Warga Jember Gugat PTPN I Regional 5 Soal Lahan di Desa Petung, Sengketa Warisan Kolonial Mencuat

Polemik kepemilikan lahan kembali menghangat di Kabupaten Jember, Jawa Timur, setelah sejumlah warga Desa Petung, Kecamatan Bangsalsari, menggugat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 5 atas penguasaan lahan seluas 104.661 meter persegi. Sengketa ini berakar dari klaim hak waris atas tanah yang dulunya dikuasai perusahaan perkebunan Belanda pada masa kolonial.
Warga yang mengklaim sebagai ahli waris Karim Sadin mempersoalkan hak pakai dan hak guna bangunan (HGB) yang dikantongi PTPN I Regional 5 atas lima bidang tanah strategis di Desa Petung. Kelima bidang tanah tersebut meliputi RV. Eigendom 571 seluas 6.326 meter persegi, RV. Eigendom 2738 seluas 13.152 meter persegi, RV. Eigendom 2703 seluas 41.844 meter persegi, RV. Eigendom 2704 seluas 31.529 meter persegi, dan RV. Eigendom 2739 seluas 11.810 meter persegi.
Purnadi Langgeng Utomo, selaku pendamping ahli waris Karim Sadin, menjelaskan bahwa pada masa penjajahan Belanda, lahan tersebut disewa oleh N.V. Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD), sebuah perusahaan perkebunan yang bergerak di bidang tanaman tembakau. Setelah masa sewa berakhir, lahan tersebut tidak dikembalikan kepada pemilik semula, melainkan tetap dikuasai oleh perusahaan tersebut. "Karena masyarakat penakut, tidak berani menuntut, akhirnya berlanjut hingga sekarang," ujarnya.
Menurut Purnadi, ahli waris Karim Sadin memiliki bukti kepemilikan berupa petok (surat keterangan kepemilikan tanah) yang menunjukkan peralihan hak dari perusahaan Belanda kepada Karim Sadin pada tahun 1943. Namun, saat PTPN mengambil alih pengelolaan lahan, bukti kepemilikan tersebut tidak tercatat dalam letter C desa (register tanah desa). "Tapi karena pada waktu dikelola oleh PTPN akhirnya tidak masuk ke letter C desa," kata Purnadi.
Pada tahun 2007, warga berinisiatif untuk mengurus sertifikat hak milik atas lahan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebagai langkah awal, mereka mengajukan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). "Meski itu bukan (bukti) hak, tapi kan bukti bahwa kita mendapat jawaban dari BPN," jelas Purnadi.
Pihak BPN, lanjut Purnadi, mengakui nama Karim Sadin sebagai pihak terakhir yang tercatat dalam proses peralihan hak atas lahan tersebut. "Kalau BPN sudah menulis, sudah barang tentu itu ada dasarnya," tegasnya.
Purnadi juga mempertanyakan dasar kepemilikan PTPN I Regional 5 atas lahan yang dipersoalkan oleh ahli waris Karim Sadin. "Ada gak petoknya? Jangan-jangan hanya mengarang saja, ternyata petoknya enggak ada," sindirnya.
Menanggapi klaim warga, Ahmad Suryono, kuasa hukum PTPN I Regional 5, menegaskan bahwa kliennya memiliki dasar hukum yang sah untuk menguasai hak pakai dan hak guna bangunan atas lima bidang tanah di Desa Petung tersebut. Menurutnya, aset tersebut merupakan hasil nasionalisasi dari N.V. Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) yang kemudian bertransformasi menjadi PTPN X. Secara historis, PTPN X telah menguasai tanah tersebut secara terus-menerus sejak sebelum proses nasionalisasi.
"Kami punya basis formil kepemilikan. Artinya seluruh objek yang mereka klaim, sejak beralih ke hak pakai dan HGB pada 2007, alurnya sudah jelas," kata Suryono, yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.
Suryono menjelaskan bahwa PTPN I Regional 5 mengantongi lima sertifikat hak pakai sejak Juli 2007 yang berlaku selama 25 tahun. Pihaknya mempersilakan warga yang merasa memiliki hak untuk memperjuangkannya melalui jalur hukum. "Kami mempersilakan, kalau warga masyarakat yang merasa memiliki hak memperjuangkan lewat jalur hukum," tantangnya.
Namun, warga memilih untuk membawa persoalan ini ke Komisi A DPRD Kabupaten Jember. Ketua Komisi A, Budi Wicaksono, mengungkapkan bahwa rapat dengar pendapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan apapun. "Perwakilan BPN dan pemerintah desa tidak hadir. Insyaallah minggu-minggu depan kami akan melakukan mediasi," janjinya.
Suryono menghormati pilihan warga untuk mengadukan persoalan ini ke parlemen dan pengadilan. "Cuma bagi kami, kalaupun memang itu adalah milik masyarakat, kami tidak serta-merta akan menyerahkan. Kalau negara membatalkan (hak pakai) atau merilis itu, kami serahkan ke negara. Baru kemudian terserah negara mau ngapain," tegasnya.
Suryono mengingatkan bahwa aset PTPN I Regional 5 adalah aset negara yang harus dipertanggungjawabkan. "Kami diserahi lima sertifikat hak pakai yang semuanya milik negara dan kami harus bertanggung jawab untuk negara. Kalau serta-merta kita berikan kepada masyarakat hari ini, ini jadi problem," jelasnya.
Sebagai solusi, Suryono menyarankan kepada warga untuk menyurati Menteri Keuangan untuk meminta hak pengelolaan atas lahan tersebut. "Ini kan tanah negara, kita diberi hak pakai. Seandainya negara berpendapat, ‘Oh, PTP enggak usah dikasih hak pakai’, itu terserah negara. Kami tidak memiliki hak untuk itu," katanya.
Tri Suprapto, kuasa hukum PTPN I Regional 5 lainnya, menambahkan bahwa RV. Eigendom (RVE) adalah tanah yang semula dikuasai Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi aset milik perkebunan negara. "Setahu dan sepengalaman saya, tanah-tanah RVE tidak tercantum dalam buku krawangan desa atau letter C desa," ungkapnya.
Menurut Tri, tanda tangan kepala desa diperlukan dalam proses pengajuan sertifikat lahan RVE untuk memberikan keterangan bahwa tanah tersebut tidak tercantum dalam buku krawangan desa, baik sebagai tanah kas desa maupun tanah yayasan desa. "Jadi surat tanda tangan kepala desa itu sifatnya wajib. BPN tidak akan berani menerbitkan sertifikat jika tidak ada tanda tangan kepala desa," tegasnya.
Sengketa lahan antara warga Desa Petung dan PTPN I Regional 5 ini mencerminkan kompleksitas permasalahan agraria di Indonesia, khususnya terkait dengan warisan kolonial dan proses nasionalisasi aset perusahaan asing. Di satu sisi, warga mengklaim hak waris atas tanah yang dulunya dikuasai oleh perusahaan Belanda, sementara di sisi lain, PTPN berpegang pada sertifikat hak pakai dan HGB yang diterbitkan oleh negara.
Penyelesaian sengketa ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan, dengan mempertimbangkan aspek historis, yuridis, dan sosial. Pemerintah daerah dan BPN perlu berperan aktif dalam memediasi kedua belah pihak dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Jika mediasi tidak berhasil, jalur hukum menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan sengketa ini.
Kasus ini juga menjadi momentum untuk meninjau kembali kebijakan agraria di Indonesia, khususnya terkait dengan pengelolaan lahan bekas perkebunan asing. Pemerintah perlu memastikan bahwa pengelolaan lahan tersebut memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat setempat dan negara. Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat proses sertifikasi tanah untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan mencegah terjadinya sengketa lahan di kemudian hari.
Sengketa lahan di Desa Petung ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara. PTPN sebagai perusahaan negara harus mampu menunjukkan dasar hukum yang sah atas penguasaan lahan yang dikelolanya. Selain itu, PTPN juga perlu melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan lahan tersebut, sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan.
Penyelesaian sengketa lahan ini tidak hanya penting bagi warga Desa Petung dan PTPN I Regional 5, tetapi juga bagi terciptanya iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Jember. Kepastian hukum atas kepemilikan lahan akan menarik minat investor untuk berinvestasi di sektor pertanian dan perkebunan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah.