Penegasan Hukum: Hak Merek "Setia Hati Terate" Milik Sah Kang Mas Isbiantoro, Penggunaan Tanpa Izin Akan Berujung Pidana dan Sanksi Perdata.
Kediri – Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) secara tegas mengukuhkan status hukum kepemilikan merek “Setia Hati Terate” yang telah terdaftar sah atas nama Kang Mas Isbiantoro di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Penegasan ini bukan sekadar klaim verbal, melainkan didasarkan pada kekuatan hukum yang mengikat, menjadi landasan utama bahwa setiap penggunaan nama, logo, atau lambang yang berkaitan dengan Setia Hati Terate tanpa adanya izin resmi dan tertulis dari pemegang hak yang sah akan dianggap sebagai pelanggaran hukum serius yang dapat diproses secara pidana maupun perdata. Langkah ini diambil sebagai upaya perlindungan terhadap identitas, marwah, dan integritas organisasi yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun.
Anggota Lembaga Hukum dan Advokasi (LHA) PSHT Pusat Madiun, Dipa Kurniantoro, menjelaskan secara rinci bahwa Kang Mas Isbiantoro, selaku Ketua Dewan Persaudaraan Setia Hati Terate, memiliki hak eksklusif yang tak terbantahkan atas merek tersebut. Hak eksklusif ini mencakup Kelas 41 dalam klasifikasi merek, yang secara spesifik meliputi jasa pendidikan dan pelatihan olahraga, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan perguruan silat beraliran Setia Hati Terate. Klasifikasi ini sangat relevan mengingat inti kegiatan PSHT adalah pembinaan dan pengembangan seni bela diri pencak silat serta penanaman nilai-nilai luhur kepada para anggotanya.
“Jika ada pihak mana pun yang mengatasnamakan diri sebagai Setia Hati Terate dan menggunakan logo serta lambang PSHT tanpa hak atau tanpa lisensi resmi dari Kang Mas Isbiantoro, itu merupakan bentuk pelanggaran hukum yang tidak dapat ditolerir. Kami tidak akan ragu untuk mengambil langkah hukum tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Kekayaan Intelektual,” tegas Dipa Kurniantoro di Kediri, Senin. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan PSHT dalam menjaga aset intelektualnya.
Dipa menambahkan, penegakan hukum terhadap pelanggaran merek ini menjadi krusial dan mendesak untuk menjaga marwah, kehormatan, dan keaslian ajaran Setia Hati Terate yang telah diwariskan secara turun-temurun dari para pendiri kepada generasi penerus. Ia menilai bahwa tindakan mengatasnamakan PSHT tanpa izin tidak hanya melanggar ketentuan hukum yang berlaku, tetapi juga secara fundamental menyalahi etika dan nilai moral organisasi yang menjunjung tinggi persaudaraan, kejujuran, dan penghormatan. Ajaran yang berlandaskan pada nilai-nilai persaudaraan sejati, keberanian, serta pengabdian kepada masyarakat, tidak boleh dicoreng oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Menurut analisis mendalam dari LHA PSHT, penggunaan merek PSHT dan SHT Kelas 41 tanpa hak atau tanpa lisensi resmi tergolong sebagai tindak pidana pelanggaran merek. Pelanggaran ini secara jelas diatur dalam Pasal 100 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini memberikan perlindungan kuat terhadap pemilik merek dari pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan atau menciptakan kebingungan di mata publik.
Sanksi bagi pelanggar tidak main-main. Mereka dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp2 miliar. Besaran denda dan ancaman pidana ini menunjukkan betapa seriusnya negara dalam melindungi hak kekayaan intelektual. Selain itu, Pasal 101 UU yang sama juga memberikan sanksi serupa terhadap pelanggaran indikasi geografis dan penggunaan tanda yang menyesatkan publik, yang dalam konteks PSHT bisa berarti menciptakan kesan palsu tentang afiliasi atau otorisasi. Penggunaan merek yang menyesatkan tidak hanya merugikan pemilik merek tetapi juga berpotensi menipu masyarakat luas yang ingin bergabung atau berinteraksi dengan PSHT yang sah.
“Selain sanksi pidana yang berat, pelanggaran merek juga secara otomatis menimbulkan konsekuensi perdata. Ini termasuk kewajiban pembayaran royalti kepada pemilik atau pemegang hak merek, ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan, serta kemungkinan penghentian penggunaan merek secara paksa sebagaimana diatur dalam ketentuan lisensi dan hukum perdata yang berlaku,” pungkas Dipa. Kewajiban pembayaran royalti ini menjadi kompensasi atas penggunaan tanpa izin yang telah merugikan pemilik hak merek.
Kasus ini memiliki latar belakang yang penting untuk dipahami. Sebelumnya, PSHT yang diwakili oleh Muhammad Taufiq dinyatakan kalah dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) terhadap Kang Mas Isbiantoro mengenai sengketa Merek PSHT dan SHT Kelas 41. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali adalah putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mengikat seluruh pihak yang bersengketa. Dengan demikian, setiap tindakan yang bertentangan atau mengabaikan putusan pengadilan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan hukum atau contempt of court, yang juga memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Kekalahan dalam PK ini mengukuhkan posisi Kang Mas Isbiantoro sebagai pemegang hak merek yang sah secara final dan mengikat.
Penegasan dari perguruan silat PSHT ini diharapkan menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak, baik individu maupun kelompok, agar senantiasa menghormati hak kekayaan intelektual organisasi resmi. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya perlindungan merek dalam menjaga identitas budaya, warisan luhur, dan kehormatan lembaga olahraga tradisional di Indonesia. Dalam era informasi yang semakin terbuka, perlindungan merek menjadi benteng terakhir bagi organisasi untuk mempertahankan esensi dan keasliannya dari upaya pemalsuan atau klaim tak berdasar. Langkah ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang menjaga tradisi, etika, dan persaudaraan sejati dalam naungan Setia Hati Terate.
[nm/beq]
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id