Gempa 6,5 Magnitudo Sumenep Picu Perubahan Reruntuhan Ponpes Al Khoziny, Evakuasi Kian Berisiko

Sidoarjo – Gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 6,5 yang mengguncang wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, telah menimbulkan kekhawatiran baru dalam operasi penyelamatan di Lembaga Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo. Peristiwa seismik ini diduga kuat membawa dampak signifikan pada tumpukan reruntuhan bangunan yang sebelumnya telah roboh di kompleks pesantren tersebut, memperumit upaya evakuasi yang sedang berlangsung dan meningkatkan risiko bagi tim penyelamat serta korban yang masih terjebak.

Guncangan gempa dengan magnitudo 6,5 ini tergolong kuat dan berpotensi merusak, terutama bagi struktur bangunan yang sudah rapuh atau rusak. Pusat gempa yang berada di wilayah Sumenep, Madura, memicu getaran yang terasa hingga ke berbagai daerah di Jawa Timur, termasuk Sidoarjo. Meskipun fokus utama kerusakan langsung dari gempa ini mungkin tidak terjadi di Sidoarjo, dampaknya terhadap lokasi bencana yang sudah ada, seperti Ponpes Al Khoziny, menjadi perhatian serius. Gempa bumi terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik di bawah permukaan bumi, dan di wilayah Indonesia yang terletak di Cincin Api Pasifik, aktivitas seismik semacam ini adalah hal yang lumrah, namun selalu memerlukan kewaspadaan tinggi.

Pernyataan mengenai perubahan kondisi reruntuhan ini disampaikan langsung oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Dr. Suharyanto, pada Rabu (1/10/2025). Kondisi genting ini terungkap setelah tim evakuasi yang berjuang tanpa henti di lokasi bencana Al Khoziny melakukan pemantauan mendalam pasca-gempa. Data terbaru menunjukkan adanya pergeseran dan penurunan pada material konstruksi yang menumpuk, sebuah fenomena yang menambah kompleksitas operasi penyelamatan.

“Tumpukan konstruksi beton atau bangunan yang ada, mengalami penurunan hingga beberapa sentimeter. Hal ini juga membuat tim bersikap kehati-hatian dalam melakukan evakuasi menuju titik sasaran atau korban yang terjepit di bawah reruntuhan,” ungkap Suharyanto, menegaskan betapa krusialnya perubahan ini bagi keselamatan semua pihak.

Sebelum gempa mengguncang, posisi bordes – bagian dari struktur bangunan yang kini menjadi material reruntuhan – berada sekitar 15 sentimeter dari lantai dasar. Pada kondisi tersebut, korban yang terjepit masih memiliki sedikit ruang gerak, bahkan bisa menggerakkan kepala. Namun, Suharyanto menguraikan, setelah gempa semalam, posisi bordes tersebut turun secara signifikan, kurang lebih 10 sentimeter. Ia menggambarkan penurunan tersebut seperti diameter lingkaran anak usia remaja, yang menunjukkan betapa sempitnya ruang yang tersisa bagi korban. Penurunan ini bisa berarti hilangnya ruang vital, menekan tubuh korban lebih lanjut, atau bahkan memicu runtuhan sekunder yang lebih berbahaya.

“Ini kurang lebih sekitar 10 sampai 12 (sentimeter), sehingga dengan ketinggian ini kami ingin memberikan gambaran bahwa complicated kesulitan kami ini adalah bagaimana mempertahankan nyawa target, tapi akses yang kita gunakan memang membutuhkan waktu yang lebih lama. Maka kehati-hatian terus menjadi prioritas tim,” urainya dengan nada serius. Penurunan ruang yang signifikan ini mengubah dinamika evakuasi secara drastis. Setiap pergerakan material, sekecil apa pun, dapat membahayakan nyawa korban dan tim penyelamat. Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil harus sangat terukur, presisi, dan hati-hati, bahkan jika itu berarti memperlambat proses penyelamatan.

Operasi SAR di lingkungan reruntuhan bangunan yang tidak stabil adalah salah satu tugas paling berbahaya dan menantang. Tim penyelamat harus menghadapi berbagai risiko, mulai dari runtuhan susulan, material tajam, hingga kemungkinan gas beracun. Kondisi ini diperparah oleh minimnya cahaya dan ruang gerak yang sangat terbatas. Peralatan khusus seperti kamera pencari korban, alat pendengar sensitif, dan peralatan hidrolik untuk mengangkat atau memotong beton menjadi sangat vital. Namun, bahkan dengan peralatan tercanggih sekalipun, faktor manusia dan pengalaman tim tetap menjadi penentu utama keberhasilan.

Masih kata Suharyanto, tim yang diterjunkan tidak kekurangan peralatan canggih maupun personel terlatih. Namun, ia menekankan bahwa keberadaan alat yang memadai tidak lantas mengurangi tingkat kehati-hatian yang harus diterapkan. Keselamatan tim dan korban adalah yang utama, dan prinsip "safety first" selalu menjadi pedoman. Upaya penyelamatan di Al Khoziny bukan hanya tentang mengeluarkan korban, tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan kondisi korban agar tetap hidup selama proses evakuasi yang panjang dan penuh risiko.

Dalam proses evakuasi yang penuh ketegangan ini, pihak BNPB juga terus berupaya menjaga komunikasi yang transparan dengan wali santri dan keluarga korban yang menunggu di lokasi. Kondisi terkini, tantangan yang dihadapi tim, serta strategi yang akan diterapkan, dijelaskan secara berkala. Hal ini penting untuk memberikan informasi yang akurat dan mencegah spekulasi yang bisa menimbulkan kepanikan. Kehadiran keluarga di lokasi, meskipun memberikan dukungan moral, juga menambah tekanan psikologis bagi tim penyelamat yang berjuang melawan waktu.

“Tim juga meminta doa agar langkah tim bisa maksimal,” imbuhnya, menunjukkan bahwa di tengah upaya teknis dan strategis, harapan dan dukungan spiritual dari masyarakat tetap menjadi pendorong penting. Permintaan doa ini mencerminkan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan bencana alam, serta harapan akan adanya kekuatan yang lebih besar untuk membantu kelancaran operasi. Solidaritas dan dukungan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui doa, menjadi energi tambahan bagi para pahlawan di garis depan.

Peristiwa ini juga menjadi pengingat penting bagi Indonesia, negara yang rawan bencana, untuk terus memperkuat sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Pelajaran dari Al Khoziny menunjukkan bahwa gempa bumi tidak hanya merusak bangunan secara langsung, tetapi juga dapat memperburuk kondisi di lokasi bencana yang sudah ada. Oleh karena itu, standar bangunan yang tahan gempa, pelatihan evakuasi rutin, serta sistem tanggap darurat yang terkoordinasi dengan baik antara pemerintah, militer, kepolisian, dan masyarakat sipil, adalah kunci untuk mengurangi risiko dan dampak bencana di masa depan. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana juga harus mempertimbangkan faktor-faktor ini agar fasilitas vital seperti pesantren dapat kembali beroperasi dengan aman dan tangguh.

rakyatindependen.id

Exit mobile version