Tiga tahun setelah kata-kata kemerdekaan menggema dan asap mesiu bertumbukan di udara, di tengah perjuangan diplomasi dan pertempuran silih berganti yang menjadi bagian dari upaya menyusun mosaik sebuah bangsa yang baru merdeka, Indonesia dihadapkan pada kemungkinan lain untuk membangun harapan dan memperoleh pengakuan global: Olimpiade. Ajang olahraga internasional ini bukan sekadar kompetisi fisik, melainkan panggung krusial bagi Republik yang baru lahir untuk menegaskan eksistensinya di mata dunia.
London akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas pada 29 Juli-14 Agustus 1948. Perhelatan olahraga internasional pertama yang dilaksanakan setelah Perang Dunia II berakhir ini, menjadi simbol kebangkitan dan perdamaian pasca-konflik global yang dahsyat. Sementara Jerman, Italia, dan Jepang telah menyerah, Belanda justru tengah mengintai dan mencari jalan untuk kembali menguasai Indonesia, menciptakan ironi di tengah semangat rekonsiliasi dunia. Di tengah gejolak inilah, Indonesia melihat celah harapan.
Gema semangat untuk berpartisipasi di Olimpiade London 1948 mulai terasa di tanah air. Harian Kedaulatan Rakyat edisi 13 Desember 1946 dengan antusias mengumumkan pembentukan panitia persiapan menuju Olimpiade di London. Berita itu juga mengisyaratkan langkah konkret: “Sebentar lagi, (di) Yogya akan diadakan perlombaan atletik untuk menentukan juara-juara seluruh Jawa dan Madura.” Ini menunjukkan keseriusan dan ambisi Indonesia, meskipun usianya masih sangat muda sebagai sebuah negara. Pembentukan panitia dan rencana seleksi atlet ini adalah manifestasi nyata dari keinginan bangsa untuk tidak hanya berjuang di medan perang dan diplomasi, tetapi juga di arena olahraga internasional.
Wakil Ketua Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), Martohoesodo, secara gamblang menekankan betapa pentingnya Olimpiade bagi bangsa ini. Dalam sebuah artikel yang dimuat di Kedaulatan Rakyat pada 1 Maret 1947, ia menulis dengan penuh visi, menyoroti dimensi politik dan pengakuan yang terkandung dalam partisipasi olahraga. Martohoesodo membayangkan skenario di mana "Seluruh dunia akan menyaksikan dengan kepala sendiri sebuah negara yang baru yang sebelum itu hanya dengar namanya saja, yang memberanikan diri turut dalam olah ketangkasan dan keuletan badan dengan negara-negara sedunia yang telah ‘geroutineerd’ dalam segala tipu muslihat keolahragaan."
Baginya, ini adalah kesempatan emas untuk menampilkan identitas bangsa. "Timbullah di dalam angan-angan mereka sekumpulan pulau di mana penduduknya sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaannya yang diproklamirkan sendiri itu, dan setelah melihat wakil-wakil dari kepulauan itu, maka tidak lain dari simpatik yang timbul di dalam sanubari mereka, simpati terhadap orang-orang yang kecil, tetapi bersemangat itu, simpati terhadap negara yang sedang mempertahankan kemerdekaannya," tulisnya. Pernyataan ini bukan hanya tentang olahraga, tetapi tentang narasi perjuangan, keberanian, dan harapan untuk mendapatkan simpati serta dukungan moral dari komunitas internasional, sebuah pengakuan yang sangat dibutuhkan di tengah tekanan politik global.
Namun, rupanya jalan menuju London tidak sebanyak jalan menuju Roma. Harapan besar ini justru harus kandas di tengah intrik politik dan sabotase kolonial. Sebuah buku berjudul Indonesia Digagalkan Ikut Olimpiade London 1948 yang ditulis oleh Ossa Kurniawan Ilham dan diterbitkan oleh Kompas Penerbit Buku pada tahun 2025 mendatang, secara detail menunjukkan bagaimana Belanda dan Inggris menghambat upaya Indonesia untuk berpartisipasi. Buku ini membuka tabir di balik kegagalan yang bukan semata-mata karena ketidaksiapan, melainkan karena penjegalan sistematis.
Persiapan Indonesia menuju Olimpiade tersendat parah oleh Agresi Militer Belanda I pada Juli 1947, hanya setahun sebelum Olimpiade digelar. Serangan militer skala besar ini tidak hanya menyebabkan korban jiwa dan kerugian materi, tetapi juga mengganggu seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk persiapan olahraga. Indonesia hanya memiliki sedikit waktu untuk memilih atlet-atlet terbaik yang akan dikirim ke London, di tengah situasi negara yang darurat dan penuh ketidakpastian. Infrastruktur olahraga yang terbatas dan fokus pemerintah pada perjuangan fisik dan diplomasi membuat konsentrasi untuk mempersiapkan kontingen Olimpiade menjadi sangat sulit.
Di sisi administratif, hambatan yang lebih licik muncul. Indonesia tidak bisa mendaftarkan diri menjadi federasi olahraga mana pun karena korespondensinya disabotase oleh Belanda yang pada saat itu masih menguasai Kantor Pos. Surat balasan dari panitia Olimpiade terhadap surat yang dilayangkan Komite Olahraga Republik Indonesia (KORI) justru diterima oleh pihak Belanda dan kemudian disembunyikan. Tindakan ini adalah bentuk sabotase politik yang terang-terangan, mencegah Indonesia menjalin komunikasi resmi dengan badan-badan olahraga internasional.
Konsekuensinya, belum terdaftar dalam keanggotaan federasi olahraga di dunia membuat posisi Indonesia belum secara resmi diakui. Apalagi, Indonesia pada saat itu belum terdaftar sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Kondisi ini dijadikan dalih kuat untuk menolak keikutsertaan Indonesia. Dalih ini semakin mengabaikan fakta bahwa beberapa negara, seperti Mesir, Suriah, Irak, dan bahkan Vatikan, telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Pengakuan diplomatik yang telah didapatkan ini seolah tak berarti di hadapan kepentingan politik kolonial dan sikap negara-negara besar.
Namun, bagi Ossa Kurniawan Ilham, kegagalan Indonesia sebenarnya juga menunjukkan sikap mendua pemerintah Inggris. "Kalau teman-teman nonton film Traitors di Netflix, itu membantu untuk memahami apa yang terjadi di Inggris," katanya, memberikan referensi untuk memahami intrik politik di balik layar. Film tersebut, yang berlatar belakang pasca-Perang Dunia II, menggambarkan bagaimana kepentingan nasional dan hubungan diplomatik dapat mempengaruhi keputusan politik, bahkan yang melibatkan moralitas.
Masuknya Belanda yang didampingi Inggris ke Indonesia setelah 17 Agustus 1945, menurut Ossa, menegaskan sikap Inggris sejak awal untuk mendukung kembali berkuasanya pemerintah sipil Belanda di Indonesia. Meskipun pemerintah Inggris saat itu dikuasai oleh Partai Buruh yang memiliki ideologi sosialis, yang seharusnya lebih peka terhadap perjuangan kemerdekaan, "ternyata karakternya kolonialis. Tetap saja pro Belanda dan menjegal kita," kata Ossa, dalam acara bedah buku di Toko Buku Gramedia Manyar, Surabaya, Sabtu (18/10/2025). Pernyataan ini menyoroti hipokrisi politik Inggris, yang di satu sisi mengklaim sebagai negara demokratis, namun di sisi lain masih mempertahankan mentalitas kolonial dalam hubungannya dengan negara-negara Asia yang baru merdeka.
Hipokrisi pemerintah Inggris semakin kentara dengan ditolaknya paspor Republik Indonesia yang dibawa oleh delegasi peninjau. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Letnan Kolonel Azis Saleh, dan Mayor Maladi, yang seyogianya hadir sebagai peninjau Olimpiade untuk mempelajari penyelenggaraan dan menjalin hubungan, harus menelan pil pahit. Inggris hanya mengakui paspor Belanda, secara tidak langsung menafikan kedaulatan Indonesia dan pengakuan terhadap identitas nasional yang baru lahir. Ini adalah pukulan telak yang bukan hanya bersifat birokratis, tetapi juga simbolis, menunjukkan penolakan eksplisit terhadap eksistensi Republik Indonesia.
Dalam bukunya, Ossa tidak menggambarkan secara rinci sikap dan perasaan para atlet Indonesia yang gagal dikirimkan ke London. Keterbatasan dokumen menjadi penghalang utama. Apalagi, menurut Ossa, pemerintah Indonesia pada saat itu terlalu sopan untuk menyikapi kegagalan tersebut sebagai penjegalan politik diplomasi, mungkin karena fokus utama masih pada perjuangan kemerdekaan dan menghindari eskalasi konflik diplomatik yang lebih luas.
Namun, dampak emosional dari kegagalan ini dapat dibayangkan. Brigitta Vanessa, seorang mahasiswi Universitas Kristen Petra, bisa merasakan kekecewaan mendalam yang dialami para atlet saat itu. "Saya yang pernah jadi atlet di level lokal saja saat kalah bisa mental hancur, apalagi belum sampai di lapangan sudah dapat kabar gagal main. Ini seperti kita dikasih harapan kemudian dijatuhkan dari langit ke neraka paling bawah," katanya, memberikan gambaran betapa traumatisnya pengalaman tersebut bagi seorang atlet yang telah berjuang dan bermimpi.
Apalagi, para atlet Indonesia saat itu sudah diagendakan mempersiapkan diri dalam pemusatan latihan di Telaga Sarangan, Jawa Timur, di bawah tempaan guru olahraga dari Jerman. Kehadiran pelatih asal Jerman ini sendiri memicu spekulasi. Rojil Nugroho Bayu Aji, sejarawan olahraga dari Universitas Negeri Surabaya, menduga bahwa hadirnya pelatih asal Jerman yang diberitakan koran Belanda punya andil dalam gagalnya keikutsertaan Indonesia. Saat itu, Perang Dunia II baru berakhir, dan Jerman menjadi negara yang pariah di mata politik hubungan internasional, dengan reputasi yang masih sangat buruk di mata sekutu. Kehadiran pelatih Jerman mungkin dipandang sebagai provokasi atau alasan tambahan untuk menolak Indonesia.
Tentu saja itu masih spekulatif, namun menambah lapisan kompleksitas pada narasi kegagalan ini. Ossa sendiri melihat "ada upaya sistematis dari negara-negara besar dalam menyingkirkan Indonesia dari ajang internasional yang potensial menjadi panggung bagi Indonesia untuk diakui kemerdekaannya." Pandangan ini menggarisbawahi bahwa kegagalan partisipasi di Olimpiade bukanlah kebetulan atau semata-mata karena ketidaksiapan, melainkan bagian dari strategi politik yang lebih besar untuk mengisolasi dan melemahkan posisi Indonesia di kancah global.
Kegagalan Indonesia sebagai partisipan Olimpiade juga tidak tercantum dalam arsip pemerintah Inggris. "Artinya, pertama, mungkin dianggap enggak penting. Atau, mungkin isu ini terlalu penting, sehingga tidak perlu ditulis, atau dengan kata lain dihilangkan," kata Ossa, menunjukkan dua kemungkinan ekstrem yang sama-sama mengkhawatirkan. Baik diabaikan maupun sengaja dihilangkan, ketiadaan catatan ini mencerminkan upaya untuk menghapus atau meremehkan perjuangan Indonesia.
Ossa berharap kelak ada yang mau mengangkat kisah kegagalan tersebut ke layar lebar, sebagaimana halnya film-film biopik sejarah lainnya. "Siapapun yang tidak belajar sejarah akan dikutuk untuk selalu mengulanginya," katanya, mengingatkan akan pentingnya pembelajaran dari masa lalu. Kisah ini, yang penuh dengan intrik politik, perjuangan, dan kekecewaan, memiliki potensi besar untuk menjadi inspirasi dan pengingat bagi generasi mendatang.
Ossa juga membuka ruang bagi siapapun untuk melanjutkan risetnya. "Saya memang sengaja meninggalkan lubang-lubang yang bisa diisi oleh generasi-generasi periset berikutnya kalau ketemu data-data lain," katanya. Ini adalah ajakan untuk terus menggali, melengkapi, dan menyempurnakan narasi sejarah yang seringkali tersembunyi, agar kebenaran dapat terungkap sepenuhnya. Kegagalan Indonesia berpartisipasi di Olimpiade London 1948, meski pahit, adalah babak penting dalam sejarah perjuangan bangsa yang tidak boleh dilupakan, sebuah cerminan bagaimana olahraga dapat menjadi arena pertempuran politik yang tak kalah sengit.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id