Di jantung Desa Solor, Kecamatan Cermee, Bondowoso, menjulang megah formasi batu raksasa yang oleh penduduk setempat akrab disebut Bandhusah, atau lebih misterius lagi, ‘pendhopo ghaib’. Selama berabad-abad, situs megalitikum ini bukan sekadar tumpukan batu kuno, melainkan diyakini sebagai tempat berkumpulnya makhluk-makhluk tak kasat mata, sebuah ruang sakral yang diselimuti mitos dan legenda. Keyakinan turun-temurun ini membentuk identitas spiritual Solor, menjadikannya pusat keheningan yang penuh kekuatan magis. Struktur kuno yang memukau ini, dengan batuan yang tertata rapi membentuk semacam panggung atau aula terbuka, memang mengundang imajinasi tentang pertemuan-pertemuan di luar dimensi manusia, menciptakan aura mistis yang begitu kental.
Namun, narasi sakral ini mulai bergeser pada tahun 2014. Dengan ambisi untuk mengangkat potensi pariwisata daerah, pemerintah setempat mengemas ulang situs ini dengan nama yang lebih modern dan mudah diingat: Batu So’on. Penamaan ini, yang berarti ‘susun’ dalam bahasa Madura, diikuti dengan julukan ambisius "Stonehenge ala Bondowoso," sebuah upaya untuk menarik perhatian global dengan membandingkannya dengan situs megalitikum terkenal di Inggris. Sejak saat itu, Solor diharapkan menjelma menjadi destinasi wisata populer, sebuah ikon baru yang akan menarik ribuan pengunjung dan menghidupkan perekonomian lokal. Promosi gencar dilakukan, harapan membumbung tinggi, dan untuk beberapa tahun, Batu So’on memang sempat merasakan masa kejayaannya.
Sayangnya, sebelas tahun berlalu, cerita gemilang itu kini meredup. Cahaya kepopuleran Batu So’on seolah memudar, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Situs yang dulunya pernah ramai dikunjungi wisatawan kini lebih sering sepi, bahkan hampa dari hiruk pikuk pengunjung. Penjaga situs yang setia, yang pernah menyaksikan keramaian yang mengagumkan, kini lebih sering berhadapan dengan kekosongan. "Dulu, antara tahun 2014 hingga 2019, pengunjung bisa mencapai 90 sampai 150 orang per hari. Sekarang, paling banyak hanya empat orang. Bahkan di hari Minggu pun, pernah nihil pengunjung," ujar seorang penjaga situs dengan nada getir dan sorot mata penuh kekecewaan, menggambarkan betapa drastisnya penurunan minat wisatawan.
Kondisi fisik situs pun turut mencerminkan kelesuan ini. Gazebo-gazebo tua yang dibangun dengan harapan menjadi tempat peristirahatan nyaman bagi wisatawan pada tahun 2014, kini lapuk dimakan usia. Kayu-kayu penyangganya keropos, atapnya bocor, dan strukturnya goyah tanpa perawatan berarti. Penjaga situs justru diliputi kecemasan, bukan lagi karena memikirkan kenyamanan pengunjung, melainkan takut jika sewaktu-waktu reruntuhan kayu rapuh itu menimpa mereka. Ini adalah gambaran nyata dari investasi yang terbengkalai, sebuah janji pariwisata yang tidak terpelihara, dan cerminan dari kurangnya perhatian terhadap aset berharga ini.
Kelesuan di Solor terasa kian ironis dan memilukan, terutama setelah Bondowoso, bersama Banyuwangi, berhasil menyandang predikat bergengsi UNESCO Global Geopark (UGG) Ijen pada tahun 2023. Status UGG seharusnya menjadi katalisator bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan, menarik perhatian internasional, dan mempromosikan seluruh situs geologi yang ada di wilayah geopark. Namun, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik: alih-alih mendongkrak kunjungan ke berbagai destinasi, status global itu justru semakin mempertegas dominasi Kawah Ijen, sementara destinasi wisata lain di luar Kawah Ijen, termasuk Batu So’on Solor, makin terpinggirkan dan dilupakan. Predikat UGG yang semestinya menjadi payung pelindung dan promotor, malah seolah tak berdaya mengangkat situs-situs lain dari keterpurukan.
Data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bondowoso menguatkan gambaran suram ini. Target retribusi tempat wisata untuk tahun anggaran 2025 ditetapkan sebesar Rp1,2 miliar. Namun, hingga bulan Agustus tahun berjalan, realisasinya hanya mencapai Rp263 juta, atau sekitar 21 persen dari target. Angka ini terlalu jauh dari harapan awal, memaksa pemerintah daerah untuk menurunkan target menjadi Rp660 juta pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) 2025. Penurunan target ini bukan hanya sekadar penyesuaian angka, melainkan sebuah pengakuan resmi atas kegagalan dalam mencapai potensi pendapatan dari sektor pariwisata. Ini juga mengindikasikan bahwa proyeksi awal terlalu optimistis atau bahwa strategi yang diterapkan belum efektif.
Khusus untuk Batu So’on Solor, angka kunjungan sepanjang Januari hingga Agustus 2025 hanya mencapai 1.016 orang. Sebuah angka yang menyedihkan dan sangat kontras jika dibandingkan dengan Paltuding Kawah Ijen, yang dalam periode yang sama berhasil menarik lebih dari 132 ribu wisatawan. Kesenjangan yang masif ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang parah dalam distribusi kunjungan wisatawan, yang sebagian besar terkonsentrasi di satu titik saja, sementara potensi-potensi lain terabaikan. Ini memunculkan pertanyaan kritis tentang strategi promosi, pengelolaan, dan pengembangan pariwisata yang lebih merata di seluruh wilayah geopark.
Ketua Komisi III DPRD Bondowoso, Sutriyono, melihat akar persoalan ini terletak pada promosi yang lemah, yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran. Menurutnya, pemerintah kabupaten lebih tergiring untuk membangun fasilitas fisik destinasi terlebih dahulu daripada mempromosikannya secara efektif. "Sejak awal kita percaya bahwa UGG akan menjadi pendekatan pembangunan pariwisata yang holistik. Tapi, dana promosi justru dialihkan ke pembangunan fisik. Akibatnya, Solor dan destinasi lain tertinggal dalam hal visibilitas dan daya tarik," ungkap legislator dari PKB itu dengan nada prihatin. Ia menambahkan bahwa setelah menyandang predikat UGG, konon seluruh destinasi wisatanya akan dipromosikan oleh 48 negara di dunia. Seharusnya, Batu So’on Solor pun termasuk di dalamnya. "Jangan sampai karena dipromosikan oleh internasional, sisi promosi kita di daerah justru terbengkalai dan tidak digarap serius," sergah wakil rakyat asal Kecamatan Cermee tersebut, menyoroti pentingnya keseimbangan antara promosi global dan lokal.
Kekecewaan juga datang dari sisi pengunjung yang masih mau datang. Ahmad, salah seorang pengunjung, mengeluhkan harga tiket masuk Batu So’on yang naik dari Rp5 ribu menjadi Rp10 ribu. Kenaikan harga ini, menurutnya, tidak sebanding dengan fasilitas yang ditawarkan. "Rugi lah. Tiket masuk Rp10 ribu, tempatnya gersang, fasilitas umumnya banyak yang lapuk dan tidak terawat. Bahkan untuk sekadar membeli kopi, minuman dingin, atau makanan ringan pun tidak ada yang jual. Rasanya seperti dibiarkan begitu saja," sesal Ahmad. Ketiadaan fasilitas dasar seperti toilet yang layak, area istirahat yang nyaman, atau bahkan warung UMKM kecil, jelas mengurangi daya tarik situs dan pengalaman pengunjung secara keseluruhan. Ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang bagaimana menciptakan ekosistem pariwisata yang ramah dan berkelanjutan.
Ketua Pengurus Harian Ijen Geopark (PHIG) Bondowoso, Tantri Raras Ningtyas, mengakui adanya masalah tersebut. Ia menjelaskan bahwa Solor memang masuk dalam daftar situs geologi geopark, namun daya tariknya belum diperkuat secara optimal melalui promosi yang gencar dan inovasi atraksi yang memikat. "Kita sudah mendorong adanya geoproduct, pelatihan masyarakat untuk mengelola potensi lokal, bahkan paket jeep wisata untuk eksplorasi. Namun, promosi masih menjadi kendala utama. Solor masih kalah bersaing dengan destinasi lain yang mungkin memiliki aksesibilitas atau pengelolaan yang lebih baik," tutur Tantri, menggarisbawahi kompleksitas masalah yang dihadapi.
Di tengah situasi ini, Sekretaris Daerah Bondowoso, Fathur Rozi, mengaku berada dalam dilema. Di satu sisi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata sangat minim, sementara di sisi lain, kondisi ekonomi masyarakat secara umum sedang lesu. "Kita memang punya ikon, tapi bagaimana ikon kita bisa benar-benar ikonik? Kalau ikon tidak ikonik, kan tidak keren dan tidak bisa menarik perhatian," ujarnya, menyiratkan bahwa sekadar memiliki situs bersejarah saja tidak cukup tanpa upaya maksimal untuk menjadikannya magnet pariwisata. Sementara itu, Bupati Bondowoso, Abdul Hamid Wahid, memilih untuk lebih fokus pada persiapan revalidasi UNESCO pada tahun 2026, yang diperkirakan akan berlangsung antara Mei hingga Juli tahun depan. "Kita masuk ke persyaratan formal dulu. Jangan bicara dulu tentang kondisi pasarnya dan lain-lain. Itu nanti kita proses selesai revalidasi," kata Bupati, menunjukkan prioritas pada pemenuhan standar administrasi dan teknis UNESCO. Ia juga menekankan bahwa momen revalidasi UGG adalah kepentingan bersama, bukan hanya Kabupaten Bondowoso, tetapi juga bangsa Indonesia, sehingga sinergi lintas pemerintah daerah dan provinsi sangat diperlukan.
Melihat kondisi yang stagnan, Wakil Ketua DPRD Bondowoso, Sinung Sudrajad, bahkan terang-terangan menyarankan agar pengelolaan Solor dan destinasi unggulan lain diserahkan pada pihak ketiga, bukan pemerintah. "Pemerintah tugasnya melayani rakyat, bukan menjadi entrepreneur atau pengelola bisnis. Kalau swasta yang kelola, mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan berorientasi pasar. Pemerintah cukup siapkan infrastruktur dasar, Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten, dan keamanan investasi," tegasnya, menyoroti efisiensi dan inovasi yang bisa dibawa oleh sektor swasta.
Bondowoso sejatinya memiliki "harta karun" wisata yang unik dan tak ternilai: pusat megalitikum satu-satunya di Jawa Timur. Batu So’on adalah salah satu bukti nyata dari warisan budaya dan sejarah yang luar biasa ini. Namun, potensi besar ini gagal dibungkus dengan narasi sejarah yang memikat dan promosi yang cerdas. Selama ini, Solor cenderung "dijual" sebatas pemandangan batu susun yang indah, tanpa menggali dan menonjolkan nilai arkeologis, historis, dan antropologisnya yang mendalam. Padahal, kata Sinung, di era pariwisata berbasis pengetahuan, nilai sejarah dan budaya bisa menjadi magnet yang sangat kuat bagi wisatawan maupun akademisi. "Universitas-universitas besar seharusnya bisa diajak untuk meneliti situs megalitikum Bondowoso, sekaligus memperkaya pengalaman wisata sejarah dan edukasi bagi para pengunjung," kata legislator dari PDIP tersebut, mengusulkan pendekatan yang lebih holistik dan ilmiah.
Hari ini, Batu So’on Solor kembali sunyi, terlarut dalam keheningan yang menyelimuti sisa-sisa kejayaannya. Gazebo tua berdiri rapuh, tiket masuk yang naik tidak sebanding dengan pengalaman yang ditawarkan, dan status UNESCO Global Geopark tak kunjung menolongnya dari keterpurukan. Sejarah megalitikum yang seharusnya menjadi kekuatan utama, justru terkubur di balik branding "Stonehenge ala Bondowoso" yang terlalu generik dan kurang menggali identitas lokal.
Bondowoso kini dihadapkan pada pilihan krusial: membiarkan Solor tenggelam dalam kesepian abadi dan menjadi sekadar artefak yang terlupakan, atau membangkitkannya dengan strategi baru yang lebih komprehensif. Strategi ini harus berpijak pada promosi yang gencar dan kreatif, riset arkeologi dan sejarah yang mendalam untuk memperkaya narasi, serta pengelolaan profesional yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal dan sektor swasta. Sebab jika tidak, Bandhusah hanya akan tinggal sebagai "pendhopo ghaib" yang ramai oleh legenda masa lalu, namun sepi oleh kehadiran manusia di masa kini, sebuah monumen bisu atas potensi yang tak terjual dan kesempatan yang terlewatkan.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id