Dalam rangka memeriahkan dan mengukuhkan makna Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2025, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sidoarjo telah menggelar serangkaian kegiatan yang memadukan dimensi sosial dan keagamaan. Puncak dari rangkaian kegiatan tersebut adalah sebuah momen penuh empati dan kepedulian, yakni pemberian santunan kepada para santri dan keluarga yang menjadi korban dari musibah ambruknya bangunan tiga lantai milik Lembaga Pesantren (LP) Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo. Acara penyaluran santunan ini dilangsungkan pada Rabu, 22 Oktober 2025, menjadi penanda kuat akan komitmen NU Sidoarjo terhadap kesejahteraan dan keselamatan komunitas pesantren.
Hari Santri Nasional, yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 22 Oktober, bukanlah sekadar perayaan seremonial belaka. Sejak ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, HSN telah menjadi momentum penting untuk merefleksikan peran historis santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, serta menegaskan kembali semangat kebangsaan dan pengabdian santri kepada negeri. Bagi Nahdlatul Ulama, HSN adalah penegasan identitas dan peran pesantren sebagai garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai keislaman moderat dan nasionalisme. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, melainkan juga kawah candradimuka yang melahirkan ulama, pemimpin, dan pejuang yang berdedikasi tinggi untuk Tanah Air.
Ketua PCNU Sidoarjo, KH Zainal Abidin, dalam sambutannya, menegaskan filosofi di balik peringatan Hari Santri. Ia menyatakan bahwa hari ini adalah ajang untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan dan pengabdian santri kepada negeri. "Nahdlatul Ulama serta pondok pesantren adalah lembaga yang sejak dulu hingga kini memiliki komitmen kuat menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tradisi pesantren adalah tradisi cinta tanah air, cinta bangsa, dan cinta kebhinekaan," ujar KH Zainal Abidin dengan penuh penekanan. Pernyataan ini sekaligus mengingatkan kembali bagaimana para santri dan ulama berperan aktif dalam Resolusi Jihad tahun 1945, sebuah peristiwa heroik yang menjadi tonggak penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangat yang sama, kini diterjemahkan dalam bentuk kepedulian sosial dan penguatan ukhuwah islamiyah dan wathaniyah.
Musibah ambruknya bangunan di LP Al-Khoziny Buduran yang terjadi beberapa waktu sebelum peringatan HSN ini, telah menyisakan duka mendalam bagi seluruh warga Sidoarjo, khususnya komunitas pesantren. Bangunan tiga lantai yang berfungsi sebagai fasilitas vital bagi para santri tiba-tiba runtuh, menyebabkan sejumlah korban jiwa dan luka-luka. Tragedi ini menjadi pengingat pahit akan pentingnya standar keselamatan bangunan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kehilangan nyawa, terutama santri-santri muda yang sedang menuntut ilmu, adalah kerugian besar yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Dalam menghadapi musibah ini, Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (Lazisnu) PCNU Sidoarjo segera bergerak cepat. Lazisnu, sebagai salah satu badan otonom NU yang berfokus pada penghimpunan dan penyaluran dana sosial keagamaan, menyalurkan bantuan kepada 18 keluarga santri yang terdampak langsung oleh tragedi tersebut. Bantuan yang diberikan tidak hanya berupa santunan uang tunai untuk meringankan beban ekonomi, tetapi juga dukungan moril yang tak ternilai harganya bagi keluarga yang tengah berduka. Kehadiran para pengurus NU dan Lazisnu di tengah-tengah mereka diharapkan mampu menjadi pelipur lara dan penumbuh semangat.
Ketua Lazisnu PCNU Sidoarjo, Dodi Dliya’uddin, menjelaskan bahwa penyaluran bantuan ini bukan sekadar tugas administratif, melainkan sebuah amanah moral yang harus dijalankan oleh NU sebagai organisasi yang berakar kuat di pesantren. "Pesantren itu bukan sekadar tempat belajar agama, tapi rumah besar peradaban Islam Indonesia. Maka ketika ada pesantren yang tertimpa musibah, sudah menjadi kewajiban kami untuk hadir, membantu, dan menenangkan hati keluarga yang sedang berduka," tutur Dodi. Ia menekankan bahwa ikatan antara NU dan pesantren adalah hubungan yang tak terpisahkan, sebuah jalinan historis dan kultural yang mengikat erat seluruh gerak langkah organisasi. Pesantren adalah sumber inspirasi, tempat lahirnya nilai-nilai luhur, dan pusat kaderisasi ulama dan pemimpin bangsa.
Lebih lanjut, Dodi menjelaskan bahwa bantuan yang disalurkan oleh Lazisnu bukan hanya bentuk simpati sesaat, tetapi juga simbol kehadiran NU secara nyata di tengah masyarakat yang membutuhkan. Menurutnya, Lazisnu merupakan perpanjangan tangan dari nilai-nilai kepedulian, solidaritas, dan gotong royong yang diajarkan oleh para kiai dan ulama pendiri Nahdlatul Ulama. "Lazisnu ini ibarat tangan sosialnya NU. Kita bergerak karena dorongan rasa cinta kepada umat, terutama kepada pesantren. Sebab pesantren adalah soko guru NU, tempat lahirnya para pejuang agama dan bangsa," tegasnya. Istilah "soko guru" sendiri mengisyaratkan bahwa pesantren adalah tiang penyangga utama bagi keberlangsungan NU dan bahkan bagi moralitas bangsa. Tanpa pesantren, identitas keislaman moderat Indonesia akan kehilangan salah satu pilar utamanya.
Dodi juga menambahkan bahwa santunan ini diharapkan menjadi pengingat bagi seluruh umat Islam untuk memperkuat solidaritas sosial dan kepedulian antar sesama, terutama terhadap santri dan pesantren yang selama ini menjadi penjaga moral bangsa. Dalam konteks yang lebih luas, musibah di Al-Khoziny menjadi cerminan betapa pentingnya dukungan dan perhatian berkelanjutan terhadap lembaga pendidikan keagamaan ini. "Santri itu simbol keikhlasan, ketekunan, dan pengabdian. Maka peringatan Hari Santri harus dimaknai sebagai ajakan untuk berbuat nyata, menolong sesama, dan mengabdi tanpa pamrih. Inilah semangat santri sejati yang harus terus kita hidupkan," tandasnya, menginspirasi hadirin untuk meneladani sifat-sifat mulia yang melekat pada diri santri.
Salah satu keluarga penerima santunan yang hadir dalam acara tersebut adalah orang tua dari almarhum Muhammad Rizqi Maulana Saputra, seorang santri dari Desa Wadungasih, Kecamatan Buduran, yang menjadi salah satu korban meninggal dunia dalam peristiwa ambruknya Musala Ponpes Al-Khoziny. Kisah Rizqi Maulana Saputra menjadi simbol dari tragedi yang menimpa banyak keluarga. Jenazahnya ditemukan oleh tim SAR setelah pencarian intensif selama delapan hari, sebuah proses yang penuh harapan dan kecemasan bagi keluarga serta tim penyelamat. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam, namun juga menyatukan banyak pihak dalam doa dan dukungan.
Ayah almarhum, Muh Arifudin, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas kepedulian PCNU dan Lazisnu Sidoarjo yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada keluarganya di masa-masa sulit ini. Dengan suara bergetar namun penuh ketabahan, ia berucap, "Terima kasih atas kepedulian dan perhatian semua pihak, khususnya PCNU Sidoarjo. Kepedulian ini menjadi penguat bagi kami untuk melanjutkan hidup. Insyaallah putra kami syahid, meninggal dalam keadaan menuntut ilmu di jalan Allah." Ungkapan ini tidak hanya mencerminkan penerimaan terhadap takdir, tetapi juga keyakinan akan kemuliaan putranya yang wafat sebagai syuhada, sebuah status yang sangat diidamkan dalam Islam. Dukungan dari komunitas, terutama dari organisasi keagamaan seperti NU, sangat berarti dalam membantu keluarga korban melewati masa-masa berduka.
Peringatan Hari Santri Nasional 2025 di Sidoarjo ini tidak hanya dirayakan dengan kegiatan seremonial, melainkan juga diwarnai dengan aksi nyata kepedulian dan solidaritas. Melalui inisiatif PCNU dan Lazisnu Sidoarjo, makna Hari Santri menjadi lebih mendalam, mengingatkan kita semua bahwa semangat santri adalah semangat pengabdian, persatuan, dan kepedulian terhadap sesama, terutama dalam menghadapi cobaan dan musibah. Ini adalah bukti bahwa nilai-nilai pesantren terus hidup dan relevan, menjadi sumber kekuatan moral dan sosial bagi bangsa Indonesia.
rakyatindependen.id