Nasional

Praperadilan Notaris di Ngawi: Kuasa Hukum Ungkap Pelanggaran Prosedur dan Serahkan 27 Bukti Krusial

Sidang praperadilan yang diajukan oleh Nafiaturrohmah, seorang notaris yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dan manipulasi pajak, kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Ngawi pada Jumat, 19 September 2025. Kuasa hukum Nafiaturrohmah, Heru Nugroho, dalam kesempatan ini secara tegas menyampaikan sejumlah keberatan fundamental terhadap proses hukum yang menjerat kliennya, sekaligus menyerahkan 27 alat bukti surat yang diharapkan dapat membuktikan adanya cacat prosedur dalam penetapan status tersangka.

Perkara praperadilan ini menjadi sorotan penting, mengingat status Nafiaturrohmah sebagai seorang notaris, profesi yang memiliki kekhususan dalam hukum dan prosedur penyelidikan. Kasus yang dituduhkan, yakni gratifikasi dan manipulasi pajak, merupakan delik serius yang dapat merusak integritas profesi notaris serta kepercayaan publik terhadap sistem administrasi hukum. Oleh karena itu, langkah praperadilan yang ditempuh oleh pihak Nafiaturrohmah menjadi upaya hukum untuk menguji keabsahan proses penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh pihak termohon, dalam hal ini Kejaksaan.

Sidang yang dimulai tepat pukul 09.00 WIB tersebut, dengan agenda utama pembacaan permohonan praperadilan. Heru Nugroho menjelaskan bahwa selain membacakan permohonan secara lisan, majelis hakim juga meminta tim kuasa hukum untuk menyusun resume yang kemudian dibacakan di hadapan persidangan. Hal ini menunjukkan keseriusan pengadilan dalam menelaah setiap detail argumen yang diajukan oleh pemohon.

Dalam permohonannya yang komprehensif, Heru Nugroho secara gamblang menguraikan berbagai poin keberatan yang mendasari keyakinannya bahwa proses penetapan tersangka terhadap kliennya cacat prosedur dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keberatan-keberatan tersebut tidak hanya bersifat teknis, melainkan menyentuh prinsip-prinsip dasar hukum acara pidana dan perlindungan profesi notaris.

Poin pertama yang menjadi sorotan tajam adalah dugaan pemeriksaan yang dilakukan tanpa izin Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Sebagai seorang notaris, Nafiaturrohmah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal 66 Undang-Undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyitaan terhadap notaris harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Notaris. Ketiadaan izin ini, menurut Heru, secara langsung menggugurkan keabsahan seluruh proses pemeriksaan dan penetapan tersangka yang telah dilakukan. MKN dibentuk untuk menjaga kehormatan dan martabat profesi notaris, serta melindungi notaris dari intervensi atau tindakan hukum yang semena-mena tanpa prosedur yang jelas. Tanpa izin MKN, tindakan penyidik dianggap melanggar hukum dan dapat menjadi alasan kuat untuk membatalkan penetapan tersangka melalui mekanisme praperadilan.

Praperadilan Notaris di Ngawi: Kuasa Hukum Ungkap Pelanggaran Prosedur dan Serahkan 27 Bukti Krusial

Keberatan kedua yang disampaikan adalah tidak adanya pemberitahuan maupun penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada kliennya. SPDP merupakan instrumen penting dalam hukum acara pidana yang berfungsi untuk memberitahukan kepada tersangka dan keluarganya, serta penasihat hukumnya, bahwa penyidikan telah dimulai. Ini adalah hak fundamental setiap warga negara yang dijamin oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mengetahui status hukumnya dan mempersiapkan diri menghadapi proses hukum. Ketiadaan SPDP tidak hanya melanggar hak asasi tersangka, tetapi juga berpotensi menghambat haknya untuk mendapatkan bantuan hukum sejak dini, yang merupakan salah satu prinsip peradilan yang adil dan transparan. Heru menegaskan bahwa tanpa SPDP, proses penyidikan menjadi tidak sah secara prosedural.

Selanjutnya, Heru Nugroho juga menyoroti dugaan penetapan tersangka yang tidak didasarkan pada minimal dua alat bukti yang cukup. Berdasarkan KUHAP, penetapan seseorang sebagai tersangka harus didukung oleh setidaknya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah menurut undang-undang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Argumentasi kuasa hukum adalah bahwa penetapan tersangka kliennya dilakukan terburu-buru dan tidak memenuhi standar pembuktian minimal yang disyaratkan oleh undang-undang. Ini merupakan salah satu pilar utama dalam menjamin bahwa tidak ada penetapan tersangka yang bersifat sewenang-wenang atau tanpa dasar hukum yang kuat.

Poin keberatan keempat berkaitan dengan adanya perbedaan antara surat penahanan dan surat penetapan tersangka, yang dianggap tidak sah. Ketidaksesuaian detail antara dua dokumen hukum yang sangat krusial ini dapat menimbulkan keraguan terhadap legalitas penahanan dan status tersangka itu sendiri. Perbedaan tersebut bisa berupa tanggal, nomor perkara, identitas tersangka, atau bahkan pasal yang disangkakan. Dalam sistem hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum, setiap dokumen resmi harus konsisten dan akurat. Kesalahan atau ketidakkonsistenan pada dokumen vital semacam ini dapat menjadi celah hukum yang signifikan untuk membatalkan proses penahanan dan penetapan tersangka.

Heru Nugroho lebih lanjut menjelaskan kronologi yang dianggap janggal, yaitu surat perintah penyidikan keluar pada tanggal 22 Juli, dan pada hari yang sama kliennya langsung ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Heru, prosedur yang benar seharusnya dimulai dengan pemanggilan saksi-saksi, pengumpulan alat bukti, dan serangkaian proses penyelidikan lainnya sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan. "Surat perintah penyidikan keluar pada 22 Juli, pada hari yang sama klien kami langsung ditahan dan ditetapkan tersangka. Padahal seharusnya penyidikan dimulai dengan pemanggilan saksi dan pengumpulan bukti terlebih dahulu," jelas Heru, menegaskan bahwa langkah cepat dan simultan ini mengindikasikan adanya pelanggaran prosedur yang serius.

Untuk memperkuat permohonan praperadilan, tim kuasa hukum Nafiaturrohmah telah menyerahkan 27 alat bukti surat kepada majelis hakim. Alat bukti surat ini kemungkinan besar mencakup berbagai dokumen yang relevan, seperti surat-surat yang berkaitan dengan proses pemeriksaan, korespondensi dengan pihak berwenang, dokumen terkait status notaris dan izin MKN, serta mungkin juga dokumen-dokumen yang menunjukkan alibi atau bukti-bukti lain yang dapat membantah dugaan pelanggaran prosedur. Heru Nugroho juga menyatakan bahwa pihaknya masih akan menambahkan tiga alat bukti baru pada sidang berikutnya, menunjukkan keseriusan dan persiapan matang dalam menghadapi persidangan.

Sidang pada hari Jumat tersebut sempat diskors untuk istirahat dan pelaksanaan ibadah salat Jumat, kemudian dilanjutkan kembali pada pukul 13.00 WIB dengan agenda pembuktian surat. Ini adalah fase krusial di mana pemohon memiliki kesempatan untuk secara resmi mengajukan dan menjelaskan relevansi setiap alat bukti yang mereka serahkan kepada majelis hakim.

Rencananya, pada sidang lanjutan yang dijadwalkan pada hari Senin, 22 September 2025, pihak pemohon akan menghadirkan saksi-saksi. Penundaan kehadiran saksi ini, menurut Heru, disebabkan oleh keberadaan saksi yang masih berada di luar kota. "Seharusnya saksi sudah kami hadirkan hari ini, namun karena masih berada di luar kota maka ditunda Senin siang pukul 13.00 WIB," pungkas Heru. Kehadiran saksi-saksi ini diharapkan dapat memberikan keterangan yang mendukung dalil-dalil permohonan praperadilan, khususnya mengenai kronologi pemeriksaan, ketiadaan SPDP, atau kondisi lain yang berkaitan dengan cacat prosedur.

Selain itu, majelis hakim juga memberikan kesempatan kepada pihak termohon, yakni Kejaksaan, untuk menyampaikan jawaban mereka pada hari yang sama. Ini adalah bagian dari prinsip audi et alteram partem, di mana kedua belah pihak diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan argumen dan bukti-bukti mereka di hadapan pengadilan. Jawaban dari Kejaksaan akan menjadi kontra-argumentasi terhadap permohonan praperadilan yang diajukan oleh Nafiaturrohmah, di mana mereka akan menjelaskan dasar hukum dan prosedur yang mereka gunakan dalam menetapkan tersangka dan melakukan penahanan.

Sidang praperadilan ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi Nafiaturrohmah pribadi, tetapi juga bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan perlindungan profesi notaris dan kepatuhan terhadap prosedur hukum acara pidana. Keputusan majelis hakim akan menjadi preseden penting mengenai batas-batas kewenangan penyidik dan hak-hak tersangka dalam proses hukum. Hasil dari praperadilan ini akan menentukan apakah proses penetapan tersangka dan penahanan Nafiaturrohmah sah secara hukum atau harus dibatalkan, yang secara tidak langsung juga akan memengaruhi kelanjutan penyidikan kasus gratifikasi dan manipulasi pajak yang dituduhkan. Publik menantikan bagaimana keadilan akan ditegakkan dalam kasus yang kompleks dan penuh nuansa prosedural ini.

rakyatindependen.id

Praperadilan Notaris di Ngawi: Kuasa Hukum Ungkap Pelanggaran Prosedur dan Serahkan 27 Bukti Krusial

Related Articles