Tak Dapat Solusi, Ratusan PKL Tuban Nekat Akan Berjualan Kembali di Alun-Alun

Dalam demonstrasi yang berlangsung intens tersebut, para PKL tidak hanya membawa spanduk dan poster tuntutan, namun juga gerobak dagangan mereka sebagai simbol kekecewaan dan kondisi ekonomi yang memburuk. Pemandangan puluhan gerobak kosong yang berjejer di depan kantor Pemkab menjadi penanda jelas betapa seriusnya masalah yang mereka hadapi. Relokasi yang dilakukan sebagai bagian dari proyek penataan Alun-Alun Tuban ini, alih-alih memberikan kenyamanan dan peningkatan ekonomi, justru menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar pedagang kecil tersebut.
Menurut Ketua PMII Tuban, Ahmad Wafa Amrillah, para PKL telah merasakan dampak negatif dari kebijakan relokasi ini selama kurang lebih sepuluh bulan sejak pembangunan Alun-Alun Tuban rampung. Mereka dilarang berjualan di lokasi strategis tersebut dan dipaksa pindah ke Pantai Boom. "Selama 10 bulan ini, para PKL merasa ditelantarkan dan tidak ada solusi nyata dari Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky. Dagangan mereka tidak laku, penghasilan anjlok, bahkan banyak yang terpaksa gulung tikar. Maka tuntutan kami bersama PKL ini jelas, pengen kembali berjualan di Alun-Alun Tuban," tegas Wafa dengan nada prihatin.
Wafa juga menambahkan bahwa perwakilan Bupati Tuban yang diminta menemui massa aksi tidak memberikan jawaban yang memuaskan atau solusi konkret yang bisa meredakan keresahan para pedagang. "Jadi Bupati Tuban ini pengennya Alun-Alun Tuban tetap steril dari para PKL, tanpa memikirkan nasib ekonomi mereka yang terpuruk," imbuhnya, menyiratkan adanya tembok komunikasi yang sulit ditembus antara pemerintah dan rakyatnya. Ketiadaan dialog yang konstruktif dan janji-janji yang tak kunjung terealisasi memperparah situasi dan memicu keputusan nekat para pedagang.
Melihat kebuntuan ini, Wafa menyatakan PMII Tuban akan sepenuhnya mengawal para PKL yang berencana kembali berjualan di Alun-Alun Tuban pada akhir pekan. Ia berharap dengan dukungan mahasiswa, para pedagang ini dapat kembali mencari nafkah di tempat yang selama ini menjadi denyut nadi ekonomi mereka. Langkah ini berpotensi memicu konfrontasi dengan pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang bertugas menjaga ketertiban dan menegakkan aturan daerah.
Salah satu potret nyata dari penderitaan para pedagang adalah kisah Misri (48), seorang pedagang siwalan asal Panyuran, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, Misri menceritakan kesulitan hidup yang ia alami. "Saya sudah gak jualan beberapa bulan, bahkan saya ngasong saja gak dibolehkan sama Satpol PP. Di Pantai Boom sepi, tidak ada pembeli. Padahal ini satu-satunya mata pencaharian saya untuk menghidupi keluarga," ungkap Misri, menggambarkan keputusasaan yang mendalam. Kisahnya mewakili ratusan PKL lain yang kini harus berjuang keras di tengah himpitan ekonomi dan kebijakan relokasi yang dianggap tidak berpihak.
Relokasi PKL dari Alun-Alun Tuban ke Pantai Boom sendiri merupakan bagian dari upaya Pemkab Tuban untuk menata kawasan kota, khususnya area Alun-Alun yang dianggap sebagai ikon dan pusat kegiatan masyarakat serta tujuan wisata religi. Alun-Alun yang telah direvitalisasi diharapkan menjadi lebih tertata, bersih, dan menarik bagi pengunjung serta peziarah yang datang ke Tuban. Namun, di balik visi penataan kota yang estetis, tersimpan persoalan serius mengenai nasib ekonomi para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Tuban, Drs. Agus Wijaya, M.AP, menanggapi tuntutan PKL dengan menjelaskan bahwa kewenangan penuh untuk memutuskan nasib PKL ini berada di tangan Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky. "Sebetulnya kami menyadari tuntutan dari para PKL, namun demikian kami terbentur dengan penataan lokasi, dimana penataan lokasi di Boom mereka belum siap," tutur Agus Wijaya, mencoba menjelaskan sudut pandang pemerintah. Pernyataan ini menyiratkan bahwa Pemkab mengakui adanya masalah di Pantai Boom, namun belum ada langkah konkret untuk menyelesaikannya.
Agus juga menyarankan agar PKL tidak kembali berdagang di Alun-Alun Tuban. Ia menekankan bahwa penataan Alun-Alun yang sekarang sudah mendapat apresiasi luas dari masyarakat Tuban serta khususnya para peziarah yang berkunjung. "Intinya jangan kembali lah Alun-Alun sudah kita jaga sedemikian rupa, semua sudah nyaman dengan kondisi ini, karena kalau Alun-Alun diisi dengan PKL, saya yakin kondisi akan semrawut tidak tertata dengan baik," pungkasnya, menggarisbawahi kekhawatiran pemerintah terhadap potensi kekacauan dan kemunduran estetika Alun-Alun jika PKL kembali.
Kondisi "belum siap" di Pantai Boom yang disebutkan oleh Agus Wijaya menjadi titik krusial. Para PKL mengeluhkan fasilitas yang kurang memadai, aksesibilitas yang sulit, minimnya promosi, serta lokasi yang jauh dari keramaian pusat kota atau jalur peziarah. Berbeda dengan Alun-Alun yang merupakan titik kumpul alami dan memiliki daya tarik sendiri, Pantai Boom membutuhkan strategi promosi dan infrastruktur yang jauh lebih matang untuk bisa menarik pengunjung dan menghidupkan kembali denyut ekonomi para PKL. Tanpa adanya upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah fundamental ini, relokasi hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Kisah PKL Tuban ini bukan hanya sekadar konflik lokal, melainkan cerminan dari dilema pembangunan kota di banyak daerah di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menata kota agar lebih modern, bersih, dan menarik investasi serta pariwisata. Di sisi lain, mereka juga harus menjamin keberlangsungan hidup sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi sebagian besar masyarakat. Keseimbangan antara pembangunan fisik dan keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan menjadi tantangan besar yang harus dihadapi.
Keputusan para PKL untuk "nekat" kembali berjualan di Alun-Alun Tuban pada akhir pekan ini menjadi pertaruhan besar. Ini adalah upaya terakhir mereka untuk mempertahankan hidup dan menyuarakan tuntutan yang selama ini diabaikan. Potensi gesekan dengan aparat keamanan tidak dapat dihindari, mengingat Pemkab telah secara tegas melarang aktivitas perdagangan di area tersebut. Tuban kini berada di persimpangan jalan, di mana visi pembangunan kota akan diuji oleh desakan realitas ekonomi dan keadilan sosial. Bagaimana Pemkab Tuban akan merespons aksi ini, dan apakah akan ada solusi jangka panjang yang memihak kepada semua pihak, masih menjadi pertanyaan besar yang menggantung di udara. Masyarakat Tuban dan seluruh pihak terkait akan menanti dengan cemas perkembangan situasi pada hari Sabtu dan Minggu mendatang.
rakyatindependen.id