Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu, 20 September 2025, Wali Kota Syauqul Muhibbin secara transparan membeberkan fakta krusial terkait kondisi keuangan daerah. Beban gaji pegawai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Blitar saat ini telah mencapai angka 36%. Angka ini, menurut Mas Ibin, jauh melampaui batas maksimal yang disarankan oleh regulasi dan praktik tata kelola keuangan yang baik, yaitu sebesar 30%. Batas 30% ini umumnya dijadikan patokan untuk memastikan bahwa pemerintah daerah memiliki cukup ruang fiskal (fiscal space) untuk mengalokasikan dana pada sektor-sektor produktif lainnya, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar, dan program-program yang mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
"Secara keterpenuhan pegawai sebenarnya sudah lumayan banyak. Kalau memaksakan mengusulkan banyak, nanti khawatirnya pemerintah tidak mampu memberikan tunjangan kinerja," tegas Wali Kota Blitar, menyoroti implikasi jangka panjang dari rekrutmen pegawai yang tidak terkontrol. Pernyataan ini menggarisbawahi kekhawatiran serius mengenai keberlanjutan fiskal dan kemampuan Pemkot Blitar untuk tidak hanya menggaji, tetapi juga memberikan insentif yang layak bagi para pegawai, termasuk tunjangan kinerja yang menjadi salah satu faktor penting dalam motivasi dan produktivitas ASN. Jika tunjangan kinerja tidak dapat diberikan secara optimal, hal itu dapat menurunkan semangat kerja, mengurangi kualitas pelayanan, dan bahkan memicu ketidakpuasan di kalangan pegawai.
Dengan beban gaji pegawai yang telah mencapai 36%, keputusan untuk membatasi rekrutmen PPPK paruh waktu menjadi sebuah keniscayaan. Pemkot Blitar akan memfokuskan pengangkatan pada instansi-instansi yang benar-benar mengalami kekurangan personel yang kritis dan esensial. Kriteria prioritas lainnya adalah masa pengabdian yang sudah lama. Kebijakan ini merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap dedikasi para tenaga honorer atau non-ASN yang telah bertahun-tahun mengabdi, seringkali dengan imbalan yang terbatas, namun tetap setia menjalankan tugasnya. Prioritas ini juga diharapkan dapat memberikan kepastian status bagi mereka yang telah lama berkontribusi pada pelayanan publik di Kota Blitar.
"Kami memprioritaskan di tempat-tempat yang sangat memerlukan. Utamanya untuk tenaga yang sudah lama mengabdi," imbuh Mas Ibin, memperjelas arah kebijakan rekrutmen. Sementara itu, untuk jalur pendaftaran reguler yang tidak masuk dalam kategori paruh waktu atau prioritas pengabdian lama, kebutuhan pegawainya dinilai sudah cukup terpenuhi. Ini menandakan bahwa Pemkot Blitar telah melakukan analisis kebutuhan yang komprehensif, membedakan antara kebutuhan mendesak di sektor-sektor tertentu dengan kebutuhan umum yang sudah teratasi.
Wali Kota Blitar kembali menekankan bahwa pertimbangan anggaran menjadi kunci utama dalam setiap keputusan terkait rekrutmen pegawai. Mas Ibin memahami aspirasi banyak pihak yang ingin diangkat sebagai ASN, namun ia juga harus bertanggung jawab terhadap kesehatan fiskal daerah. Jika beban belanja pegawai terus membengkak tanpa kendali, ia khawatir alokasi dana untuk program pembangunan akan semakin berkurang. "Semua orang tentu ingin diangkat. Tapi kalau lembaga belum benar-benar membutuhkan, dampaknya ke anggaran," ujarnya.
Dampak dari pembengkakan beban gaji pegawai ini sangatlah nyata dan multidimensional. Jika porsi anggaran yang tersedot untuk belanja pegawai semakin besar, maka secara otomatis porsi anggaran untuk pembangunan dan program-program produktif lainnya akan menyusut drastis. Pembangunan yang dimaksud tidak hanya sebatas pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan gedung, tetapi juga pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi kerakyatan, pariwisata, serta peningkatan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan. Dengan tingginya biaya beban gaji, bisa dipastikan porsi anggaran untuk pembangunan juga akan turun, yang pada akhirnya akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Blitar.
Keputusan Pemkot Blitar ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak pemerintah daerah di Indonesia. Sejak reformasi birokrasi dan kebijakan desentralisasi, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar, namun juga dihadapkan pada keterbatasan fiskal. Kebijakan pengangkatan PPPK, baik penuh waktu maupun paruh waktu, merupakan upaya pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer yang menumpuk selama bertahun-tahun, serta mengisi kekosongan formasi ASN akibat moratorium PNS dan pensiun massal. Namun, implementasinya di daerah seringkali terkendala oleh kemampuan anggaran. Banyak daerah yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap APBD di atas batas ideal, bahkan ada yang mencapai 40-50%, yang berarti sebagian besar pendapatan daerah habis hanya untuk membayar gaji pegawai, menyisakan sedikit ruang untuk investasi publik.
Untuk mengatasi situasi ini, Pemkot Blitar mungkin perlu mengkaji lebih dalam beberapa strategi komprehensif. Pertama, optimalisasi kinerja pegawai yang sudah ada melalui peningkatan kapasitas, pelatihan, dan evaluasi berkala. Digitalisasi layanan juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebutuhan akan SDM tambahan, sekaligus meningkatkan efisiensi dan transparansi pelayanan publik. Kedua, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui diversifikasi sumber pendapatan, perbaikan sistem pajak dan retribusi daerah, serta mendorong investasi dan sektor ekonomi produktif lainnya. Dengan PAD yang lebih kuat, ketergantungan pada dana transfer pusat dapat berkurang, dan ruang fiskal untuk belanja pembangunan akan lebih besar. Ketiga, melakukan evaluasi ulang struktur organisasi dan tata kelola pemerintahan untuk memastikan bahwa setiap unit kerja berfungsi secara efisien dan efektif, tanpa kelebihan pegawai yang tidak produktif.
Kebijakan pembatasan PPPK paruh waktu ini juga harus dikomunikasikan secara efektif kepada publik dan calon pelamar. Transparansi mengenai kriteria prioritas, proses seleksi, dan kondisi anggaran daerah akan membantu membangun pemahaman dan dukungan masyarakat. Meskipun mungkin ada kekecewaan dari sebagian pihak yang berharap dapat diangkat, namun keputusan ini diambil demi kepentingan jangka panjang Kota Blitar. Stabilitas fiskal adalah fondasi bagi keberlanjutan pembangunan dan pelayanan publik yang prima. Tanpa fondasi yang kuat, cita-cita untuk mewujudkan Blitar yang maju, sejahtera, dan mandiri akan sulit tercapai.
Pada akhirnya, langkah yang diambil oleh Wali Kota Syauqul Muhibbin dan Pemkot Blitar ini adalah sebuah keputusan berani dan bertanggung jawab. Ini adalah komitmen nyata untuk menjaga kesehatan keuangan daerah, memastikan keberlanjutan pembangunan, dan mengelola sumber daya manusia secara bijaksana. Keputusan ini menunjukkan bahwa Pemkot Blitar tidak hanya berorientasi pada kebutuhan jangka pendek, tetapi juga pada visi jangka panjang untuk masa depan Kota Blitar yang lebih baik. Dengan memprioritaskan anggaran untuk sektor-sektor produktif dan esensial, diharapkan Kota Blitar dapat terus tumbuh dan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh warganya, sambil tetap menjaga keseimbangan fiskal yang sehat dan berkelanjutan.
(rakyatindependen.id)