Polemik Pemecatan Mahasiswi S3: Rektor UB Tegaskan Konflik Yai Mim-Nurul Sahara Ranah Pribadi dan Hukum, Menanti Hasil Peradilan

Malang – Universitas Brawijaya (UB) tengah menjadi sorotan publik menyusul desakan keras dari mantan dosen UIN Malang, Imam Muslimin, yang akrab disapa Yai Mim, agar pihak rektorat segera memecat salah satu mahasiswi program doktor (S3) mereka, Nurul Sahara. Desakan yang disampaikan secara terbuka melalui media sosial ini telah menimbulkan polemik luas, memaksa pucuk pimpinan UB untuk angkat bicara dan memberikan klarifikasi resmi mengenai sikap institusi terhadap kasus yang menyeret nama sivitas akademika mereka.
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D., akhirnya memberikan tanggapan atas situasi yang kian memanas ini. Ditemui di lingkungan kampus UB pada Jumat, 3 Oktober 2025, Prof. Widodo menegaskan bahwa konflik yang melibatkan Nurul Sahara dan Yai Mim adalah murni masalah pribadi yang kini telah bergulir ke ranah hukum. Pernyataan ini menjadi landasan utama bagi universitas dalam menentukan langkah selanjutnya, sembari menekankan pentingnya proses hukum sebagai jalur penyelesaian.
"Kita sudah ada monitoring, cuma informasinya belum clear," ujar Prof. Widodo, menunjukkan bahwa meskipun UB telah memantau perkembangan kasus ini, detail dan kejelasan informasi yang utuh masih menjadi tantangan. Sikap kehati-hatian ini diambil mengingat kompleksitas masalah yang bukan hanya melibatkan dua individu, tetapi juga implikasi terhadap reputasi institusi pendidikan tinggi. Rektor menggarisbawahi bahwa dalam situasi seperti ini, tindakan terburu-buru tanpa dasar hukum yang kuat dapat memperkeruh suasana dan bahkan menimbulkan preseden yang tidak diinginkan.
Lebih lanjut, Prof. Widodo mengutarakan pandangannya bahwa pilihan terbaik bagi semua pihak yang terlibat adalah menghormati dan secara aktif mengikuti setiap tahapan proses hukum yang sedang berjalan. Menurutnya, jalur peradilan adalah mekanisme yang paling tepat dan adil untuk mencari kebenaran dan menemukan titik terang atas perselisihan ini. "Karena dua orang ini adalah sebenarnya permasalahan pribadi dan sudah dibawa ke ranah hukum. Yang paling bagus adalah semuanya diam dan mengikuti proses hukum," tegasnya dengan nada lugas. Pernyataan ini sekaligus menjadi imbauan agar spekulasi publik dan tekanan sosial tidak mengintervensi independensi proses hukum. Universitas, dalam konteks ini, memilih untuk mengambil posisi netral dan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian substansi konflik kepada otoritas hukum yang berwenang.
Meskipun kasus ini dianggap berada di luar koridor akademik inti, Prof. Widodo memastikan bahwa UB sebagai institusi pendidikan tinggi tidak akan bersikap pasif jika nantinya terbukti ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu anggota sivitas akademika mereka. Prinsip ini menunjukkan komitmen universitas untuk menjaga standar moral dan etika di kalangan mahasiswa dan staf pengajarnya. Pihak universitas akan menunggu hingga hasil dari proses hukum keluar dan memiliki kekuatan hukum tetap sebelum mengambil tindakan internal. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh UB didasarkan pada fakta-fakta yang teruji dan bukan semata-mata atas desakan atau opini publik.
"Dari situ akan sangat kelihatan siapa-siapa yang mungkin benar dan siapa-siapa yang kurang benar. Universitas adalah bagian dari masyarakat, dan tentu kita akan mengikuti. Jika memang ada anggota kita, entah itu dosen atau mahasiswa, kalau memang betul-betul ada proses pelanggaran, tentu kita akan melakukan langkah-langkah yang harus dilakukan sesuai dengan koridor etik yang ada," tambah Widodo, menjelaskan mekanisme dan dasar pengambilan keputusan universitas. Ini berarti UB memiliki prosedur dan kode etik internal yang akan diaktivasi jika hasil akhir dari proses hukum menunjukkan adanya pelanggaran yang merugikan nama baik universitas atau melanggar norma-norma yang berlaku. Langkah-langkah tersebut dapat bervariasi, mulai dari pembinaan, sanksi akademik, hingga tindakan administratif lainnya, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang terbukti.
Berdasarkan penelusuran pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT), Nurul Sahara memang tercatat sebagai mahasiswi aktif program doktor (S3) Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya. Statusnya sebagai mahasiswi doktoral menyiratkan tingkat kematangan intelektual dan profesional yang diharapkan, sehingga kasus ini menjadi perhatian serius bagi universitas. Program doktor merupakan jenjang pendidikan tertinggi yang menuntut integritas dan tanggung jawab akademik yang tinggi, baik di dalam maupun di luar kampus.
Konflik ini bermula ketika Imam Muslimin, yang dikenal sebagai Yai Mim, secara terbuka melalui akun Instagram pribadinya melayangkan desakan kepada Rektor UB. Dalam unggahannya beberapa waktu lalu, tepatnya Kamis, 25 September 2025, Yai Mim meminta agar Nurul Sahara diberhentikan dari statusnya sebagai mahasiswi UB. Ia mengklaim bahwa sebuah unggahan video di akun TikTok milik Sahara, dengan nama pengguna "Sahara_vibesssss," telah secara langsung menyebabkan dirinya kehilangan pekerjaan sebagai dosen di UIN Malang.
"Assalamualaikum Pak Rektor, Profesor Widodo. Gini Prof, dengan video saya yang beredar, yang disebarkan oleh salah satu mahasiswa Bapak, Nurul Sahara namanya di dalam akun TikTok Sahara_vibesssss, dampaknya saya dipecat sebagai dosen UIN Malang," kata Imam Muslimin dalam unggahan video yang telah menjadi viral dan memicu perdebatan luas di media sosial. Pernyataan Yai Mim ini menunjukkan betapa seriusnya dampak yang ia rasakan akibat unggahan tersebut, hingga berdampak pada karir profesionalnya. Ia merasa dirugikan secara material dan imaterial, dan melihat universitas tempat Sahara bernaung sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan.
Yai Mim kemudian menuntut keadilan dari Rektor UB, meminta universitas untuk memberikan sanksi tegas kepada Sahara. Ia bahkan menyebut Nurul Sahara sebagai tetangganya sendiri, sebuah detail yang mengindikasikan bahwa perselisihan ini mungkin memiliki akar masalah yang lebih dalam dan bersifat personal, jauh sebelum insiden video TikTok tersebut. "Saya mohon keadilan Prof Widodo, agar mahasiswa Bapak ini bisa dibina oleh UB. Bapak bertanggung jawab. Saya mohon saudara Nurul Sahara untuk dipecat dan diperhentikan dari Program Doktor S3 di UB," sambungnya, memperkuat desakannya untuk pemecatan. Tuntutan ini menunjukkan tingkat kekecewaan dan rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh Yai Mim, yang berharap institusi pendidikan dapat menjadi penengah dan penegak keadilan dalam kasusnya.
Kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi institusi pendidikan tinggi di era digital, di mana batasan antara kehidupan pribadi dan profesional semakin kabur. Unggahan di media sosial yang tadinya dianggap sebagai ekspresi personal, kini dapat memiliki konsekuensi serius terhadap reputasi dan karier individu. Bagi Universitas Brawijaya, kasus ini menjadi ujian dalam menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi mahasiswa, tanggung jawab etis sivitas akademika, dan kewajiban menjaga nama baik institusi. Keputusan Rektor Prof. Widodo untuk menunggu hasil proses hukum menunjukkan komitmen UB terhadap prinsip due process dan keadilan yang berimbang, menghindari penghakiman prematur yang dapat merugikan salah satu pihak. Masyarakat dan sivitas akademika UB kini menanti bagaimana drama hukum ini akan berakhir, dan langkah-langkah apa yang akan diambil universitas setelah kejelasan hukum tercapai.
rakyatindependen.id