Mendiktisaintek Desak Transformasi Perguruan Tinggi: Jawab Tantangan Pengangguran Sarjana dengan Inovasi Berdampak Ekonomi dan Kemandirian Bangsa

Malang, 31 Oktober 2025 – Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Republik Indonesia, Prof. Dr. Brian Yuliarto, M.Eng., Ph.D., secara tegas menyoroti permasalahan krusial yang membayangi dunia pendidikan tinggi nasional: tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana. Dalam pidatonya yang menggugah di acara Penguatan Kampus Berdampak yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tepatnya di Basemen UMM Dome, Prof. Brian menyerukan sebuah transformasi fundamental. Ia menegaskan bahwa perguruan tinggi tidak lagi dapat hanya berfokus pada fungsi pengajaran semata, melainkan harus berevolusi menjadi lokomotif penciptaan inovasi bernilai komersial yang secara langsung mampu menjawab kebutuhan riil industri dan pasar nasional.

Permasalahan pengangguran sarjana, menurut Mendiktisaintek, bukanlah isu yang sederhana atau terisolasi. “Saya selalu ditanya, bagaimana dengan tingkat pengangguran yang ada. Kenapa sarjana masih menganggur?” ungkap Prof. Brian, mengindikasikan bahwa pertanyaan ini menjadi beban serius yang harus dijawab oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Ia menjelaskan bahwa akar masalah ini tidak hanya terletak pada kurikulum perguruan tinggi yang mungkin kurang relevan atau tidak adaptif, tetapi juga berkaitan erat dengan kondisi makroekonomi dan struktur industri nasional secara keseluruhan. Saat ini, sektor industri Indonesia masih didominasi oleh jenis pekerjaan yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan setingkat SMA ke bawah.

“Ini menandakan bahwa tingkat industri kita belum mencapai tahap yang membutuhkan lebih banyak sumber daya manusia unggul yang dihasilkan oleh perguruan tinggi,” jelasnya, memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan yang dihadapi. Implikasi dari fenomena ini sangat luas, mulai dari potensi hilangnya talenta terbaik (brain drain), menurunnya daya saing bangsa, hingga memicu ketidakpuasan sosial dan ekonomi. Sarjana yang menganggur adalah investasi negara yang belum teroptimalkan, sebuah sumber daya manusia berkualitas yang seharusnya menjadi agen perubahan dan penggerak kemajuan.

Untuk mengatasi jurang antara lulusan sarjana dan kebutuhan industri, Prof. Brian menekankan pentingnya pergeseran paradigma. Perguruan tinggi harus berani keluar dari zona nyamannya dan merangkul peran sebagai "universitas wirausaha" atau entrepreneurial university. Ini berarti kampus harus lebih proaktif dalam mengidentifikasi masalah, mengembangkan solusi inovatif, dan mendorong hilirisasi hasil riset hingga menjadi produk atau layanan yang memiliki nilai jual tinggi. Konsep ini menuntut adanya ekosistem inovasi yang kuat, di mana ide-ide brilian tidak hanya berhenti di jurnal ilmiah atau laboratorium, tetapi bertransformasi menjadi entitas bisnis yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, Mendiktisaintek memberikan apresiasi tinggi terhadap berbagai produk inovasi yang telah dihasilkan oleh UMM. Ia menyebutkan beberapa contoh konkret seperti olahan kentang, peternakan ayam modern, Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), dan aburon (alat penjernih air). Inovasi-inovasi ini menunjukkan potensi besar dan kapasitas riset yang mumpuni di lingkungan UMM. Namun, Prof. Brian memberikan catatan penting yang krusial: inovasi tersebut tidak boleh hanya berhenti di tahap purwarupa atau demonstrasi.

“Agar lebih dikembangkan lagi menuju komersial produk,” tegasnya, memberikan arahan yang jelas. Komersialisasi bukan sekadar opsi tambahan, melainkan sebuah keharusan. Proses ini melibatkan serangkaian langkah strategis, mulai dari uji pasar, pengembangan model bisnis, pengurusan hak kekayaan intelektual (HKI), hingga mencari investor dan mitra industri. Tanpa komersialisasi, inovasi secanggih apapun akan tetap menjadi aset yang terkunci di dalam kampus, tidak mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan ekonomi.

Menurutnya, komersialisasi hasil riset kampus memiliki peran vital dalam mendorong kemandirian bangsa di berbagai sektor. “Supaya dengan komersial produk itu nantinya bisa dijadikan karya bangsa Indonesia yang mampu mensubstitusi produk-produk impor,” tambahnya. Substitusi impor melalui produk inovatif dalam negeri bukan hanya mengurangi ketergantungan pada barang dan teknologi asing, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan nilai tambah ekonomi domestik, dan memperkuat neraca perdagangan negara. Bayangkan, jika setiap perguruan tinggi mampu mengkomersialkan beberapa inovasinya setiap tahun, akumulasi dampaknya akan sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Ini adalah salah satu cara paling efektif untuk membangun ekonomi yang berlandaskan pengetahuan (knowledge-based economy) dan inovasi.

Untuk mewujudkan hilirisasi riset yang efektif, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi berkomitmen penuh untuk menjadi jembatan penghubung antara perguruan tinggi dan berbagai industri strategis, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun sektor swasta. Kementerian akan memfasilitasi pertemuan, kolaborasi, dan kemitraan yang strategis, memastikan bahwa inovasi kampus mendapatkan jalur yang mulus menuju pasar. Ini adalah inti dari inisiatif yang mereka sebut “Diktisaintek Berdampak.”

“Inilah yang kami maksud dengan Diktisaintek Berdampak – apa dampak yang bisa kita berikan untuk lingkungan sekitar, untuk masyarakat, dan untuk kemajuan bangsa secara luas,” ujarnya, menggarisbawahi filosofi di balik program tersebut. Dampak yang dimaksud tidak hanya terbatas pada keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mencakup dampak sosial, lingkungan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Misalnya, PLTMH yang dikembangkan UMM tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga memberikan akses energi bersih bagi komunitas sekitar, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi emisi karbon.

Senada dengan arahan yang disampaikan oleh Mendiktisaintek, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si., turut menekankan pentingnya orisinalitas dan kekhasan dalam setiap riset yang dilakukan di kampus. “Kata kuncinya harus langka. Saya harapkan para peneliti menghasilkan riset-riset yang langka, yang memiliki the power of scarcity (kekuatan kelangkaan),” jelas Prof. Nazaruddin. Konsep "kelangkaan" di sini merujuk pada keunikan, kebaruan, dan nilai tambah yang tidak mudah ditemukan atau ditiru oleh pihak lain. Riset yang langka cenderung memiliki keunggulan kompetitif yang kuat, memungkinkannya untuk dipatenkan dan memiliki posisi pasar yang dominan.

Menurut Prof. Nazaruddin, temuan yang unik dan langka akan memiliki dampak yang jauh lebih besar bagi masyarakat, terutama jika segera dihilirisasi dan diterapkan. Inovasi yang memenuhi kriteria "kelangkaan" tidak hanya akan menarik minat industri, tetapi juga berpotensi menciptakan pasar baru atau memecahkan masalah yang belum terpecahkan dengan solusi yang ada. “Dengan begitu terjadi proses hilirisasi dan digunakan oleh masyarakat untuk membangun kehidupan peradaban yang lebih sejahtera,” pungkasnya, menghubungkan antara riset orisinal, komersialisasi, dan peningkatan kualitas hidup secara holistik.

Visi yang diusung oleh Mendiktisaintek dan didukung oleh UMM ini merupakan cetak biru bagi masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Ini bukan sekadar tentang mencetak lulusan, tetapi tentang membentuk agen perubahan yang mampu menciptakan nilai, mendorong kemandirian, dan mengukir peradaban yang lebih maju melalui inovasi. Transformasi ini menuntut kolaborasi erat antara pemerintah, perguruan tinggi, industri, dan masyarakat, demi menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis dan berdaya saing global, sekaligus menjawab tantangan pengangguran sarjana yang mendesak.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version