan masyarakat Kangean, memicu reaksi berantai yang tidak terduga. Kabar mengenai penahanan warga mereka, terutama yang dianggap sebagai pejuang hak-hak nelayan, menyulut api kemarahan kolektif.
Sekitar pukul 19.00 WIB, ratusan warga mulai berkumpul dan bergerak menuju Polsek Kangean. Dengan teriakan-teriakan dan tuntutan agar para nelayan yang ditangkap segera dibebaskan, massa mengepung markas kepolisian tersebut. Suasana di depan Polsek Kangean menjadi sangat tegang. Para tokoh masyarakat dan perwakilan nelayan mencoba untuk berkomunikasi dengan aparat, menyampaikan kekhawatiran dan ketidakpuasan mereka atas penangkapan yang mereka anggap tidak adil. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, S.I.K., membenarkan adanya kelompok massa yang mendatangi Polsek, mencari petugas gabungan TNI-Polri yang sebelumnya mengamankan warga yang menyerang kapal survei seismik. Kapolsek Kangean, bersama beberapa perwira lainnya, berupaya meredakan situasi dengan menjelaskan bahwa para nelayan yang diamankan telah dilepaskan dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan anarkis lagi. Setelah penjelasan tersebut, perlahan namun pasti, sebagian besar warga mulai berangsur meninggalkan Polsek.
Namun, ketenangan itu hanya bersifat sementara. Alih-alih pulang ke rumah masing-masing, sekelompok massa yang lebih kecil, namun dengan amarah yang masih membara, tiba-tiba bergerak ke arah lain. Tanpa komando yang jelas, mereka menuju ke sebuah kompleks yang mencakup sebuah "waterpark" dan mess yang selama ini ditempati oleh karyawan kontraktor (pihak ketiga) Kangean Energy Indonesia. Mess tersebut juga diketahui merupakan milik salah satu anggota DPRD Sumenep. Lokasi ini menjadi target kemarahan karena diduga kuat anggota DPRD tersebut adalah salah satu tokoh yang mendukung penuh keberlangsungan survei seismik di perairan Kangean, yang dianggap mengabaikan kepentingan dan kelangsungan hidup nelayan lokal.
Sesampainya di lokasi, amuk massa tidak lagi terbendung. Mereka melampiaskan kemarahan dengan merusak fasilitas, memecahkan kaca-kaca bangunan, sebelum akhirnya menyulut api. Dalam waktu singkat, waterpark dan mess tersebut dilalap si jago merah. Beruntung, saat insiden pembakaran terjadi, mess dalam keadaan kosong, sehingga tidak ada korban jiwa yang jatuh. Kerugian material ditaksir mencapai miliaran rupiah. Asap hitam membumbung tinggi, menjadi saksi bisu atas puncak kemarahan warga yang merasa suara mereka tidak didengar dan mata pencarian mereka terancam.
Manajer Public and Government Affairs (PGA) KEI, Kampoi Naibaho, yang dihubungi pasca-kejadian, mengaku menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus pembakaran tersebut kepada aparat kepolisian. "Ini sudah ranahnya aparat keamanan karena ini aksi anarkis. Kami menyerahkan sepenuhnya ke kepolisian," katanya singkat, menunjukkan bahwa pihak KEI akan menempuh jalur hukum untuk insiden ini. Sementara itu, pihak kepolisian, melalui Kombes Jules Abraham Abast, menegaskan bahwa penangkapan nelayan sebelumnya adalah bagian dari upaya penegakan hukum terhadap tindakan yang mengancam keselamatan dan ketertiban. Namun, ia juga mengakui bahwa insiden pembakaran aset milik anggota DPRD tersebut menunjukkan eskalasi konflik yang memerlukan penanganan lebih lanjut. "Setelah dari Polsek, kemudian masyarakat bergerak ke tempat wisata yang merupakan milik salah satu anggota DPRD Sumenep yang diduga merupakan tokoh pendukung survei seismik dan melakukan pembakaran bagian depan tempat wisata dan memecahkan kaca," jelas Kombes Jules, menggarisbawahi motif di balik penyerangan target kedua.
Insiden ini tidak hanya meninggalkan puing-puing bangunan yang terbakar, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan eksplorasi energi di perairan Kangean dan bagaimana pemerintah daerah serta pusat akan menengahi konflik yang semakin meruncing ini. Tokoh masyarakat Kangean, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa kemarahan warga adalah akumulasi dari rasa frustrasi yang panjang. Mereka merasa pembangunan dan investasi besar kerap kali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan terhadap masyarakat lokal, khususnya mereka yang hidup dari sumber daya alam. Di sisi lain, investasi di sektor energi seringkali dianggap vital untuk ketahanan energi nasional dan pembangunan ekonomi.
Diperlukan dialog yang konstruktif dan inklusif antara semua pihak: nelayan, perusahaan eksplorasi, pemerintah daerah, dan penegak hukum. Pendekatan yang hanya mengedepankan aspek hukum tanpa memperhatikan akar masalah sosial-ekonomi masyarakat rentan, dikhawatirkan hanya akan memicu konflik serupa di masa mendatang. Pemerintah Kabupaten Sumenep dan Provinsi Jawa Timur diharapkan dapat segera turun tangan untuk memfasilitasi mediasi, mencari solusi yang adil bagi nelayan, serta memastikan keamanan dan ketertiban di Pulau Kangean dapat pulih kembali. Kasus pembakaran ini juga menjadi pengingat pahit tentang pentingnya studi dampak sosial dan lingkungan yang komprehensif, serta mekanisme konsultasi publik yang efektif sebelum proyek-proyek besar dilaksanakan di wilayah yang sensitif secara sosial dan ekologis.
Meskipun Polsek Kangean telah berhasil meredakan ketegangan awal dengan membebaskan para nelayan yang ditangkap, insiden pembakaran yang terjadi setelahnya menunjukkan bahwa api kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat masih menyala. Konflik antara pembangunan dan konservasi mata pencarian tradisional, terutama di wilayah pesisir, adalah isu global yang kompleks. Di Kangean, ketegangan ini kini telah berwujud dalam kerusakan fisik dan retaknya kepercayaan. Tantangan besar kini ada pada pihak berwenang untuk tidak hanya menindak pelaku anarkisme, tetapi juga untuk mengatasi akar permasalahan yang mendalam demi terciptanya perdamaian dan keadilan sosial di pulau tersebut.
rakyatindependen.id


