Benturan Budaya dan Nalar Publik yang Terpecah: Analisis Pakar UB tentang Boikot Trans7

Seruan boikot terhadap salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang dipicu oleh tayangan program "Xpose Uncensored" mengenai isu feodalisme di Pondok Pesantren Lirboyo, telah memantik diskursus yang amat luas dan intens di ruang publik. Fenomena ini bukan sekadar insiden tayangan televisi semata, melainkan dinilai sebagai puncak gunung es dari persoalan komunikasi, literasi media, dan benturan kebudayaan yang jauh lebih dalam dan kompleks di Indonesia. Reaksi publik yang masif ini, khususnya dari kalangan santri dan ulama, menjadi cermin bagaimana sebuah tayangan media dapat menguak luka lama dan mempertanyakan pemahaman kolektif kita tentang identitas, tradisi, dan modernitas.

Maulina Pia Wulandari, S.Sos., M.Kom., Ph.D., seorang Pengamat Manajemen Isu dan Krisis Komunikasi sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya (UB), melihat gejolak tersebut sebagai sebuah refleksi atas rapuhnya kemampuan berpikir kritis masyarakat. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa insiden ini juga merupakan bukti nyata adanya benturan budaya yang signifikan antara nilai-nilai tradisional yang telah mengakar kuat dan perspektif modern yang kerap diusung oleh media massa. Menurut Pia, kemampuan masyarakat untuk mencerna informasi secara objektif dan mendalam kini sedang diuji, terutama ketika berhadapan dengan isu-isu yang bersinggungan langsung dengan institusi agama dan budaya yang dianggap sakral.

“Fenomena kemarahan publik yang begitu besar, khususnya yang datang dari kalangan ulama dan santri, secara terang benderang menunjukkan adanya fragmentasi dalam kemampuan berpikir kritis masyarakat kita,” ujar Pia dalam wawancara eksklusif pada Jumat (17/10/2025). “Terutama dalam menyikapi isu-isu sensitif yang beririsan erat dengan institusi agama dan pilar-pilar kebudayaan yang sudah lama dijunjung tinggi.” Ia menambahkan bahwa respons yang dominan bersifat emosional dan komunal ini mengindikasikan adanya celah serius dalam kemampuan masyarakat untuk melakukan verifikasi informasi secara mandiri sebelum membentuk opini atau mengambil tindakan.

Pia menjelaskan bahwa reaksi kolektif yang berujung pada seruan boikot Trans7 lebih banyak didasari oleh dominasi emosi dan loyalitas komunal yang kuat, ketimbang sebuah proses verifikasi informasi yang cermat dan berimbang. "Sebagian besar reaksi yang muncul menunjukkan respons kolektif yang didasarkan pada interpretasi tunggal dari potongan video yang viral di media sosial, tanpa upaya yang memadai untuk memahami konteks keseluruhan atau sudut pandang lain," jelasnya. Kondisi ini, menurut Pia, menciptakan sebuah lingkungan di mana kebenaran objektif menjadi kabur, digantikan oleh narasi yang diperkuat oleh sentimen massa dan ikatan emosional.

Polarisasi yang terjadi akibat insiden ini juga telah mempersempit ruang dialog yang sehat dan konstruktif. Di satu sisi, sebagian besar pihak mengecam keras tayangan Trans7 karena dianggap melecehkan ulama, menodai tradisi pesantren, dan bahkan menyerang institusi agama. Mereka merasa terwakili oleh narasi bahwa media telah gagal memahami dan menghormati kekayaan budaya lokal. Di sisi lain, meskipun jumlahnya minoritas, ada juga pihak yang menilai program tersebut sebagai bentuk kritik sosial yang valid terhadap potensi feodalisme atau penyalahgunaan kekuasaan dalam lembaga keagamaan, dengan harapan dapat memicu introspeksi. "Situasi semacam ini berisiko besar menutup peluang bagi diskursus kritis yang sehat dan beradab, yang sejatinya diperlukan untuk kemajuan bangsa," tegas Pia, menyayangkan hilangnya kesempatan untuk berdialog secara lebih mendalam.

Selain persoalan nalar publik, Pia juga menyoroti kegagalan komunikasi media dalam peristiwa ini. Menurutnya, Trans7, melalui program "Xpose Uncensored," telah gagal total dalam menyajikan kritik sosial dengan cara yang proporsional, berimbang, dan paling utama, beretika. Ia secara spesifik mengkritisi narasi yang dibangun oleh Trans7 yang secara eksplisit mengaitkan ritual takzim seperti "ngesot" (merayap dengan hormat) dan mencium tangan kiai dengan praktik eksploitasi finansial. "Narasi semacam ini, menurut saya, telah melanggar etika jurnalistik yang fundamental, yang seharusnya menjunjung tinggi objektivitas, akurasi, dan penghormatan terhadap subjek yang diberitakan," paparnya.

Pia menilai bahwa Trans7 secara fundamental gagal memahami konteks budaya pesantren yang kaya dan kompleks. "Tradisi takzim dalam pesantren bukanlah bentuk feodalisme, melainkan sebuah manifestasi penghormatan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan peran kiai sebagai mursyid atau pembimbing," tambahnya. Ia menjelaskan bahwa perilaku hormat tersebut adalah bagian integral dari sistem pendidikan dan nilai-nilai yang diturunkan secara turun-temurun, jauh berbeda dengan struktur kekuasaan feodal yang mengeksploitasi. Misinterpretasi ini menjadi akar dari kemarahan yang meluas.

Kegagalan manajemen krisis oleh pihak Trans7 juga menjadi catatan penting dalam analisis Pia. Permintaan maaf yang baru disampaikan Trans7 setelah tekanan publik meluas dan mencapai puncaknya, dinilai menunjukkan respons yang bersifat defensif dan reaktif. "Permintaan maaf seharusnya dilakukan secara proaktif, segera setelah menyadari adanya kesalahan atau kesalahpahaman, dengan mengedepankan empati yang tulus terhadap pihak-pihak yang merasa tersinggung dan dirugikan," ujarnya. Sebuah respons yang lambat dan terkesan terpaksa justru dapat memperburuk krisis kepercayaan dan memperpanjang durasi konflik. Pia menekankan bahwa dalam manajemen krisis, kecepatan, ketulusan, dan kesediaan untuk mengambil tanggung jawab adalah kunci utama.

Lebih jauh, Pia menilai bahwa akar persoalan utama dalam insiden ini adalah benturan budaya yang mendalam antara nilai-nilai tradisional pesantren dan lensa sosiologi Barat yang kerap digunakan oleh media. "Konflik ini terjadi karena Trans7, secara tidak sadar atau sengaja, menggunakan lensa feodalisme Barat untuk menganalisis dan menafsirkan praktik keagamaan serta budaya yang berakar kuat di Indonesia," paparnya. Konsep feodalisme Barat yang identik dengan hierarki kekuasaan absolut dan eksploitasi, sangat berbeda dengan hubungan antara kiai dan santri yang didasarkan pada ikatan spiritual, keilmuan, dan pengabdian.

Dalam budaya pesantren, lanjutnya, perilaku seperti mencium tangan atau menunduk di hadapan kiai bukanlah bentuk ketundukan feodal yang merendahkan, melainkan simbol penghormatan yang luhur terhadap guru, terhadap ilmu yang beliau ajarkan, dan terhadap peran kiai sebagai penjaga moral serta spiritualitas masyarakat. "Serangan terhadap kiai, dalam konteks ini, secara otomatis dianggap sebagai serangan langsung terhadap identitas komunal yang kuat dari para santri dan Nahdlatul Ulama (NU)," jelas Pia. "Inilah mengapa respons boikot menjadi begitu masif dan bergelombang, karena ia menyentuh inti dari identitas dan harga diri sebuah komunitas besar." Mereka merasa bahwa media telah melukai harga diri dan tradisi yang mereka yakini kebenarannya.

Pia mengingatkan kembali agar media massa di Indonesia harus lebih berhati-hati dan bijaksana dalam menayangkan konten yang menyentuh isu-isu budaya dan agama, terutama yang memiliki sensitivitas tinggi. "Framing media memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk persepsi publik. Karena framing selalu menunjukkan siapa yang salah, bukan siapa yang sebenarnya bersalah, media memiliki tanggung jawab moral dan etika yang besar," ujarnya. Framing yang salah dapat menciptakan stigma, memecah belah masyarakat, dan bahkan memicu konflik sosial yang tidak perlu. Oleh karena itu, media dituntut untuk melakukan riset yang mendalam, melibatkan narasumber yang kredibel dari berbagai perspektif, dan menyajikan informasi dengan penuh kehati-hatian.

Di akhir pernyataannya, Pia juga mengajak masyarakat luas untuk tetap menjaga kejernihan berpikir dan tidak mudah terpancing emosi. "Bertabayun, yaitu melakukan klarifikasi dan verifikasi informasi, serta berdialog secara terbuka dan saling menghargai, jauh lebih bijak daripada sekadar bereaksi secara emosional," pungkasnya. Hanya dengan sikap kritis, dialog yang konstruktif, dan pemahaman lintas budaya yang mendalam, kita dapat menjaga ruang publik yang sehat, beradab, dan kondusif bagi perkembangan bangsa. Insiden boikot Trans7 ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh elemen masyarakat, baik media maupun publik, untuk lebih memahami kompleksitas budaya dan membangun komunikasi yang lebih baik di masa depan.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version