Mengakar pada Ilmu Pengetahuan: Peringatan 70 Tahun KAA di UNAIR Soroti Teori ‘Out of Africa’ dan Persatuan Manusia Global

Peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Universitas Airlangga (UNAIR) belum lama ini tak hanya menjadi momentum refleksi mendalam terhadap dinamika geopolitik dan sejarah perjuangan kemerdekaan, tetapi juga sebuah panggung untuk eksplorasi ilmiah tentang akar persatuan umat manusia. Dalam sebuah konferensi bergengsi bertajuk “Youth Issue for Economic and Sustainable Development”, dimensi ilmiah dari persatuan ini disajikan dengan lugas dan meyakinkan, menyoroti fakta genetik yang mendasari ikatan fundamental antara seluruh populasi dunia.
Di Ruang Majapahit ASEEC Tower yang dipenuhi oleh akademisi, aktivis, dan pemimpin komunitas dari 19 negara pada Kamis lalu, Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiati, DFM., PA.(k)., seorang Guru Besar terkemuka dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, memaparkan sebuah presentasi ilmiah yang revolusioner. Dengan judul yang provokatif dan mendalam, “OUT OF AFRICA”, Prof. Toetik menyajikan data dari proyek genetika global yang secara tegas dan tak terbantahkan membuktikan bahwa semua manusia modern berasal dari satu nenek moyang yang sama, mengukuhkan kembali esensi persaudaraan universal.
Prof. Toetik mengawali paparannya dengan merujuk pada inisiatif besar yang digagas oleh National Geographic Society, sebuah proyek ambisius yang dikenal sebagai Genographic Project. Proyek global ini, yang melibatkan partisipasi jutaan individu dari berbagai penjuru dunia, memanfaatkan analisis genetik dari kromosom Y (yang diwarisi dari ayah ke anak laki-laki) dan DNA mitokondria (yang diwarisi dari ibu ke semua anak) untuk melacak jejak migrasi manusia purba. Melalui penelusuran penanda genetik ini, para ilmuwan mampu merekonstruksi peta perjalanan yang menakjubkan dari leluhur kita, mulai dari titik asal mereka hingga penyebaran ke Eropa, Amerika, dan benua lainnya.
“Temuan dari studi berskala raksasa ini mengulangi sebuah kebenaran fundamental yang telah lama dihipotesiskan namun kini diperkuat oleh bukti konkret: semua manusia modern yang hidup saat ini diturunkan dari sekelompok kecil manusia yang hidup di Afrika sekitar 120.000 tahun yang lalu,” jelas Prof. Toetik dengan nada meyakinkan. Ini berarti, terlepas dari perbedaan warna kulit, bahasa, atau budaya yang kita lihat sekarang, setiap individu di planet ini memiliki jejak genetik yang dapat dilacak kembali ke benua Afrika.
Dari titik asal di Afrika, manusia purba ini memulai perjalanan epik mereka, sebuah migrasi yang membentuk lanskap genetik dan budaya dunia. Bukti menunjukkan bahwa gelombang migrasi awal diduga terjadi sepanjang garis pantai, mengikuti ketersediaan sumber daya dan kondisi iklim yang mendukung. Rute ini membawa mereka melintasi Jazirah Arab, terus ke timur hingga mencapai wilayah yang kini kita kenal sebagai Indonesia, dan kemudian menyebar lebih jauh ke Asia dan Australia. Migrasi signifikan lainnya yang membuka babak baru dalam sejarah manusia terjadi sekitar 45.000 tahun yang lalu, ketika kelompok-kelompok manusia purba ini mulai memasuki daratan Eropa. Bukti morfologi dari penemuan fosil purba yang konsisten dengan jejak migrasi, ditambah dengan analisis genetika yang tak terbantahkan dari populasi modern, secara kuat mendukung Teori ‘Out of Africa’ yang menyatakan bahwa seluruh populasi dunia berasal dari satu nenek moyang di Afrika, yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi. Teori ini menjadi landasan ilmiah yang kokoh, menepis gagasan multiregionalisme yang pernah populer.

Prof. Toetik juga menyoroti bagaimana perubahan iklim besar memengaruhi pola dan arah migrasi ini, bahkan membentuk "penyempitan" genetik yang signifikan. Sekitar 70.000 tahun yang lalu, dunia mengalami siklus glasial dan interglasial yang ekstrem, menyebabkan degradasi lingkungan yang masif. Saat Eropa dan Siberia membeku di bawah lapisan es, Afrika mengalami kekeringan parah yang mengancam kelangsungan hidup populasi manusia.
Namun, peristiwa puncak yang secara dramatis mengubah sejarah genetik manusia adalah Letusan Gunung Toba yang sangat kuat sekitar 70.000 tahun lalu di Sumatera, Indonesia. Letusan supervulkanik ini, salah satu yang terbesar dalam sejarah geologi bumi, memuntahkan abu vulkanik dalam jumlah tak terbayangkan yang mencapai stratosfer dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Abu tersebut memicu "musim dingin vulkanik" global, menghalangi sinar matahari, mengganggu proses fotosintesis, dan secara drastis merusak pertumbuhan tanaman serta rantai makanan global. “Fenomena ini yang disebut sebagai ‘Bottleneck’ (penyempitan) bagi populasi Afrika, memperkuat gagasan bahwa populasi manusia saat itu sempat menyusut drastis, mungkin hanya tersisa beberapa ribu individu saja. Ini adalah periode kritis di mana kelangsungan hidup spesies kita benar-benar terancam,” papar Prof. Toetik, menjelaskan bagaimana peristiwa geologis raksasa ini memiliki dampak genetik yang fundamental pada seluruh umat manusia. Dari populasi kecil yang selamat inilah, keragaman genetik manusia modern kemudian berkembang dan menyebar.
Penelitian pemetaan iklim kuno yang dikombinasikan dengan studi genetika menunjukkan pola migrasi yang jelas dan konsisten: Homo sapiens dari Afrika bergerak ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebelum menyebar ke Eropa. Indonesia, dengan posisi geografisnya yang strategis sebagai jembatan antara dua benua besar, Asia dan Australia, serta dikelilingi oleh ribuan pulau, secara historis telah menjadi simpul genetik dan migrasi yang krusial bagi penyebaran manusia purba. Prof. Toetik menyoroti bahwa Afrika dan Asia Tenggara memiliki hubungan genetik dan kultural yang erat, sebagian besar berkat temperatur yang dapat diakses, memungkinkan manusia untuk terus bergerak dan berinteraksi satu sama lain tanpa hambatan iklim ekstrem yang dihadapi di wilayah utara. Ia menyebutkan, kemampuan untuk memproteksi diri dari radiasi UV yang tinggi adalah salah satu faktor kunci adaptasi bagi manusia yang bermigrasi dari Afrika ke kawasan tropis dan subtropis lainnya, berbeda dengan kawasan yang lebih dingin di mana adaptasi terhadap radiasi UV menjadi kurang prioritas.
Paparan ilmiah yang kuat ini bukan sekadar diskusi akademis, melainkan memiliki resonansi yang mendalam dengan pesan solidaritas dan persaudaraan yang menjadi inti dari Konferensi Asia-Afrika. Dalam sambutan pembuka yang sarat makna, Wakil Rektor Prof. Ir. Mochammad Amin Alamsjah, M.Si., Ph.D., telah menekankan bahwa semangat KAA yang lahir tujuh dekade silam mengedepankan Rasa Hormat, Kesetaraan, dan Kerja Sama antarnegara sebagai pilar utama untuk menciptakan perdamaian dan kemajuan global. Temuan ilmiah Prof. Toetik memberikan landasan biologis yang kokoh bagi prinsip-prinsip ini.
“Fakta bahwa secara genetik kita semua adalah bersaudara, memiliki akar yang sama dari satu nenek moyang, harus mendorong kita secara moral dan etis untuk mempromosikan kesetaraan, menghilangkan segala bentuk diskriminasi, dan merangkul keragaman sebagai kekuatan,” tutup Prof. Toetik, dengan apik menghubungkan temuan sains murni dengan tujuan kemanusiaan universal. Pesan ini bukan hanya relevan untuk konteks KAA, tetapi juga untuk tantangan global kontemporer seperti rasisme, xenofobia, dan konflik antar kelompok. Pemahaman bahwa kita semua adalah keluarga besar global, secara harfiah, dapat menjadi katalisator bagi perdamaian dan kerja sama yang lebih erat.
Acara yang dihadiri oleh sekitar 150 peserta dari 19 negara—melibatkan beragam pihak mulai dari akademisi, aktivis, hingga pemimpin komunitas—semakin diperkaya dengan penampilan Tari Jaranan yang dibawakan oleh anak-anak disabilitas binaan BK3S. Penampilan yang penuh semangat ini menjadi simbol kuat inklusivitas dan potensi yang tak terbatas, selaras dengan semangat kesetaraan dan penghargaan terhadap martabat manusia yang telah diperjuangkan sejak 70 tahun silam oleh para founding fathers KAA. Ini menunjukkan bahwa persatuan tidak hanya tentang asal-usul genetik, tetapi juga tentang mengakui dan merayakan setiap individu dalam masyarakat.
Konferensi yang diprakarsai oleh Konsorsium “70 Years Spirit Bandung” ini merupakan bukti nyata komitmen berbagai pihak untuk menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai KAA. Konsorsium ini terdiri atas Universitas Airlangga (UNAIR), ALIT Indonesia, KADIN Jawa Timur, Gema Sadhana, Said Aqil Siradj Centre (SAS), serta APHMET/BASE. Bersama-sama, mereka memiliki tujuan mulia untuk meneguhkan kembali Spirit Bandung—solidaritas antar bangsa, keadilan ekonomi dunia, dan kedaulatan bangsa-bangsa yang baru merdeka—dalam konteks tantangan abad ke-21 yang semakin kompleks. Dengan menghadirkan perspektif ilmiah tentang asal-usul manusia, konferensi ini tidak hanya merayakan sejarah, tetapi juga memberikan fondasi ilmiah yang kuat bagi masa depan persatuan dan kerja sama global.
(rakyatindependen.id)




