Nasional

Tragedi Pilu Al Khoziny: 53 Nyawa Melayang, Identitas 43 Korban Masih Misteri dalam Reruntuhan Sidoarjo

Sidoarjo berduka mendalam. Lembaga Pesantren Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, kini menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan setelah bangunan tiga lantainya ambruk menimpa puluhan penghuninya. Hingga dini hari ini, Senin (6/10/2025), upaya pencarian dan evakuasi oleh Tim SAR gabungan terus dilakukan tanpa henti, menyisir setiap jengkal puing dan beton yang menimbun harapan. Angka korban meninggal dunia telah mencapai 53 jiwa, sebuah jumlah yang mengiris hati, sementara identitas 43 di antaranya masih menjadi misteri yang memilukan, menambah daftar panjang keluarga yang menanti kabar dengan cemas.

Total 157 orang dilaporkan berada di dalam bangunan nahas tersebut saat kejadian. Dari jumlah tersebut, 104 orang berhasil diselamatkan, banyak di antaranya menderita luka-luka serius dan trauma mendalam. Namun, 53 korban lainnya ditemukan tak bernyawa, terjebak di antara tumpukan material berat yang kini menjadi kuburan massal dadakan. Proses identifikasi menjadi tantangan besar bagi tim Disaster Victim Identification (DVI) yang bekerja keras di RS Bhayangkara Polda Jatim. Sepanjang hari Minggu (5/10/2025), tim DVI baru berhasil mengidentifikasi dua korban tambahan, menjadikan total korban teridentifikasi menjadi 10 orang, menyisakan 43 jenazah yang masih belum diketahui siapa mereka.

Kedua korban yang berhasil diidentifikasi pada hari Minggu tersebut membawa sedikit kelegaan bagi keluarga yang menunggu, namun sekaligus memperpanjang kegelisahan bagi puluhan keluarga lainnya. Jenazah pertama, dengan nomor PM RSB B-811, teridentifikasi sebagai Nuruddin, seorang santri berusia 13 tahun asal Karanggayam Blega, Bangkalan. Identifikasi Nuruddin dilakukan melalui kombinasi data gigi, pemeriksaan medis post-mortem, dan barang-barang kepemilikan yang ditemukan pada jenazah. Proses serupa juga diterapkan pada jenazah kedua, dengan nomor YM RSB B-21, yang cocok dengan data ante-mortem AM 633 dan teridentifikasi sebagai Ahmad Rijalul Haq, seorang remaja berusia 16 tahun, warga Jalan Dakuan Baru 2 No 58 Surabaya. Keberhasilan identifikasi ini menyoroti pentingnya data ante-mortem (data sebelum kematian) yang dikumpulkan dari keluarga korban untuk mempercepat proses identifikasi yang sangat sensitif ini. Keluarga korban yang belum teridentifikasi diimbau untuk segera melapor dan menyerahkan data-data seperti rekam medis gigi, sidik jari, atau barang pribadi yang dapat membantu proses pencocokan.

Kasubdit Pengerahan dan Pengendalian Operasi Basarnas, Emi Freezer, menjelaskan bahwa proses pencarian dan evakuasi korban dari balik puing-puing bangunan dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan. "Setiap puing kami angkat satu per satu, memotong rangka-rangka beton, besi dengan sangat hati-hati, baru kemudian bisa mengevakuasi korban," terangnya, menggambarkan betapa rumit dan berisikonya operasi penyelamatan ini. Bangunan tiga lantai yang runtuh meninggalkan tumpukan material beton dan besi yang sangat berat, menjebak korban di bawahnya. Tim SAR harus menggunakan alat berat seperti ekskavator dan crane, namun penggunaannya harus dilakukan dengan presisi tinggi agar tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut atau membahayakan korban yang mungkin masih terjebak hidup. Selain itu, alat potong hidrolik (jaws of life) dan bor beton khusus juga menjadi instrumen vital dalam membebaskan korban dari himpitan material.

Medan yang sulit, kondisi reruntuhan yang tidak stabil, serta faktor cuaca yang tidak menentu menambah kompleksitas operasi. Debu tebal, bau amis yang menyengat, dan risiko ambruk susulan menjadi ancaman nyata bagi para petugas di lapangan. Tim Basarnas bekerja bahu-membahu dengan personel TNI, Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), serta ratusan relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan. Mereka bekerja dalam shift yang panjang, terkadang tanpa istirahat memadai, didorong oleh satu tujuan: menemukan setiap korban, baik hidup maupun meninggal dunia, dan membawa mereka keluar dari reruntuhan. Anjing pelacak (K9 unit) juga dikerahkan untuk membantu mendeteksi keberadaan korban di bawah timbunan puing, menambah efektivitas pencarian di area yang luas dan sulit dijangkau.

Tragedi Pilu Al Khoziny: 53 Nyawa Melayang, Identitas 43 Korban Masih Misteri dalam Reruntuhan Sidoarjo

Tragedi ini telah mengguncang tidak hanya masyarakat Sidoarjo, tetapi juga seluruh negeri. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan agama yang menjadi tulang punggung pembentukan karakter bangsa, kerap menjadi rumah kedua bagi ribuan santri dari berbagai pelosok. Insiden ini membuka kembali diskusi mengenai standar keselamatan dan kelayakan bangunan, khususnya di institusi pendidikan yang menampung banyak orang. Pertanyaan-pertanyaan tentang usia bangunan, kualitas konstruksi, dan apakah ada pemeriksaan rutin terhadap kondisi strukturalnya, mulai mengemuka di tengah duka. Pemerintah daerah dan pihak terkait diharapkan segera membentuk tim investigasi independen untuk mengungkap penyebab pasti runtuhnya bangunan ini, demi mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang.

Di RS Bhayangkara, suasana haru dan ketegangan tak terhindarkan. Keluarga korban terus berdatangan, membawa foto-foto kerabat mereka yang hilang, berharap ada keajaiban. Posko ante-mortem yang didirikan di rumah sakit ini menjadi titik tumpu bagi keluarga untuk menyerahkan data-data penting, seperti rekam gigi, sidik jari, atau sampel DNA, yang sangat krusial dalam proses identifikasi. Petugas DVI, yang terdiri dari dokter forensik, dokter gigi forensik, ahli antropologi forensik, dan penyidik kepolisian, bekerja tanpa lelah membandingkan data post-mortem dari jenazah dengan data ante-mortem yang terkumpul. Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran ekstra, mengingat kondisi beberapa jenazah yang mungkin sulit dikenali secara visual akibat benturan material berat.

Duka mendalam juga terasa di lingkungan pesantren Al Khoziny. Para santri yang selamat, meskipun bersyukur atas nyawa mereka, kini dihantui trauma dan kehilangan teman-teman serta guru mereka. Psikolog dan tim dukungan psikososial telah diterjunkan untuk memberikan pendampingan kepada para penyintas, membantu mereka mengatasi syok dan kesedihan yang mendalam. Mereka juga membantu keluarga korban dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Komunitas pesantren, yang biasanya identik dengan ketenangan dan pembelajaran, kini diselimuti kabut kesedihan dan kebingungan tentang masa depan. Solidaritas mengalir dari berbagai pihak, mulai dari sumbangan kebutuhan pokok, dukungan moril, hingga bantuan tenaga untuk proses evakuasi.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah menyatakan komitmen penuh untuk memberikan bantuan maksimal kepada korban dan keluarga. Bantuan medis, logistik, hingga santunan duka cita telah disiapkan. Namun, lebih dari sekadar bantuan materi, yang dibutuhkan saat ini adalah kepastian identitas bagi 43 korban yang masih tak bernama, agar mereka dapat dimakamkan secara layak dan keluarga dapat menemukan penutupan. Proses evakuasi diperkirakan masih akan memakan waktu, mengingat skala kehancuran dan kehati-hatian yang harus diterapkan. Setiap detik adalah perjuangan, setiap puing adalah harapan, dan setiap doa adalah penguat bagi tim SAR dan keluarga yang berduka. Tragedi ini akan menjadi pengingat pahit akan pentingnya keselamatan dan perhatian terhadap infrastruktur, terutama di tempat-tempat yang menjadi harapan masa depan bangsa.

(rakyatindependen.id)

Tragedi Pilu Al Khoziny: 53 Nyawa Melayang, Identitas 43 Korban Masih Misteri dalam Reruntuhan Sidoarjo

Related Articles