Skandal Korupsi Guncang Ponorogo: Bupati Sugiri Sancoko Tersangka, KPK Bongkar Jaringan Suap Jual Beli Jabatan dan Fee Proyek Rp1,25 Miliar

Jombang – Kabupaten Ponorogo, yang dikenal dengan warisan budaya Reognya yang megah dan identitasnya sebagai salah satu lumbung kebudayaan Jawa Timur, kini dihadapkan pada babak kelam dalam sejarah kepemimpinannya. Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, yang akrab disapa Kang Giri, kini harus menghadapi jeratan hukum yang berat setelah secara resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini mencuat dari dugaan suap pengurusan jabatan dan praktik pungutan fee proyek di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Harjono Ponorogo, sebuah instansi vital pelayanan kesehatan publik.
Penetapan status tersangka terhadap Sugiri Sancoko bukan hanya sekadar berita biasa, melainkan sebuah guncangan yang mengejutkan banyak pihak, mengingat citranya yang selama ini dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, rendah hati, dan selalu tampil akrab dengan masyarakat. Sosok yang kerap turun langsung ke lapangan, menyapa warga dengan slogan khasnya "Oke frenn" itu, kini harus menjawab panggilan hukum dan menghadapi konsekuensi atas tuduhan penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Setelah menjalani pemeriksaan maraton selama lebih dari sepuluh jam oleh penyidik lembaga antirasuah, Sugiri Sancoko keluar dari Gedung Merah Putih KPK dengan mengenakan rompi oranye, sebuah simbol visual yang tak terbantahkan dari statusnya sebagai tahanan KPK. Pemandangan ini kontras dengan harapan dan kepercayaan yang selama ini disematkan kepadanya oleh masyarakat Ponorogo. Rompi oranye itu bukan sekadar pakaian, melainkan penanda awal dari sebuah proses hukum panjang yang akan menguji integritas dan kredibilitasnya.
Kasus ini mulai terkuak dari adanya laporan intelijen terkait praktik penggalangan dana yang bertujuan untuk mencegah pemecatan Direktur RSUD dr. Harjono, Yunus Mahatma. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers yang digelar pada Minggu dini hari (9/11/2025), menjelaskan secara rinci bagaimana lingkaran korupsi ini beroperasi. Menurut Guntur, pada awal tahun 2025, Yunus Mahatma menerima informasi yang mengancam posisinya sebagai direktur, sebuah kabar yang memicu kekhawatiran serius akan masa depannya di RSUD.
Menanggapi ancaman tersebut, Yunus Mahatma lantas berkoordinasi dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Ponorogo, Agus Pramono, untuk mengumpulkan sejumlah uang. Uang tersebut, menurut pengakuan Yunus, rencananya akan diserahkan kepada Bupati Sugiri Sancoko sebagai "pelicin" agar posisinya tetap aman dari pergantian. "Yang bersangkutan berkoordinasi dengan AGP (Agus Pramono) untuk menyerahkan sejumlah uang kepada bupati," jelas Guntur, menggambarkan alur awal dari praktik suap ini.

Proses transaksi uang berlangsung dalam beberapa tahap sepanjang tahun 2025, menunjukkan pola yang terstruktur dan terencana. Tahap pertama terjadi pada Februari 2025, di mana Yunus Mahatma menyerahkan uang sebesar Rp400 juta. Kemudian, pada periode antara April hingga Agustus di tahun yang sama, total Rp325 juta kembali berpindah tangan. Penyerahan uang terakhir, dan yang menjadi titik krusial penangkapan, terjadi pada bulan November dengan jumlah Rp500 juta. Penyerahan inilah yang akhirnya memicu operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, mengakhiri serangkaian transaksi ilegal tersebut. "Yang terakhir inilah, saat proses penyerahannya itu yang kita lakukan penangkapan," terang Guntur, menandai momen penting dalam pengungkapan kasus ini.
Secara keseluruhan, total uang yang berpindah tangan dalam skema suap ini mencapai Rp1,25 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp900 juta diduga diterima langsung oleh Bupati Sugiri Sancoko, sementara Rp325 juta lainnya mengalir ke kantong Sekda Agus Pramono. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan besaran kerugian negara, tetapi juga mengindikasikan sejauh mana penyalahgunaan kekuasaan telah terjadi di lingkaran pemerintahan daerah.
Namun, pengungkapan kasus ini tidak berhenti pada praktik suap jual beli jabatan semata. KPK juga menemukan indikasi lain yang lebih luas dan sistematis, yaitu praktik pungutan fee proyek senilai Rp14 miliar di RSUD dr. Harjono. Fee proyek ini diduga diberikan oleh pihak swasta atau rekanan proyek sebagai imbalan atas pekerjaan atau proyek yang mereka dapatkan di rumah sakit tersebut. Ini menunjukkan adanya jaringan korupsi yang lebih kompleks, di mana jabatan yang diperoleh melalui suap kemudian dimanfaatkan untuk memeras pihak ketiga.
Sebagai contoh konkret, rekanan proyek dilaporkan memberikan "fee" sebesar 10 persen dari nilai total proyek kepada Yunus Mahatma, yang setara dengan sekitar Rp1,4 miliar. Praktik ini menggambarkan lingkaran setan korupsi yang dijelaskan oleh Asep Guntur Rahayu: "Inilah akhirnya terjadi berantai. Karena untuk memperoleh jabatan harus menyerahkan uang, maka si pejabat ketika ada proyek lantas meminta fee kepada vendor." Pernyataan ini menegaskan bahwa suap jabatan dan fee proyek bukanlah dua kasus terpisah, melainkan bagian dari satu sistem korupsi yang saling terkait dan memperparah.
Berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan keterangan saksi yang telah dikumpulkan, KPK akhirnya menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Bupati Sugiri Sancoko, tiga tersangka lainnya adalah Sekda Agus Pramono, Direktur RSUD dr. Harjono Yunus Mahatma, dan Sucipto, seorang pihak swasta yang berperan sebagai rekanan proyek. Keempatnya telah ditahan selama 20 hari pertama untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut. Penahanan ini merupakan langkah awal dalam upaya KPK untuk membongkar tuntas jaringan korupsi dan memastikan para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum.
Penetapan Sugiri Sancoko sebagai tersangka dan penahanan para pejabat tinggi Ponorogo ini mengirimkan pesan yang jelas mengenai komitmen KPK dalam memberantas korupsi, bahkan di tingkat kepala daerah. KPK menegaskan bahwa setelah penangkapan ini, akan ada upaya hukum lanjutan yang lebih mendalam, mengingat kasus ini mencerminkan adanya praktik korupsi struktural di pemerintahan daerah yang melibatkan jual beli jabatan dan pemerasan proyek. Modus operandi semacam ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan menghambat pembangunan daerah yang seharusnya berpihak kepada rakyat.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pejabat publik mengenai pentingnya integritas dan transparansi dalam menjalankan amanah. Masyarakat Ponorogo, yang selama ini mengenal Kang Giri sebagai sosok yang dekat dan rendah hati, kini dihadapkan pada realitas pahit bahwa citra publik tidak selalu sejalan dengan praktik di balik layar. Sosok yang selalu tampil akrab dengan masyarakat dan slogan "Oke frenn" yang menjadi ciri khasnya, kini harus menghadapi kenyataan pahit di balik tembok tahanan KPK, sebuah ujian besar dalam perjalanan karier politik dan kehidupannya. Proses hukum selanjutnya diharapkan dapat mengungkap seluruh kebenaran dan membawa keadilan bagi masyarakat yang telah dirugikan oleh praktik korupsi ini.
rakyatindependen.id





