Sayuran Mentah Tercemar Kimia Diduga Pemicu Keracunan Massal MBG Jember, Komnas HAM Minta Audit Gizi Nasional

Jember (rakyatindependen.id) – Sebuah insiden serius yang mengguncang program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Jember, Jawa Timur, kini tengah menjadi sorotan tajam. Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat menduga kuat bahwa cemaran bahan kimia pada sayur mentah yang disajikan dalam menu MBG telah menjadi penyebab utama keracunan massal yang menimpa puluhan siswa Sekolah Dasar Negeri 05, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, pada tanggal 25 September 2025. Kasus ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat dan orang tua, tetapi juga menarik perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, yang menyoroti potensi pelanggaran hak anak atas pangan yang aman dan bergizi.
Hasil analisis awal dari Dinkes Jember ini diungkapkan langsung oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinkes Jember, Rita Wahyuningsih, dalam sebuah pertemuan penting dengan Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah. Pertemuan tersebut berlangsung di kantor Pemerintah Kabupaten Jember pada Sabtu, 4 Oktober 2025, yang menegaskan keseriusan penanganan kasus ini di tingkat daerah hingga nasional. Rita memaparkan kronologi dan temuan awal investigasi, memberikan gambaran utuh mengenai apa yang terjadi di balik insiden keracunan yang memprihatinkan ini.
Menurut Rita, insiden bermula pada pagi hari, sekitar pukul 09.00 WIB, ketika 58 orang siswa di SDN 05 Sidomekar menerima jatah menu MBG mereka. Suasana pagi yang seharusnya ceria mendadak berubah menjadi panik. Berdasarkan keterangan para guru, tak lama setelah makanan dibagikan, sejumlah siswa mulai berteriak-teriak, melaporkan bahwa makanan mereka mengandung belatung. Meskipun laporan tentang belatung ini belum dapat dikonfirmasi sebagai penyebab utama, keberadaan keluhan tersebut tentu saja menambah kepanikan. Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa siswa yang telah mengonsumsi makanan tersebut segera menunjukkan gejala sakit yang mencurigakan, mengindikasikan adanya masalah serius pada hidangan yang mereka santap.
Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan, pada pukul 09.30 WIB, pihak sekolah dengan sigap melaporkan kejadian tersebut kepada petugas pelaksana program MBG. Lima orang siswa yang paling awal mengeluh dan menunjukkan gejala sakit kemudian segera dilarikan ke Puskesmas Semboro untuk mendapatkan penanganan medis darurat. Tindakan cepat ini menjadi langkah awal dalam upaya penyelamatan dan penanganan korban, sekaligus memulai proses investigasi terhadap penyebab keracunan.
Menanggapi laporan tersebut, keesokan harinya, pada 26 September 2025, tim petugas dari Dinkes Jember segera mengunjungi SDN 05 Sidomekar. Mereka melakukan observasi langsung dan mengumpulkan informasi lebih lanjut dari pihak sekolah. Dari keterangan para guru di lapangan, terungkap bahwa jumlah siswa yang bergejala ternyata tidak hanya lima orang, melainkan sudah mencapai 16 siswa. Angka ini menunjukkan bahwa dampak keracunan lebih luas dari perkiraan awal dan perlu penanganan yang lebih komprehensif.
Pada hari yang sama, tim gabungan yang terdiri dari petugas puskesmas dan lembaga lintas sektor bergerak cepat untuk mendatangi dapur MBG di Semboro, tempat makanan tersebut disiapkan. Penyelidikan di dapur ini bertujuan untuk mencari informasi lebih mendalam mengenai seluruh proses penyediaan makanan, mulai dari bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi. Mereka memeriksa standar kebersihan, metode penyimpanan, dan yang tak kalah penting, mengecek tanggal kedaluwarsa (ED) setiap bahan makanan yang digunakan. Salah satu temuan awal yang mengkhawatirkan adalah adanya roti yang tidak memiliki informasi tanggal kedaluwarsa, sebuah pelanggaran serius terhadap standar keamanan pangan yang berpotensi membahayakan konsumen.
Pemantauan terhadap kondisi siswa terus berlanjut hingga tanggal 27 September 2025. Dari hasil pemantauan intensif ini, didapatkan data yang lebih akurat dan mengagetkan: total 27 orang siswa tambahan dilaporkan menunjukkan gejala keracunan, sehingga secara keseluruhan, jumlah siswa yang mengalami gejala keracunan melonjak menjadi 37 orang. Angka ini mencerminkan skala insiden yang signifikan dan mendesak. Pada tanggal 27 September itu pula, diketahui bahwa 11 siswa masih merasakan sakit dengan berbagai keluhan. Tujuh orang anak mengeluh nyeri perut yang intens, dua orang anak mengeluh pusing disertai nyeri perut, dan sisanya mengalami mual. Meskipun beberapa siswa yang tidak mengalami keluhan berarti masih bisa mengikuti proses belajar mengajar seperti biasa, jumlah korban yang terdampak dan masih merasakan sakit menunjukkan bahwa masalah ini belum sepenuhnya tuntas.
Dinkes Jember kemudian memulai analisis detail kronologi kejadian dengan pendekatan epidemiologi untuk mencari tahu akar persoalan tersebut. Mereka mengumpulkan data mengenai jenis gejala, waktu timbulnya gejala, dan makanan yang dikonsumsi. Pola keluhan yang ditemukan sangat spesifik: mual, muntah, pusing, nyeri perut, diare, dan demam. Rita menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah keluhan yang sangat cepat dalam rentang waktu singkat, hanya sekitar 10 menit, yaitu dari pukul 09:20 hingga 09:30 WIB. Dalam rentang waktu tersebut, tercatat 17 orang mengeluh mual, 12 orang muntah, dan 7 orang nyeri perut.
Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa keluhan mual adalah yang paling dominan, dialami oleh 26 anak. Nyeri perut menempati posisi kedua dengan 22 anak, diikuti oleh muntah pada 15 orang, dan pusing pada 10 orang. Menariknya, tidak ditemukan laporan demam dan diare yang menonjol dibandingkan gejala lainnya. Berdasarkan pola gejala yang cepat dan spesifik ini, Rita menyimpulkan bahwa kejadian tersebut sangat mengarah pada keracunan akut saluran cerna, sebuah kondisi yang biasanya disebabkan oleh paparan zat iritan atau toksin yang masuk melalui makanan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan petugas Dinkes adalah membandingkan semua makanan yang dikonsumsi para siswa dengan gejala yang muncul. "Jadi kita petakan satu persatu," kata Rita, menjelaskan metodologi yang sistematis. "Kami sudah menggunakan rumus rasio attack untuk menilai dengan perbandingan attack rate-nya." Analisis ini adalah metode standar dalam epidemiologi untuk mengidentifikasi makanan atau minuman mana yang paling mungkin menjadi sumber wabah.
Dari berbagai menu yang disajikan, seperti roti tawar, telur rebus goreng, selada, timun, mayones, saus sachet, keju parut, susu UHT, dan mendol tempe, selada dan timun menjadi makanan yang paling kuat dikaitkan dengan dugaan keracunan. Pemilihan ini didasarkan pada fakta bahwa gejala muncul sangat cepat, yaitu dalam 10 hingga 15 menit setelah mengonsumsi, sebuah karakteristik yang seringkali mengindikasikan paparan langsung terhadap zat iritan atau toksin. "Dugaan penyebab paling mungkin adalah akibat paparan bahan kimia atau bisa diasumsikan ada residu pestisida atau deterjen, pada sayuran mentah," tegas Rita, mengungkapkan kesimpulan awal yang sangat mengkhawatirkan.
Untuk memastikan dugaan tersebut, Dinkes Jember telah mengambil sampel makanan dari lokasi kejadian dan mengirimkannya ke laboratorium yang berwenang di Surabaya. "Hasilnya belum kami peroleh," ujar Rita, menekankan bahwa investigasi masih berlangsung. Pengiriman sampel makanan ini mencakup dua kategori pemeriksaan penting: mikrobiologi, untuk mendeteksi keberadaan bakteri atau mikroorganisme patogen, serta kimia, untuk mengidentifikasi residu bahan kimia berbahaya seperti pestisida atau deterjen. Hasil dari uji laboratorium ini akan menjadi bukti krusial yang dapat mengkonfirmasi dugaan awal Dinkes Jember.
Menanggapi temuan awal di Jember, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi masukan konstruktif yang sangat berharga untuk perbaikan pelaksanaan program MBG ke depan, tidak hanya di Jember tetapi juga di seluruh Indonesia. "Masalahnya ada di menu dan proses masaknya. Mungkin karena tadi ada pestisida dan deterjen," kata Anis, menggarisbawahi dua area utama yang perlu diperbaiki.
Anis juga memberikan pandangan mendalam mengenai dugaan sumber kontaminasi. "Kalau deterjen itu kan kira-kira pada saat pencucian bahan makanan. Tapi kalau pestisida terkait dengan kualitas bahannya sebelum dimasak," jelasnya. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bisa terjadi di berbagai tahap rantai pasok makanan, mulai dari kualitas bahan baku di tingkat petani hingga proses pencucian dan persiapan di dapur. "Jadi, sejak kualitas bahan sampai proses masaknya, nampaknya memang ada persoalan," pungkas Anis, menyoroti kompleksitas masalah keamanan pangan dalam program skala besar seperti MBG.
Meskipun demikian, Anis memuji respons cepat yang ditunjukkan oleh Dinkes Jember dalam menangani kasus ini. "Mudah-mudahan tidak ada kasus terus berikutnya setelah penanganan seperti ini," harapnya, menekankan pentingnya langkah preventif dan perbaikan sistemik. Anis juga secara khusus meminta kepada Dinkes Jember untuk mengirimkan hasil uji laboratorium sampel makanan kepada Komnas HAM begitu hasilnya keluar. Menurutnya, penanganan cepat dan transparan terhadap kasus semacam ini dapat menjadi standar operasional yang baik bagi Badan Gizi Nasional untuk meminimalkan kasus-kasus serupa di masa mendatang.
Anis Hidayah juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang skala masalah MBG secara nasional. "Enam ribu (orang korban dugaan keracunan massal MBG di seluruh Indonesia) itu kan cukup besar. Kalau kita bicara hak asasi, satu kasus saja harus dihitung," katanya, mengingatkan bahwa setiap individu korban memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Menurut Anis, jumlah korban tidak bisa hanya dilihat dalam kerangka persentase dari keseluruhan penerima MBG. "Sekecil apapun itu tetap masalah. Apalagi kalau nantinya Komnas HAM sudah selesai (menyelidiki), ini potensi pelanggaran HAM-nya apa saja," tegasnya, mengisyaratkan bahwa Komnas HAM akan mendalami aspek hak asasi manusia dalam kasus ini, terutama hak anak atas kesehatan dan pangan yang aman.
Kasus keracunan massal di Jember ini menjadi alarm penting bagi semua pihak terkait, mulai dari pemerintah daerah, pelaksana program MBG, hingga pengawas keamanan pangan. Dugaan cemaran bahan kimia pada sayur mentah menuntut evaluasi menyeluruh terhadap standar pengadaan bahan baku, proses pencucian, hingga pengawasan kualitas di setiap tahapan penyediaan makanan gratis. Keamanan pangan bagi anak-anak sekolah harus menjadi prioritas utama, dan insiden ini menegaskan perlunya audit gizi nasional yang ketat serta perbaikan sistematis agar program mulia seperti MBG tidak justru berakhir menjadi ancaman bagi kesehatan penerima manfaatnya. Hasil uji laboratorium yang akan datang akan menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan menentukan langkah-langkah penegakan hukum serta perbaikan kebijakan yang diperlukan demi menjamin hak anak-anak atas makanan yang aman dan bergizi.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id