Tragedi Jenggawah: Anak Kandung Tewaskan Ibu Akibat Tersinggung dan Konsumsi Pil Antidepresan

Kabupaten Jember, Jawa Timur, diselimuti duka mendalam setelah sebuah insiden tragis mengguncang ketenangan Desa Kertonegoro, Kecamatan Jenggawah. Seorang pria berusia 35 tahun, IG, tega menganiaya ibu kandungnya sendiri, Susanti (60), hingga meninggal dunia. Peristiwa memilukan yang terjadi pada malam 4 November 2025 itu kini meninggalkan pertanyaan besar tentang kompleksitas hubungan keluarga, tekanan hidup, dan potensi dampak kesehatan mental yang terabaikan. IG, yang kini mendekam di sel tahanan Polres Jember, mengakui perbuatannya dipicu oleh rasa tersinggung atas perkataan sang ibu, diperparah oleh konsumsi pil antidepresan dalam jumlah besar.
Kasus ini mencuat ke permukaan setelah Kepolisian Resor Jember melakukan investigasi awal. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jember, Ajun Komisaris Angga Riatma, dalam keterangannya pada Kamis (6/11/2025), menjelaskan bahwa motif utama di balik tindakan brutal tersebut adalah rasa tersinggung. "Motifnya karena tersinggung terhadap perkataan sang ibu," terang Angga, menggarisbawahi betapa sebuah ucapan bisa memicu reaksi fatal dalam kondisi tertentu. Namun, penyelidikan tidak berhenti pada motif semata. Polisi kini tengah mendalami kondisi kejiwaan pelaku, sebuah langkah krusial untuk memahami faktor-faktor pendorong di balik kekerasan yang tak terduga ini.
Lebih lanjut, Angga mengungkapkan sebuah detail penting yang mungkin menjadi kunci dalam kasus ini: pengakuan IG bahwa ia mengonsumsi pil antidepresan, yang secara spesifik disebutnya sebagai "antimonium" (kemungkinan besar merujuk pada jenis obat penenang atau antidepresan tertentu, mengingat "antimonium" adalah elemen kimia), dalam jumlah yang sangat besar sebelum kejadian. "Namun pada saat kejadian, kami mendapat pengakuan dari pelaku, bahwa dia mengonsumsi pil antidepresan, lebih spesifiknya antimonium, dalam jumlah yang besar," kata Angga. IG sendiri mengaku merasa lebih tenang setelah bangun dari tidur usai mengonsumsi pil tersebut, namun ironisnya, ia juga merasa menjadi sangat sensitif. Sensitivitas yang meningkat ini, ditambah dengan beban emosional yang sudah ada, disinyalir menjadi katalisator bagi pecahnya kemarahan yang berujung maut.
Kisah hidup IG sebelum tragedi ini menggambarkan potret seorang pria yang tengah berjuang dengan berbagai masalah pribadi. Setelah perceraian dengan istrinya, IG kembali tinggal bersama sang ibu, Susanti. Statusnya sebagai pengangguran menjadikannya sangat bergantung pada ibunya. Setiap kebutuhan, termasuk makan sehari-hari, selalu ia minta dari Susanti. Sebuah kondisi yang, dalam jangka panjang, tentu membebani sang ibu baik secara finansial maupun emosional. Susanti, yang mungkin sudah penat dengan situasi tersebut, pada hari nahas itu melontarkan kalimat yang memicu amarah IG. "Mungkin pada hari itu ibunya sedang capek, menyampaikan, ‘Kamu ini kerja tidak, kok minta-minta kayak gini terus?’," tutur Angga, mencoba merekonstruksi percakapan terakhir antara ibu dan anak itu.
Kalimat yang sebenarnya merupakan ekspresi kejengkelan dan harapan seorang ibu agar anaknya mandiri, justru ditafsirkan sebagai penghinaan oleh IG yang sedang berada dalam kondisi sensitif dan di bawah pengaruh obat. Kemarahan yang tak terkendali seketika menyelimuti IG. Dalam sekejap, ia meraih sebuah besi alat pemanas vulkanisir tambal ban yang ada di dekatnya. Benda yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki ban, seketika berubah menjadi senjata mematikan. Tanpa berpikir panjang, IG memukulkan besi itu ke kepala ibunya, Susanti. Pukulan fatal itu merenggut nyawa Susanti di tempat kejadian, meninggalkan duka yang tak terperikan.

Kematian Susanti terjadi di tengah suasana yang ironis. Pada malam itu, dua saudara Susanti, Suyitman dan Kaspun, sedang berkumpul di rumah untuk acara tahlilan tujuh hari kematian kakek mereka. Suasana duka yang seharusnya khusyuk, tiba-tiba berubah menjadi mencekam ketika mereka menyadari apa yang telah terjadi. Dengan sigap, Suyitman dan Kaspun berusaha menolong Susanti dan mengamankan IG. Namun, IG yang masih dikuasai amarah dan mungkin di bawah pengaruh obat, justru mengejar kedua saudaranya itu. Situasi semakin kacau balau, membuat mereka terpaksa menyelamatkan diri dan meminta bantuan. IG baru bisa diamankan setelah aparat kepolisian dari Polres Jember tiba di lokasi kejadian dan berhasil menguasai situasi.
Insiden ini bukan hanya sekadar kasus pembunuhan biasa, melainkan tragedi keluarga yang kompleks dengan banyak lapisan. Penyelidikan mendalam terhadap kondisi kejiwaan IG menjadi sangat penting. Pemeriksaan oleh psikiater akan menentukan apakah ada gangguan mental yang mendasari perilakunya, atau apakah konsumsi pil antidepresan dalam dosis tinggi memang memiliki efek samping yang signifikan terhadap kontrol emosi dan persepsi realitasnya. Hasil tes toksikologi juga akan mengkonfirmasi jenis dan kadar zat yang ada dalam tubuh IG saat kejadian, yang dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi psikologisnya. Jika terbukti bahwa IG menderita gangguan jiwa berat, proses hukum yang dihadapinya mungkin akan berbeda, dengan penekanan pada rehabilitasi kejiwaan ketimbang hukuman pidana murni. Namun, jika ia terbukti sadar sepenuhnya dan tindakannya murni karena amarah, ia akan menghadapi jerat hukum yang berat, termasuk ancaman pidana penjara puluhan tahun atas pasal pembunuhan.
Kejadian ini juga menyoroti isu-isu sosial yang lebih luas. Tingginya angka perceraian, kesulitan mencari pekerjaan, dan tekanan ekonomi dapat memicu stres berkepanjangan yang berujung pada masalah kesehatan mental. Ketergantungan seorang anak dewasa pada orang tua, apalagi tanpa kontribusi berarti, bisa menciptakan ketegangan yang menumpuk. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental, serta stigma yang melekat padanya, seringkali membuat individu seperti IG tidak mendapatkan penanganan yang tepat sebelum masalah memuncak menjadi tragedi. Kasus Susanti dan IG adalah pengingat pahit akan pentingnya sistem pendukung keluarga yang kuat, akses terhadap layanan kesehatan mental, dan kesadaran akan tanda-tanda peringatan dini pada individu yang rentan.
Masyarakat Desa Kertonegoro kini berduka. Kehilangan Susanti, seorang ibu yang selama ini berjuang menghidupi anaknya, menyisakan kepedihan yang mendalam. Tetangga dan kerabat tak menyangka bahwa IG, yang mereka kenal sebagai anak Susanti, bisa melakukan perbuatan sekeji itu. Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang kerapuhan jiwa manusia di bawah tekanan dan bagaimana sebuah kata yang mungkin tak bermaksud jahat bisa berujung pada malapetaka. Kasus ini akan terus bergulir di meja hijau, dengan harapan keadilan dapat ditegakkan bagi almarhumah Susanti, dan pelajaran berharga dapat dipetik untuk mencegah tragedi serupa terulang di masa depan.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id





