Nasional

Revolusi Hijau di Nglaran: Pasangan Sutarno-Titin Ubah Lahan Tidur Jadi Sentra Melon Hidroponik Modern, Memicu Kebangkitan Ekonomi Pedesaan Pacitan

Inovasi pertanian modern telah menancapkan akarnya dengan kuat di jantung Kabupaten Pacitan, khususnya di Dusun Bongkot, Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan. Sebuah kisah inspiratif datang dari sepasang suami istri, Sutarno (51) dan Titin Ekawati (47), yang dengan tekad dan visi, berhasil mengubah lahan tidur yang tak tergarap menjadi sebuah pusat pertanian modern yang gemilang, berfokus pada budidaya melon dengan sistem hidroponik. Kisah mereka bukan hanya tentang keberhasilan panen, melainkan juga tentang bagaimana semangat inovasi dapat menggerakkan roda ekonomi desa, membangun kemandirian pangan, dan menginspirasi perubahan positif di tengah masyarakat.

Lahan seluas lebih dari satu hektar yang dulunya hanya menjadi saksi bisu waktu, kini telah bertransformasi menjadi area produktif yang menjanjikan. Dari total luasan tersebut, sekitar 480 meter persegi didedikasikan secara khusus untuk budidaya melon hidroponik, menaungi hingga 1.256 batang tanaman. Bukan sembarang melon, varietas yang dipilih adalah Intanon RZ dan Sweet Lavender, dua jenis unggulan yang terkenal dengan karakteristik rasa manis yang luar biasa, tekstur daging yang renyah, aroma yang harum, serta daya simpan yang relatif lama, menjadikannya primadona di pasar buah premium.

Sutarno, dengan sorot mata penuh harap, menjelaskan motivasinya, "Kebetulan kita punya lahan warisan dari orang tua, lalu ada tambahan pembelian lagi. Karena prihatin dengan kondisi petani saat ini, saya coba mengembangkan pertanian dengan cara baru." Ungkapan ini bukan sekadar kalimat biasa, melainkan cerminan dari kegelisahan mendalam terhadap tantangan yang dihadapi petani tradisional. Fluktuasi harga komoditas, ketergantungan pada cuaca, serangan hama penyakit yang sulit dikendalikan, serta penurunan kualitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan, seringkali membuat petani terjerat dalam lingkaran ketidakpastian ekonomi. Sutarno melihat hidroponik sebagai solusi potensial untuk memutus rantai permasalahan ini, menawarkan kontrol lebih besar atas lingkungan tumbuh tanaman, penggunaan sumber daya yang lebih efisien, dan potensi hasil panen yang lebih konsisten dan berkualitas.

Langkah Sutarno dan Titin untuk beralih ke metode hidroponik adalah sebuah lompatan besar. Bagi mereka, ini adalah pengalaman pertama. Namun, kerja keras, ketekunan, dan kemauan untuk belajar membuahkan hasil yang memuaskan. Tanaman melon yang mulai ditanam pada pertengahan Agustus lalu kini tumbuh subur, menampilkan daun hijau cerah dan buah-buah melon yang menggantung indah, siap memasuki masa panen perdananya. Keberhasilan awal ini menjadi bukti nyata bahwa inovasi pertanian, bahkan oleh pemula sekalipun, dapat direalisasikan dengan baik.

"Meskipun baru pertama, tapi sudah bisa dikatakan berhasil. Nanti untuk tanam kedua akan kami sempurnakan dari pengalaman pertama ini, terutama untuk menghadapi hama fusarium atau layu batang," jelas Sutarno. Pernyataan ini menunjukkan visi jangka panjang dan komitmen untuk terus belajar dan beradaptasi. Fusarium wilt, atau layu fusarium, adalah penyakit jamur tanah yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada tanaman melon. Meskipun hidroponik secara inheren mengurangi risiko penyakit tular tanah, tantangan seperti fusarium tetap memerlukan perhatian khusus, baik melalui sterilisasi media tanam, pemilihan varietas tahan penyakit, maupun manajemen lingkungan yang optimal. Pengalaman pertama ini menjadi pembelajaran berharga untuk meningkatkan praktik budidaya di siklus tanam berikutnya, memastikan keberlanjutan dan peningkatan produktivitas.

Revolusi Hijau di Nglaran: Pasangan Sutarno-Titin Ubah Lahan Tidur Jadi Sentra Melon Hidroponik Modern, Memicu Kebangkitan Ekonomi Pedesaan Pacitan

Aspek finansial dari panen perdana ini belum sepenuhnya dihitung oleh Sutarno. Namun, filosofi yang dianutnya jauh melampaui sekadar angka keuntungan. Sebagian besar hasil panen justru dibagikan kepada tetangga sekitar sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi kebahagiaan atas pencapaian ini. Tindakan ini tidak hanya menumbuhkan goodwill di komunitas, tetapi juga secara tidak langsung memperkenalkan kualitas melon hidroponik mereka kepada masyarakat luas. Sisanya dijual dengan harga yang lebih murah dari standar pasar, sebuah strategi cerdas untuk membuat produk berkualitas tinggi ini lebih mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar, sekaligus membangun loyalitas pelanggan dan brand awareness di tingkat lokal. Ini adalah investasi sosial yang tak ternilai harganya, meletakkan fondasi yang kuat untuk dukungan komunitas di masa depan.

Keberhasilan Sutarno dan Titin segera menarik perhatian Kepala Desa Nglaran, Triyono, yang turut meninjau langsung lokasi kebun. Triyono mengapresiasi tinggi langkah warganya ini, melihatnya sebagai sebuah inovasi yang memiliki potensi besar untuk menjadi inspirasi bagi petani lain. "Ini bagus untuk dikembangkan bersama-sama. Kami akan mendorong masyarakat lain agar ikut meniru, sehingga nantinya bisa terbentuk kelompok tani modern dan pemasaran produk juga lebih mudah," kata Triyono dengan antusias. Visi Triyono untuk membentuk kelompok tani modern adalah langkah strategis. Dengan adanya kelompok, petani dapat berbagi pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya, serta memiliki daya tawar yang lebih kuat dalam pengadaan input pertanian maupun pemasaran produk. Ini akan meminimalisir risiko individual dan mempercepat adopsi teknologi pertanian modern di Nglaran.

Selain memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga Sutarno, keberadaan kebun hidroponik ini juga membawa dampak positif yang meluas bagi lingkungan sekitar. Meskipun detail spesifik tentang "dampak positif bagi lingkungan" tidak diuraikan, umumnya pertanian hidroponik dikenal karena efisiensinya dalam penggunaan air (hingga 90% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional), pengurangan penggunaan pestisida karena lingkungan yang lebih terkontrol, dan tidak adanya erosi tanah. Lebih dari itu, kebun ini telah menciptakan peluang kerja lokal. Beberapa warga ikut membantu proses perawatan tanaman, mulai dari penanaman, pemeliharaan nutrisi, hingga panen dan pengemasan. Hal ini secara langsung meningkatkan pendapatan dan keterampilan masyarakat desa, memperkuat ikatan sosial dan ekonomi.

"Banyak yang penasaran dan berkunjung ke sini. Desa jadi lebih ramai, dan ini bisa membuka peluang ekonomi baru," pungkas Triyono. Pernyataan ini menggarisbawahi potensi besar Nglaran sebagai destinasi agrowisata dan pusat edukasi pertanian. Kebun melon hidroponik Sutarno dan Titin tidak hanya menjadi tempat produksi, tetapi juga laboratorium hidup dan objek wisata. Pengunjung dari desa lain, bahkan mungkin dari luar daerah, datang untuk melihat langsung sistem pertanian modern ini. Fenomena ini menciptakan multiplier effect ekonomi: peningkatan kunjungan dapat mendorong munculnya usaha kecil lainnya, seperti warung makan lokal, penjual oleh-oleh, atau penginapan sederhana, yang semuanya akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat. Nglaran berpotensi menjadi model desa yang berhasil mengintegrasikan inovasi pertanian dengan pariwisata berbasis edukasi, sebuah kombinasi yang menjanjikan masa depan cerah.

Kisah di Desa Nglaran ini adalah bukti nyata bahwa dengan semangat kewirausahaan, keberanian mencoba hal baru, dan dukungan komunitas, transformasi signifikan dapat dicapai. Dari lahan yang tak produktif, Sutarno dan Titin tidak hanya menumbuhkan melon-melon manis, tetapi juga benih harapan dan potensi baru bagi seluruh desa. Ini adalah sebuah revolusi hijau yang dimulai dari skala kecil, namun memiliki gaung yang besar, mendorong Pacitan menuju masa depan pertanian yang lebih modern, berkelanjutan, dan sejahtera.

rakyatindependen.id

Revolusi Hijau di Nglaran: Pasangan Sutarno-Titin Ubah Lahan Tidur Jadi Sentra Melon Hidroponik Modern, Memicu Kebangkitan Ekonomi Pedesaan Pacitan

Related Articles