Ancaman Tersembunyi di Balik Jernihnya Air Malang: Mikroplastik Mengintai Kesehatan Masyarakat

Penelitian mendalam yang dilakukan oleh Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) telah mengungkap fakta mengejutkan mengenai kualitas air di wilayah Malang, yaitu paparan mikroplastik yang serius dan meluas. Dari dua belas sampel air yang diambil dan diuji secara cermat, sebelas di antaranya secara konklusif terbukti mengandung partikel mikroplastik, dengan konsentrasi yang bervariasi antara satu hingga tujuh partikel per sampel. Temuan ini bukan hanya sekadar data statistik; ini adalah alarm keras yang memperingatkan potensi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem lokal.
Sampel-sampel yang menjadi objek penelitian diambil dari berbagai sumber vital yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ini mencakup air tanah yang seringkali dianggap sebagai sumber paling murni, air permukaan seperti sungai atau danau yang menjadi penopang kehidupan, air yang didistribusikan melalui sistem Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), hingga air rebusan yang digunakan langsung di rumah tangga untuk konsumsi. Keberadaan mikroplastik di seluruh spektrum sumber air ini mengindikasikan bahwa pencemaran telah meresap ke dalam siklus air yang kompleks, menjadikannya masalah yang tidak dapat dihindari oleh warga Malang. Jenis mikroplastik yang paling dominan ditemukan adalah film atau filamen serta fiber. Kedua tipe partikel ini merupakan indikator kuat dari aktivitas antropogenik atau aktivitas manusia sehari-hari yang menjadi pemicu utama pencemaran.
Rafika Aprilianti, seorang peneliti dari Ecoton, menjelaskan lebih lanjut mengenai asal-usul partikel-partikel mikroplastik tersebut. Menurutnya, mikroplastik jenis filamen umumnya merupakan hasil dari degradasi atau penguraian kantong plastik yang dibuang sembarangan atau tidak terkelola dengan baik. Kantong-kantong plastik ini, seiring waktu dan paparan lingkungan, akan pecah menjadi fragmen-fragmen yang semakin kecil hingga tak kasat mata namun tetap berbahaya. Sementara itu, partikel fiber sebagian besar dilepaskan dari bahan-bahan sintetis, terutama dari pakaian berbahan dasar poliester atau nilon, selama proses pencucian. Setiap kali mesin cuci beroperasi, jutaan serat mikroplastik ini terlepas dan terbawa aliran air limbah, yang pada akhirnya menemukan jalannya ke sistem perairan alami. "Secara fisik, paparan mikroplastik dapat mengganggu kesehatan manusia, seperti merusak jaringan paru, hati, dan sistem imun tubuh," ujar Rafika dalam sebuah acara talkshow yang diselenggarakan di Universitas Widyagama Malang (UWG) pada Kamis, 6 November 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi masalah ini, beralih dari sekadar isu lingkungan menjadi ancaman kesehatan publik yang mendesak.
Lebih jauh, dampak kesehatan dari mikroplastik jauh lebih kompleks dan berpotensi mengerikan daripada sekadar kerusakan fisik organ. Partikel-partikel mikroplastik ini, karena ukurannya yang sangat kecil, dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi air, makanan laut yang terkontaminasi, atau bahkan inhalasi udara. Setelah masuk, mereka dapat memicu berbagai respons biologis yang merugikan. Di dalam sistem pencernaan, mikroplastik dapat menyebabkan peradangan pada saluran usus, mengganggu keseimbangan mikrobioma usus yang penting untuk pencernaan dan kekebalan tubuh. Partikel-partikel ini juga memiliki kemampuan untuk menembus dinding usus dan masuk ke aliran darah, kemudian menyebar ke berbagai organ vital lainnya seperti hati, ginjal, dan bahkan otak. Di paru-paru, partikel yang terhirup dapat menyebabkan iritasi kronis dan peradangan, berpotensi memicu atau memperburuk kondisi pernapasan seperti asma atau bronkitis.
Selain itu, mikroplastik seringkali bertindak sebagai vektor atau pembawa bagi berbagai kontaminan berbahaya lainnya. Permukaan partikel plastik ini bersifat adsorben, yang berarti mereka dapat menarik dan mengikat senyawa kimia beracun dari lingkungan sekitarnya, seperti polutan organik persisten (POP), pestisida, dan logam berat. Ketika mikroplastik yang membawa racun ini masuk ke dalam tubuh manusia, mereka secara efektif memperkenalkan zat-zat berbahaya ini ke dalam sistem biologis, memperparah potensi kerusakan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa bahan kimia aditif yang digunakan dalam pembuatan plastik, seperti phthalate dan bisphenol A (BPA), dapat larut dari partikel mikroplastik dan bertindak sebagai pengganggu endokrin, yang dapat mengganggu sistem hormon tubuh dan berpotensi menyebabkan masalah reproduksi, perkembangan, dan bahkan meningkatkan risiko kanker. Anak-anak, ibu hamil, dan lansia adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif ini karena sistem imun dan organ mereka yang masih berkembang atau sudah melemah.

Temuan penting ini disampaikan dalam sebuah acara bertajuk "Membangun Kesadaran Hukum Lewat Bencana Mikroplastik" yang digagas dan diselenggarakan secara kolaboratif oleh Ecoton bersama Universitas Widyagama Malang. Acara ini bukan hanya sekadar forum diskusi ilmiah; ia dirancang untuk menjadi platform edukasi dan pencerahan bagi berbagai lapisan masyarakat, dari akademisi, mahasiswa, hingga pembuat kebijakan. Selain sesi diskusi yang menghadirkan para ahli di bidang lingkungan dan hukum, kegiatan tersebut juga menampilkan pameran instalasi mikroplastik yang inovatif dan interaktif. Instalasi ini dirancang khusus untuk memberikan gambaran visual yang nyata dan menyentuh mengenai kondisi pencemaran air di berbagai daerah di Jawa Timur, termasuk Malang. Dengan melihat langsung tumpukan mikroplastik yang disaring dari sumber air, pengunjung diharapkan dapat merasakan urgensi masalah ini dan terdorong untuk bertindak.
Ibnu Subarkah, Dekan Fakultas Hukum UWG, dalam kesempatan tersebut menegaskan peran krusial dan tak tergantikan dari perguruan tinggi dalam mendorong perumusan dan implementasi kebijakan hukum yang efektif terkait pengendalian pencemaran lingkungan. Ia menekankan bahwa masalah mikroplastik bukan lagi sekadar isu lingkungan semata, melainkan telah menjadi krisis yang memerlukan pendekatan multidisiplin, termasuk dari perspektif hukum. "Bahaya mikroplastik nyata dan mengancam kesehatan manusia. Kita ingin membangun kesadaran bahwa pengelolaan dan penggunaan plastik harus memiliki landasan hukum yang kuat," tegas Ibnu Subarkah. Pernyataan ini menyoroti kebutuhan akan kerangka regulasi yang komprehensif, mulai dari tahap produksi plastik, distribusinya, hingga pengelolaan limbahnya. Tanpa landasan hukum yang kokoh, upaya-upaya mitigasi akan menjadi parsial dan kurang efektif. Kerangka hukum ini perlu mencakup prinsip-prinsip seperti tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility – EPR), pelarangan penggunaan plastik sekali pakai tertentu, standar pengelolaan limbah yang lebih ketat, serta mekanisme penegakan hukum yang efektif bagi pelanggar.
Uji mikroplastik di Malang ini sendiri merupakan bagian integral dari penelitian kolaboratif yang lebih besar antara Ecoton dan Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Proyek penelitian berskala nasional ini dilakukan di delapan belas kota di seluruh Indonesia, berlangsung sepanjang periode Mei hingga Juli 2025. Pemilihan periode penelitian ini sangat strategis, yaitu saat peralihan menuju musim kemarau, ketika curah hujan relatif rendah dan kondisi atmosfer cenderung lebih stabil. Kondisi lingkungan seperti ini memungkinkan partikel mikroplastik di udara untuk lebih mudah terukur dan dikumpulkan, memberikan gambaran yang lebih akurat tentang tingkat pencemaran.
Dari hasil penelitian yang luas tersebut, Jakarta Pusat tercatat sebagai lokasi dengan konsentrasi mikroplastik tertinggi yang ditemukan, mencapai 37 partikel dalam waktu dua jam pemantauan. Angka ini mencerminkan tingkat pencemaran yang ekstrem di salah satu pusat kota terbesar dan terpadat di Indonesia. Sementara itu, Kota Malang, meskipun memiliki tingkat paparan yang relatif terendah di antara kota-kota yang diteliti, yakni dua partikel dalam dua jam pemantauan, hasil ini sama sekali tidak boleh diartikan sebagai kondisi yang aman. Justru sebaliknya, temuan ini menunjukkan bahwa ancaman mikroplastik di lingkungan air Malang tetap nyata, terukur, dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Angka yang "rendah" ini mungkin hanya mencerminkan kondisi pada saat pengambilan sampel atau lokasi spesifik, namun tidak meniadakan risiko paparan berkelanjutan yang dapat terakumulasi seiring waktu.
Sumber utama polusi mikroplastik sangat beragam dan kompleks. Selain dari degradasi kantong plastik dan serat pakaian sintetis yang telah disebutkan, banyak sumber lain turut berkontribusi. Ban kendaraan, misalnya, melepaskan partikel mikroplastik ke udara dan tanah setiap kali mobil melaju. Produk perawatan pribadi seperti pasta gigi dan facial scrub seringkali mengandung microbeads, partikel plastik kecil yang sengaja ditambahkan. Industri perikanan juga menyumbang secara signifikan melalui jaring ikan dan alat tangkap lain yang terbuat dari plastik dan seringkali hilang di laut. Bahkan pertanian menggunakan mulsa plastik dan sistem irigasi yang dapat melepaskan partikel-partikel ini. Untuk kasus Malang, sebagai kota yang berkembang pesat dengan aktivitas perkotaan, industri kecil, dan juga pariwisata, tantangan pengelolaan limbah plastik menjadi sangat besar. Sungai Brantas, yang melintasi Malang, juga merupakan salah satu sungai paling tercemar di Jawa Timur, menjadikannya jalur utama bagi mikroplastik untuk menyebar ke berbagai sumber air.
Menyikapi urgensi masalah ini, diperlukan tindakan konkret dan terkoordinasi dari berbagai pihak. Di tingkat individu, kesadaran dan perubahan perilaku adalah kunci. Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah sampah dengan benar, menggunakan tas belanja kain, memilih pakaian dari serat alami, dan menghindari produk yang mengandung microbeads adalah langkah-langkah sederhana namun berdampak besar. Pemerintah daerah, dalam hal ini Kota Malang, harus berinvestasi lebih serius dalam infrastruktur pengelolaan limbah yang modern dan efisien, termasuk fasilitas daur ulang yang memadai, sistem pengumpulan sampah yang efektif, dan pengolahan limbah cair yang mampu menyaring mikroplastik. Implementasi regulasi lokal yang melarang atau membatasi penggunaan plastik sekali pakai, serta mendorong skema tanggung jawab produsen yang diperluas, akan menjadi game changer.
Di tingkat nasional, pemerintah pusat perlu memperkuat kerangka kebijakan lingkungan, menyediakan dana penelitian yang cukup untuk memahami lebih dalam dampak mikroplastik, dan meluncurkan kampanye kesadaran publik yang masif. Kerjasama internasional juga penting untuk berbagi praktik terbaik dan mengembangkan solusi inovatif. Industri manufaktur plastik harus didorong untuk berinovasi menciptakan alternatif yang lebih ramah lingkungan, mendesain produk agar mudah didaur ulang, dan mengurangi penggunaan plastik dalam rantai pasok mereka. Terakhir, komunitas ilmiah dan peneliti harus terus melakukan pemantauan, memahami jalur penyebaran mikroplastik, mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang, dan mengembangkan teknologi mitigasi yang efektif.
Temuan mikroplastik di air Malang adalah peringatan serius bahwa kita hidup dalam ekosistem yang semakin terbebani oleh jejak aktivitas manusia. Ancaman ini tidak dapat diabaikan. Ini adalah panggilan untuk bertindak, demi kesehatan generasi sekarang dan masa depan, serta kelestarian lingkungan hidup. Membangun kesadaran, memperkuat hukum, dan mengubah perilaku adalah langkah-langkah mendesak yang harus segera diambil.
[rakyatindependen.id]





