Surabaya, Jawa Timur – Gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang mencapai Rp84 juta per bulan menjadi sorotan tajam dari kalangan akademisi. Sultoni Fikri, seorang dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya yang juga merupakan peneliti di Nusantara Center for Social Research, mengecam keras fenomena ini sebagai bukti nyata bahwa sistem hukum di Indonesia justru lebih berpihak pada kepentingan elite daripada mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat.
Sultoni berpendapat bahwa besaran gaji dan tunjangan tersebut mengindikasikan adanya ketidakadilan yang sistematis dalam penerapan hukum di Indonesia. "Penerimaan gaji dan tunjangan anggota DPRD Jawa Timur yang menembus Rp84 juta per bulan seolah menjadi bukti sahih bahwa hukum di negeri ini memang bekerja, bekerja keras menjaga kenyamanan kelas elite," tegas Sultoni dalam pernyataannya, Minggu (7/9/2025).
Dalam perspektif Critical Legal Studies (CLS), sebuah aliran pemikiran hukum yang kritis terhadap peran hukum dalam masyarakat, Sultoni menjelaskan bahwa hukum tidak pernah netral. Hukum, menurutnya, hanyalah alat politik yang dirancang sedemikian rupa dengan bahasa formal untuk mengamankan kepentingan kelompok penguasa. Kasus gaji dan tunjangan DPRD Jatim ini, lanjut Sultoni, merupakan contoh konkret bagaimana hukum digunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk melegitimasi dan melindungi privilese elite agar tampak legal dan pantas.
"Menurut logika Critical Legal Studies, hukum tidak pernah netral. Ia hanyalah alat politik yang dipoles rapi dengan bahasa formal demi melanggengkan kepentingan penguasa. Dan kasus DPRD Jatim ini contoh paling terang karena hukum dipakai bukan untuk rakyat, melainkan untuk membungkus privilese agar terlihat legal dan pantas," jelas Sultoni.
Lebih lanjut, Sultoni menyoroti ketimpangan yang semakin mencolok antara gaya hidup mewah para elite dan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin terhimpit. Di saat masyarakat berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya terus melonjak, para wakil rakyat justru sibuk memperjuangkan kenaikan tunjangan rumah yang jumlahnya fantastis.
"Sungguh ironis, ketika rakyat mempertanyakan harga beras, wakil rakyat justru sibuk menyesuaikan tunjangan rumahnya dengan harga sewa perumahan elite Surabaya," kritik Sultoni dengan nada getir.
Ketimpangan ini semakin terasa mencolok jika dibandingkan dengan pendapatan buruh yang hanya mengandalkan upah minimum. Di saat rakyat terpaksa berhemat untuk bertahan hidup, para pejabat justru menikmati tunjangan yang jauh dari realitas ekonomi masyarakat. Sultoni memberikan contoh konkret, "Rakyat harus menekan pengeluaran agar bisa bertahan hidup dengan UMP Rp4 juta, sementara anggota dewan diberi Rp57 juta sebulan hanya untuk tunjangan rumah."
Dalam konteks ini, Sultoni melihat bahwa hukum justru berperan sebagai alat yang mengamankan gaya hidup mewah para elite, bukan sebagai instrumen keadilan yang seharusnya melindungi hak-hak seluruh warga negara. "Hukum di sini bukan instrumen keadilan, melainkan kalkulator resmi untuk memastikan gaya hidup mewah tetap berjalan tanpa cela hukum," tegasnya.
Sultoni juga mengkritik bagaimana hukum memberikan legalitas pada ketidakadilan. Ia menunjuk pada ketimpangan yang sangat jelas terlihat dalam penerapan hukum, di mana rakyat miskin dihukum berat karena pelanggaran kecil, sementara para pejabat menikmati privilese yang sah secara hukum.
"Inilah wajah hukum ala CLS karena ia adil sekali, memberi banyak hal kepada yang sudah berkuasa, dan memberi legalitas pada kesenjangan yang semakin dalam. Dengan bahasa sederhana, ketika rakyat miskin mencuri beras, itu pelanggaran hukum," jelas Sultoni. "Tapi ketika pejabat mengantongi Rp84 juta lewat Perda, itu namanya aturan main," tambahnya.
Menurut Sultoni, hal ini menunjukkan keberhasilan hukum dalam membungkus ketidakadilan menjadi sesuatu yang tampak wajar di mata publik. Kondisi ini, lanjutnya, membuat masyarakat tidak lagi memiliki ruang untuk mempertanyakan keadilan. "Dan bukankah ini bukti nyata bahwa hukum berhasil? Berhasil membuat ketidakadilan terasa wajar, karena sudah dicatat dalam lembaran negara," tegasnya.
Sultoni juga menyampaikan kritik pedas kepada DPRD Jawa Timur yang seharusnya menjadi perwakilan rakyat, namun dalam kenyataannya justru sibuk menikmati kehidupan mewah yang mereka janjikan. "Pada akhirnya, DPRD Jatim memang mewakili rakyat. Mewakili impian rakyat tentang hidup makmur tapi dengan satu catatan kecil, yakni rakyat hanya bisa jadi penonton, sementara yang mewakili justru sibuk menikmati kehidupan yang mereka janjikan," pungkasnya.
Pernyataan Sultoni ini memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat sipil dan akademisi mengenai peran hukum dalam menciptakan keadilan sosial. Banyak pihak yang sepakat bahwa perlu ada reformasi sistem hukum yang komprehensif agar hukum benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak hanya menjadi alat untuk melindungi kepentingan elite.
Beberapa pengamat hukum juga menyoroti perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik, termasuk anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota DPRD. Mereka berpendapat bahwa masyarakat berhak tahu bagaimana uang pajak mereka digunakan dan apakah penggunaan tersebut sudah sesuai dengan prinsip keadilan dan efisiensi.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka dan mendorong partisipasi aktif dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian, diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Kasus gaji dan tunjangan DPRD Jatim ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali peran hukum dalam masyarakat dan mendorong perubahan yang lebih baik. Hukum seharusnya menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan alat untuk memperkuat privilese elite dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Pemerintah dan lembaga legislatif perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi ketimpangan yang semakin lebar dan memastikan bahwa hukum benar-benar berpihak pada keadilan. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan merevisi peraturan perundang-undangan yang tidak adil, meningkatkan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran publik, dan memperkuat mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan hukum dan menanamkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan kepada para calon penegak hukum. Dengan demikian, diharapkan para penegak hukum akan lebih profesional dan berintegritas dalam menjalankan tugasnya, serta mampu menegakkan hukum secara adil dan imparsial.
Perubahan yang mendasar dalam sistem hukum dan tata kelola pemerintahan sangat diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat. Kasus gaji dan tunjangan DPRD Jatim ini hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah yang perlu diatasi. Dengan kerja keras dan komitmen yang kuat dari semua pihak, diharapkan Indonesia dapat menjadi negara yang benar-benar berlandaskan pada prinsip keadilan sosial.
Opini yang dilontarkan oleh Sultoni Fikri ini diharapkan dapat menjadi pemicu perdebatan publik yang lebih luas mengenai isu-isu penting terkait keadilan sosial dan peran hukum dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan akan muncul solusi-solusi inovatif dan konstruktif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Penting untuk diingat bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perlu ada upaya yang kolektif dan berkelanjutan dari seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Dengan bersatu dan bekerja sama, kita dapat membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang.