Dari hamparan tanah Papua yang eksotis hingga gemerlap lapangan hijau di Kota Malang, jejak langkah kecil Kesya Arabela telah mengukir narasi inspiratif, membuktikan bahwa impian besar tak mengenal batas geografis maupun usia. Gadis belia berusia 13 tahun, yang kini membela panji Arema FC Putri KU-15, menjadi magnet perhatian di gelaran akbar Hydro Plus Soccer League 2025–2026. Penampilannya yang memukau sebagai salah satu top skor turnamen yang dihelat di Lapangan Bogowonto, Surabaya, pada Sabtu sore (8/11/2025), bukan sekadar catatan statistik, melainkan sebuah deklarasi bahwa era sepak bola perempuan Indonesia telah tiba, dan para srikandi lapangan hijau siap merebut panggungnya.
Kesya Arabela, dengan postur mungil namun semangat membara, adalah manifestasi nyata dari ketekunan dan bakat alami. Kisahnya bermula di tanah kelahirannya, Jayapura, di mana ia mengasah kemampuannya di Sekolah Sepak Bola (SSB) Volta Jayapura. SSB Volta dikenal sebagai salah satu kawah candradimuka bagi talenta-talenta muda Papua, tempat di mana fondasi teknik dan mentalitas bertanding ditanamkan sejak dini. Di sana, Kesya kecil mulai menunjukkan kilauannya, menonjol di antara teman-temannya dengan kecepatan, kelincahan, dan insting gol yang tajam. Namun, mimpinya melampaui batas-batas lokal. Sebuah kesempatan emas datang melalui program "Mic Life," sebuah inisiatif yang dirancang untuk menjaring bakat-bakat sepak bola putri dari seluruh penjuru Indonesia, memberikan mereka platform untuk berkembang di lingkungan yang lebih kompetitif. Program inilah yang akhirnya membimbing Kesya menuju Arema FC Women, sebuah klub dengan visi kuat untuk mengembangkan sepak bola putri.
Keputusan untuk meninggalkan kampung halaman di usia yang sangat muda tentu bukan perkara mudah. "Awalnya ikut program Mic Life. Pindah ke Malang karena di sini sepak bola perempuan lebih berkembang. Di Papua kan masih jarang ada liga-liga untuk cewek," tutur Kesya dengan nada lugas namun penuh pertimbangan. Pernyataannya bukan sekadar alasan pribadi, melainkan sebuah refleksi kondisi nyata infrastruktur sepak bola perempuan di berbagai daerah di Indonesia. Di Papua, meskipun gairah sepak bola sangat tinggi, fasilitas dan kompetisi khusus putri masih terbilang minim. Berbeda dengan Malang, yang memiliki ekosistem sepak bola yang lebih matang, termasuk untuk kategori perempuan, dengan adanya liga-liga dan turnamen yang lebih terstruktur. Perpindahan ini adalah sebuah lompatan besar, sebuah pilihan berani untuk mengejar impian di mana kesempatan lebih terbuka lebar.
Datang jauh dari tanah kelahiran tanpa didampingi keluarga, gadis berusia 13 tahun itu tak menampik bahwa rindu kampung halaman dan orang tua sempat menjadi beban berat di awal perjalanannya. Adaptasi dengan lingkungan baru, budaya yang berbeda, serta dinamika kehidupan di asrama tim, tentu memerlukan mental baja. Namun, semangatnya untuk berkarier di dunia sepak bola tak pernah padam. Dukungan dari para pelatih, manajemen tim, dan terutama rekan-rekan setimnya di Arema FC Women, menjadi penawar rindu yang ampuh. Mereka menjadi keluarga barunya di Malang, menciptakan atmosfer yang suportif dan penuh kehangatan. "Awalnya berat juga, kangen keluarga. Tapi sekarang senang karena bisa sampai di sini dan banyak yang dukung," ucapnya sambil tersenyum, senyum seorang pejuang muda yang telah menemukan pijakan kuat di tanah perantauan. Homesickness yang ia rasakan adalah bagian tak terpisahkan dari pengorbanan yang harus ditempuh demi sebuah cita-cita besar, sebuah ujian mental yang berhasil ia taklukkan dengan gagah berani.
Di Lapangan Bogowonto, Surabaya, Kesya Arabela tidak hanya berlari mengejar bola; ia berlari mengejar mimpinya. Hydro Plus Soccer League 2025–2026 menjadi panggungnya untuk bersinar. Turnamen ini merupakan salah satu ajang paling prestisius bagi pengembangan sepak bola putri usia muda di Indonesia, menarik partisipasi tim-tim terbaik dari berbagai daerah. Kompetisi ini tidak hanya menguji kemampuan teknis, tetapi juga mentalitas bertanding para pemain muda, mempersiapkan mereka untuk jenjang karier yang lebih tinggi. Dengan catatannya yang fenomenal, Kesya berhasil mencetak 17 gol hanya dari tiga pertandingan. Sebuah statistik yang luar biasa dan jarang terjadi di level kompetisi mana pun, bahkan di sepak bola putra sekalipun. Angka ini bukan sekadar deretan gol, melainkan bukti sahih atas ketajaman naluri golnya, kemampuan menempatkan diri, serta penyelesaian akhir yang klinis. Setiap gol yang ia lesakkan adalah representasi dari kerja keras dalam latihan, visi bermain yang matang, dan keberanian untuk mengambil risiko di depan gawang lawan.
Ketika ditanya mengenai inspirasinya, Kesya tanpa ragu menyebut dua nama besar: Kylian Mbappé, penyerang kelas dunia asal Prancis yang dikenal dengan kecepatan dan efektivitasnya, serta Boaz Solossa, legenda hidup sepak bola Papua dan Indonesia yang merupakan idolanya sejak kecil. Dari Mbappé, Kesya mungkin melihat kecepatan eksplosif dan kemampuan dribel yang memukau, sementara dari Boaz, ia mungkin mengagumi ketajaman, kepemimpinan, dan dedikasi terhadap sepak bola yang tak lekang oleh waktu. Gabungan inspirasi dari dua pemain dengan gaya berbeda ini membentuk karakter bermain Kesya yang unik: cepat, lincah, mematikan di depan gawang, namun tetap menjunjung tinggi semangat juang dan kebersamaan tim.
Kini, dengan performa gemilangnya, Kesya menargetkan dua hal besar di musim ini: mempertahankan posisi sebagai top skor turnamen dan membawa Arema FC Women meraih gelar juara Hydro Plus Soccer League. "Targetnya top skor dan juara bareng tim. Liga ini bagus banget buat pemain cewek biar makin berkembang, bukan cowok aja yang bisa main bola," katanya dengan penuh keyakinan. Kalimat terakhirnya, "bukan cowok aja yang bisa main bola," adalah sebuah manifesto kuat, sebuah pesan yang lebih besar dari sekadar ambisi pribadi. Ini adalah seruan untuk kesetaraan, pengakuan bahwa sepak bola adalah milik semua, tanpa memandang gender. Sebuah pernyataan yang sarat makna, mewakili suara banyak gadis di seluruh Indonesia yang ingin mendapatkan kesempatan yang sama untuk berprestasi di lapangan hijau.
Meskipun masih belia, Kesya Arabela sudah mencicipi atmosfer seleksi Timnas KU-16. Sebuah panggilan yang tentu saja membanggakan dan menjadi bukti bahwa bakatnya sudah terendus oleh pemandu bakat nasional. Namun, karena terganjal regulasi usia yang belum mencukupi, ia belum bisa tampil secara resmi. "Waktu itu sudah dipanggil, tapi enggak bisa main karena umurnya belum cukup. Tapi enggak apa-apa, masih banyak waktu buat terus berjuang," ujarnya penuh semangat. Kekecewaan sesaat itu tidak melunturkan tekadnya. Sebaliknya, hal itu justru memupuk motivasi untuk berlatih lebih keras, agar di masa depan, ketika usianya sudah memenuhi syarat, ia bisa benar-benar mengenakan seragam Merah Putih dan membela nama bangsa di kancah internasional. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa perjalanan menuju puncak tidak selalu mulus, namun semangat pantang menyerah adalah kunci.
Di setiap laga, di setiap perjuangan, Kesya selalu memulai harinya dengan ritual sederhana namun penuh makna: berdoa dan menghubungi kedua orang tuanya di Jayapura. Panggilan telepon itu bukan sekadar obrolan biasa, melainkan suntikan semangat dan pengingat akan nilai-nilai luhur yang selalu ditanamkan keluarga. "Mama sama Bapak selalu pesan supaya rajin latihan dan jangan lupa berdoa," tuturnya. Pesan-pesan sederhana ini menjadi mantra yang selalu membimbingnya di lapangan. Doa memberikan kekuatan spiritual, sementara dukungan orang tua menjadi fondasi mental yang kokoh. Ini adalah bukti bahwa di balik setiap gol dan kemenangan, ada pilar keluarga yang tak terlihat namun sangat berperan dalam membentuk karakter dan performanya.
Kisah Kesya Arabela bukan sekadar cerita tentang torehan gol dan gelar top skor. Ini adalah epik tentang mimpi yang berani, keteguhan hati yang tak tergoyahkan, dan kebangkitan sepak bola perempuan Indonesia yang kini mulai bersinar dari berbagai penjuru negeri. Dari pelosok Papua, seorang bintang muda telah muncul, membawa harapan dan inspirasi bagi ribuan gadis lainnya yang bercita-cita untuk menendang bola. Keberaniannya untuk merantau, kegigihannya dalam berlatih, dan semangatnya yang tak pernah padam, menjadikannya ikon bagi generasi sepak bola putri masa depan. Kisahnya adalah cerminan dari potensi luar biasa yang dimiliki perempuan Indonesia di bidang olahraga, sebuah potensi yang jika terus didukung dan dikembangkan, akan membawa harum nama bangsa di kancah global. Kesya Arabela, di usianya yang baru 13 tahun, telah menorehkan jejak yang tak terlupakan, membuktikan bahwa lapangan hijau adalah panggung bagi siapa saja yang memiliki mimpi dan keberanian untuk mengejarnya. Ia adalah bukti nyata bahwa "bukan cowok aja yang bisa main bola," melainkan setiap individu yang berjuang dengan hati dan dedikasi.
rakyatindependen.id
