Surakarta Berduka: Paku Buwono XIII Berpulang, Menutup Kisah Raja Penuh Liku dalam Dinasti Mataram Modern

Surakarta, Jawa Tengah – Sebuah era penting dalam sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat telah berakhir. Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII, raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang ke-13, mangkat pada Minggu Pon, 2 November 2025, dini hari. Beliau menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Indrayanti, Surakarta, setelah berjuang melawan sakit yang telah lama dideritanya. Kepergian Sinuhun PB XIII, begitu beliau akrab disapa, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar keraton, abdi dalem, serta seluruh masyarakat yang menaruh hormat pada sosok penjaga tradisi Jawa tersebut.
Kabar duka ini dikonfirmasi oleh salah satu adiknya, Gusti Kanjeng Ratu Koes Moertiyah Wandansari, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta. Menurutnya, kondisi kesehatan sang kakak memang sudah lama menunjukkan penurunan. "Terakhir, waktu prosesi Adang Dandang Kiai Duda dalam rangka Maulud Nabi di Tahun Dal, beliau sudah tampak sangat lemah. Namun karena itu tradisi penting delapan tahunan dalam siklus Windu, beliau tetap hadir dan berusaha menjalankan tugasnya," ujar GKR Koes Moertiyah, yang mengutarakan kesaksiannya pada Sabtu malam, 1 November, sebelum kabar resmi dirilis pada Minggu pagi. Kehadiran Sinuhun yang tampak lemah kala itu sudah menjadi pertanda bagi banyak pihak akan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk, namun dedikasinya pada adat dan tradisi tetap tak tergoyahkan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian waktu detail mengenai prosesi pemakaman. Namun, tradisi Keraton Surakarta secara turun-temurun mengisyaratkan bahwa jenazah para raja Mataram akan dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompleks pemakaman Imogiri merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi para raja dan keluarga inti dinasti Mataram Islam, sebuah simbol kesinambungan dan penghormatan terhadap leluhur. Diperkirakan, persiapan akan dilakukan dengan sangat hati-hati, melibatkan berbagai ritual adat dan tradisi Jawa yang sakral, mencerminkan kedudukan beliau sebagai seorang raja.
Sejak pagi hari Minggu, suasana di lingkungan Keraton Surakarta mulai terasa berbeda, diselimuti aura kesedihan yang mendalam. Sejumlah prajurit keraton dan abdi dalem mulai berdatangan, mengenakan busana adat lengkap, seperti beskap, jarit, blangkon, dan keris yang terselip di punggung. Mereka berkumpul di area Sasana Sewaka dan Kori Kamandungan, menunggu instruksi lebih lanjut. Sementara itu, masyarakat dari berbagai lapisan mulai berdiri di sekitar alun-alun utara, menantikan kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada raja mereka. "Benar, Sinuhun wafat. Saya mendapat dhawuh (perintah) untuk ke Keraton, tapi belum tahu kabar lebih lanjut mengenai persiapan pemakaman," ujar seorang abdi dalem yang enggan disebutkan namanya, dengan suara lirih yang mencerminkan kesedihan.
Dari Masa Kecil Sederhana hingga Sopir Pribadi Raja

Kisah hidup Paku Buwono XIII adalah sebuah perjalanan yang penuh liku, jauh dari bayangan kemewahan seorang bangsawan sejati. Lahir pada 28 Juni 1948, atau bertepatan dengan 21 Ruwah tahun Dal 1879 dalam penanggalan Jawa, beliau terlahir dengan nama Gusti Raden Mas Suryadi. Beliau adalah putra dari Paku Buwono XII dan KRAy Pradapaningrum. Nama ini kemudian diganti menjadi Suryo Partono oleh neneknya, GKR Pakoe Boewono, yang merupakan permaisuri dari Paku Buwono XI.
Masa kecil Suryo Partono di lingkungan keraton justru jauh dari kesan hidup mewah layaknya pangeran. Beliau tumbuh dalam kesederhanaan, sebuah kondisi yang mencerminkan realitas Keraton Surakarta pasca-kemerdekaan Indonesia, di mana hak-hak istimewa dan dukungan finansial kerajaan telah berkurang drastis. Dalam buku "Mas Behi, Angger-angger dan Perubahan Zaman" karya KP Eddy Wirabhumi, diceritakan bagaimana putra-putri Paku Buwono XII harus bersekolah dengan hanya mengenakan sandal karena keterbatasan ekonomi yang membuat mereka tak mampu membeli sepatu. "Sepatu? Memimpikannya saja kami tidak berani," tutur Paku Buwono XIII dalam salah satu kesaksian yang ditulis oleh Eddy, menggambarkan betapa sulitnya kehidupan mereka kala itu. Pengalaman ini membentuk karakternya menjadi pribadi yang mandiri, rendah hati, dan memahami betul arti perjuangan hidup.
Memasuki usia dewasa, Suryo Partono memilih untuk hidup mandiri, tidak menggantungkan diri pada status kebangsawanannya. Ia pernah bekerja sebagai sopir pribadi di Jakarta, sebuah pekerjaan yang menunjukkan kemauan kerasnya untuk mencari nafkah. Ironisnya, setelah kembali ke Surakarta, ia bahkan pernah menjadi ajudan sekaligus sopir bagi ayahandanya sendiri, Paku Buwono XII. Peran ini adalah bentuk pengabdian yang luar biasa, menunjukkan rasa hormat dan baktinya kepada sang ayah, meskipun dalam posisi yang secara hierarki lebih rendah dari statusnya sebagai putra mahkota.
"Kalau Sinuhun makan di restoran, saya makan di mobil. Kadang saya mengutip uang bensin untuk kebutuhan keluarga," kenangnya suatu kali, sebuah pengakuan yang mengharukan dan menunjukkan betapa ia harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan dengan cara-cara yang tak terduga bagi seorang putra raja. Meski demikian, ia tidak pernah kehilangan semangat untuk berinteraksi dengan masyarakat. Suryo Partono aktif di komunitas radio amatir ORARI Surakarta, di mana ia bersahabat dengan tokoh masyarakat seperti Sumartono Hadinoto. Jiwa sosialnya sangat terlihat ketika banjir besar melanda Solo. Bersama Sumartono, ia berkeliling membagikan lampu petromaks kepada warga pengungsi, memberikan bantuan nyata di tengah kesulitan, tanpa memandang status sosialnya.
Dari Pelatihan Migas hingga Penyelamat Pusaka Keraton
Keterampilan dan pengetahuannya tidak hanya terbatas pada dunia sosial. Suryo Partono juga sempat mengikuti pelatihan kerja di PT Caltex di Rumbai, Riau, sebuah pengalaman yang memberinya pemahaman tentang teknik dan keselamatan industri, khususnya di sektor migas. Pengetahuan ini, yang mungkin dianggap tak lazim bagi seorang bangsawan, ternyata terbukti sangat berguna di kemudian hari.
Pada Januari 1985, musibah besar menimpa Keraton Surakarta. Api melalap beberapa bagian bangunan keraton, menyebabkan kerusakan parah. Berkat keahlian yang diperolehnya dari pelatihan Caltex, Suryo Partono berhasil menghambat kobaran api di Bangsal Prabasuyasa, salah satu bagian paling sakral di keraton yang menyimpan berbagai pusaka penting kerajaan. Tindakan heroiknya ini berhasil menyelamatkan sejumlah pusaka tak ternilai dari kehancuran. Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menyelamatkan warisan budaya dan sejarah keraton, Paku Buwono XII menganugerahinya Bintang Sri Kabadya Tingkat I, sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan di lingkungan Keraton Surakarta. Ini adalah pengakuan resmi atas keberanian, kecakapan, dan pengabdiannya yang tulus.
Naik Takhta di Tengah Badai Dualisme
Perjalanan Suryo Partono menuju takhta kerajaan tidaklah mulus, melainkan diwarnai badai dan konflik internal yang panjang. Pada 10 September 2004, atau bertepatan dengan 25 Rejeb 1937 dalam penanggalan Jawa, KGPH Hangabehi – gelar yang diberikan kepada putra sulung raja Mataram yang dipersiapkan menjadi penerus – resmi dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII. Namun, penobatan ini diiringi dengan dinamika internal yang rumit. Salah satu saudaranya, KGPH Tedjo Wulan, juga menobatkan diri sebagai raja, menciptakan dualisme yang dikenal sebagai "PB XIII kembar". Konflik ini memecah belah keluarga besar keraton dan menjadi sorotan publik, mencoreng citra persatuan Mataram.
Konflik dualisme ini sempat mereda setelah beberapa waktu, namun kembali mencuat pada tahun 2017. Kala itu, Sinuhun PB XIII mengambil keputusan drastis dengan menutup akses adik-adiknya ke Keraton selama tiga tahun, sebuah tindakan yang memicu kembali ketegangan dan memperlihatkan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya. Situasi ini menciptakan gejolak internal yang berkepanjangan dan menimbulkan keprihatinan banyak pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat Jawa yang mendambakan kedamaian di pusat kebudayaan mereka.
Ketegangan mulai mencair setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 1950/2020. Putusan ini menjadi dasar bagi proses rekonsiliasi yang kemudian memungkinkan seluruh anggota keluarga besar Paku Buwono XII untuk kembali bersatu dan membangun Keraton bersama. "Putusan ini membawa pencerahan. Ini bukan soal kalah atau menang, melainkan bagaimana seluruh anak cucu PB XII bisa kembali bersatu membangun Keraton," kata Eddy Wirabhumi, Ketua Bidang Hukum Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta. Pernyataan ini menegaskan bahwa rekonsiliasi bukan tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang menjaga keberlangsungan dan kehormatan institusi keraton sebagai pusat budaya dan tradisi Jawa.
Warisan Seorang Raja dan Penjaga Tradisi
Sepanjang masa pemerintahannya, Paku Buwono XIII dikenal sebagai sosok yang tekun menjaga tradisi di tengah arus perubahan zaman yang begitu cepat. Meskipun hidup dalam kesederhanaan dan menghadapi berbagai cobaan, baik pribadi maupun institusional, ia tetap menempatkan kehormatan Keraton sebagai panggilan hidupnya. Ia adalah simbol ketahanan dan dedikasi terhadap nilai-nilai luhur Jawa, berupaya keras melestarikan adat istiadat dan ritual yang telah diwariskan oleh leluhurnya selama berabad-abad.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2339320/original/077314100_1535079342-demo_kraton_solo.jpg)
Kepergiannya kini meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar Keraton Surakarta dan seluruh masyarakat yang selama ini memandangnya sebagai simbol keluhuran budaya Jawa. Sosoknya yang sederhana namun penuh martabat, perjuangannya yang gigih dalam menghadapi dualisme, serta komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap tradisi, akan selalu dikenang. Paku Buwono XIII telah menorehkan babak penting dalam sejarah Dinasti Mataram Modern, menjadi jembatan antara masa lalu yang agung dan masa kini yang penuh tantangan. Dengan berpulangnya beliau, Keraton Surakarta kini menatap masa depan dengan harapan akan persatuan dan kesinambungan, meneruskan warisan budaya yang tak ternilai harganya.
rakyatindependen.id



