Jombang, sebuah kota yang dikenal dengan ketenangan dan julukan kota santri, kini dihadapkan pada babak baru dalam kasus pembunuhan paling mengerikan yang mengguncang publik. Eko Fitrianto (38), warga Dusun Plosowedi, Desa Plosogeneng, Kecamatan Jombang, berdiri di ambang hukuman terberat setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutnya dengan pidana penjara seumur hidup. Tuntutan ini diajukan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jombang pada Rabu, 10 September 2025, menyusul serangkaian fakta mengerikan mengenai pembunuhan dan mutilasi yang ia lakukan terhadap rekan kerjanya, Agus Sholeh (37). Kasus ini bukan hanya tentang hilangnya nyawa, melainkan juga tentang kekejian yang tak terbayangkan, mengguncang rasa kemanusiaan dan menuntut keadilan seadil-adilnya.
Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Faisal Akbaruddin Taqwa ini menjadi sorotan utama, menandai momen krusial dalam pencarian keadilan bagi korban dan keluarganya. JPU Misbahul Amin dari Kejaksaan Negeri Jombang dengan tegas membacakan tuntutan, mendakwa Eko Fitrianto telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini secara spesifik mengatur tentang pembunuhan berencana, sebuah kejahatan yang dianggap dilakukan dengan niat jahat yang telah dipikirkan matang-matang sebelumnya, bukan sekadar respons spontan dalam amarah sesaat. Pembunuhan berencana membawa konsekuensi hukum yang jauh lebih berat karena adanya unsur perencanaan, yang dalam hukum pidana menunjukkan tingkat kesadaran dan kehendak jahat yang lebih tinggi dari pelaku. "Kami selaku JPU dari Kejaksaan Negeri Jombang meminta agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan penjara seumur hidup, karena perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP," ujar JPU Amin, suaranya menggema di ruang sidang, menegaskan keseriusan tuntutan yang diajukan.
Lebih lanjut, JPU juga menambahkan tuntutan sekunder dengan Pasal 338 KUHP, yang mengatur tentang pembunuhan biasa. Penambahan pasal ini merupakan strategi hukum untuk memastikan bahwa terdakwa tetap dapat dihukum jika unsur pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) tidak terbukti secara sempurna atau tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan oleh Majelis Hakim, namun unsur pembunuhan tetap terpenuhi. Dengan demikian, dakwaan jaksa memiliki dua lapis kekuatan hukum yang saling melengkapi, menjamin bahwa Eko Fitrianto tidak akan lolos dari jeratan hukum atas tindakan menghilangkan nyawa Agus Sholeh. "Perbuatan terdakwa juga memenuhi unsur tindak pidana pembunuhan. Maka kami juga menuntutnya dengan pasal 338 KUHP," lanjut Amin, menunjukkan keseriusan jaksa dalam menjerat terdakwa dengan tuntutan maksimal yang diperbolehkan oleh undang-undang. Setelah pembacaan tuntutan yang mencekam, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Eko Fitrianto untuk berkonsultasi dengan penasihat hukumnya. Terdakwa, melalui kuasa hukumnya, kemudian memastikan akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan pada sidang berikutnya, sebuah langkah hukum standar untuk membantah atau meringankan tuntutan jaksa, atau bahkan meminta pembebasan jika ada argumen yang kuat. Proses hukum yang panjang ini diharapkan dapat mengungkap seluruh kebenaran di balik tragedi yang memilukan ini dan membawa keadilan yang sesungguhnya.
Akar dari kasus pembunuhan dan mutilasi yang mengerikan ini berawal dari sebuah malam yang seharusnya biasa saja, namun berujung pada malapetaka. Pada malam Sabtu, 8 Februari 2025, Eko Fitrianto dan korban, Agus Sholeh, yang keduanya merupakan rekan kerja di sebuah pabrik kayu, memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengonsumsi minuman keras. Mereka melakukannya di area persawahan Dusun Dukuhmireng, Desa Dukuharum, sebuah lokasi yang sunyi dan terpencil, jauh dari pengawasan publik. Konsumsi alkohol seringkali memicu emosi yang tak terkendali dan memperburuk konflik, dan malam itu pun tidak berbeda. Ketegangan antara Eko dan Agus memuncak menjadi cekcok mulut yang panas, diduga karena perselisihan sepele yang diperparah oleh pengaruh alkohol. Perdebatan itu dengan cepat berubah menjadi kekerasan fisik. Eko, dalam kondisi mabuk dan dikuasai amarah yang meluap-luap, melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi ke arah Agus hingga rekannya itu tak sadarkan diri. Detik-detik itu menjadi awal dari babak paling kelam dalam hidup keduanya, mengubah persahabatan menjadi permusuhan mematikan.
Dalam keadaan Agus yang sudah tak berdaya dan pingsan, Eko Fitrianto tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Alih-alih mencari pertolongan medis atau melaporkan kejadian tersebut, ia mengambil keputusan keji yang akan menghantuinya seumur hidup. Ia menyeret tubuh Agus yang lemas ke saluran irigasi sawah yang gelap dan dingin, sebuah tempat tersembunyi yang menambah kesan mengerikan pada tindakan selanjutnya. Di sanalah, dengan kegelapan malam sebagai saksi bisu, Eko melakukan tindakan yang melampaui batas kemanusiaan: memutilasi tubuh Agus. Ia menggunakan "sosrok," sebuah alat tajam yang lazim digunakan di pabrik kayu untuk menguliti atau membersihkan kayu, untuk memotong-motong tubuh korban. Kekejian ini menunjukkan tingkat kekerasan dan dehumanisasi yang ekstrem, seolah-olah ingin menghilangkan jejak atau bahkan identitas korban. Tindakan mutilasi ini tidak hanya bertujuan untuk menyamarkan identitas korban atau menyulitkan proses identifikasi, tetapi juga bisa menjadi ekspresi kemarahan yang melampaui batas atau upaya untuk menghancurkan secara simbolis. Potongan-potongan tubuh Agus yang malang kemudian dibuang secara terpisah di beberapa lokasi yang berbeda, sebuah upaya putus asa untuk menyamarkan kejahatan dan mempersulit penyelidikan, sekaligus menambahkan dimensi horor pada kasus ini yang akan sulit dilupakan oleh masyarakat Jombang.
Upaya Eko untuk menyembunyikan kejahatannya tidak bertahan lama, karena kebenaran selalu menemukan jalannya untuk terkuak. Empat hari setelah kejadian pembunuhan, pada Rabu, 12 Februari 2025, kengerian mulai terungkap. Seorang pencari ikan yang sedang mencari rezeki di saluran irigasi sawah Dusun Dukuhmireng, Desa Dukuharum, dikejutkan oleh penemuan yang mengerikan: sesosok bagian tubuh manusia tanpa kepala. Penemuan ini segera menggemparkan warga sekitar dan memicu kepanikan massal. Kabar penemuan potongan tubuh ini cepat menyebar di seluruh Jombang. Sore harinya di hari yang sama, warga lainnya menemukan potongan kepala manusia di pinggir Sungai Konto, Desa Pesantren, Kecamatan Tembelang, yang berjarak tidak terlalu jauh dari lokasi penemuan pertama. Dua penemuan terpisah ini, dengan cepat dihubungkan oleh aparat kepolisian, mengarah pada kesimpulan yang mengerikan bahwa ada korban mutilasi di Jombang. Potongan-potongan tubuh ini, setelah melalui proses identifikasi forensik yang cermat oleh tim medis dan kepolisian, akhirnya dipastikan milik Agus Sholeh, mengonfirmasi identitas korban yang sebelumnya menjadi misteri.
Penemuan potongan tubuh korban memicu penyelidikan intensif dari pihak kepolisian Polres Jombang, yang segera membentuk tim gabungan untuk mengungkap pelaku di balik kekejian ini. Petugas melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) secara menyeluruh, mengumpulkan bukti-bukti forensik yang krusial seperti jejak kaki, sidik jari, serat kain, hingga sisa-sisa material yang mungkin ditinggalkan pelaku. Mereka juga memeriksa saksi-saksi potensial di sekitar lokasi penemuan dan tempat kejadian awal, serta menelusuri setiap petunjuk yang ada, sekecil apa pun. Keterangan dari rekan-rekan kerja Agus, serta informasi mengenai pergaulan dan kebiasaan korban, menjadi titik awal yang vital dalam penyelidikan. Polisi juga memanfaatkan teknologi canggih dan analisis sidik jari serta DNA dari potongan tubuh untuk mempercepat proses identifikasi dan mengaitkannya dengan orang hilang di daerah tersebut. Dalam waktu kurang dari seminggu, kerja keras aparat membuahkan hasil signifikan. Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang terkumpul, pada 19 Februari 2025, Eko Fitrianto berhasil ditangkap di rumahnya di Desa Plosogeneng, Kecamatan Jombang. Penangkapan ini mengakhiri persembunyian pelaku dan membawa harapan besar bagi keluarga korban untuk mendapatkan keadilan yang layak.
Motif di balik pembunuhan berencana seringkali kompleks, namun tindakan mutilasi menambah lapisan kekejaman yang lebih dalam dan menunjukkan tingkat keparahan kejahatan yang luar biasa. Selain upaya untuk menghilangkan jejak dan menyulitkan identifikasi korban, tindakan memotong-motong tubuh dapat mengindikasikan kemarahan yang sangat ekstrem, upaya untuk mendehumanisasi korban sepenuhnya, atau bahkan tanda gangguan psikologis yang serius pada pelaku. Dalam kasus Eko Fitrianto, setelah cekcok yang berujung pada pingsannya Agus, keputusan untuk memutilasi menunjukkan adanya niat jahat yang mendalam dan perencanaan untuk menyembunyikan kejahatan tersebut. Hal ini juga dapat diartikan sebagai upaya untuk menghapus keberadaan korban, tidak hanya dari kehidupan tetapi juga dari wujud fisiknya, dalam sebuah tindakan yang penuh kebencian dan kekejaman. Penggunaan alat kerja sehari-hari, "sosrok," juga mengindikasikan bahwa tindakan itu dilakukan dengan presisi yang mengerikan dan tanpa keraguan, bukan sekadar kekerasan impulsif semata. Ini bukan hanya pembunuhan, melainkan sebuah penghancuran identitas dan martabat manusia, mencerminkan kekejian yang sulit diterima akal sehat.
Kasus mutilasi di Jombang ini tidak hanya menjadi catatan kelam dalam sejarah kriminalitas lokal, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat secara keseluruhan. Kejahatan semacam ini menimbulkan rasa takut, kecemasan, dan pertanyaan tentang keamanan di lingkungan sekitar. Warga Dusun Dukuhmireng dan Desa Dukuharum, tempat ditemukannya potongan tubuh, merasakan dampak psikologis yang signifikan, khawatir akan keselamatan mereka sendiri dan orang-orang terdekat. Peristiwa ini juga menjadi pengingat pahit akan bahaya konsumsi alkohol yang berlebihan, yang seringkali menjadi pemicu konflik, hilangnya kendali diri, dan tindakan kriminal yang tidak terpikirkan dalam keadaan sadar. Keluarga korban, Agus Sholeh, tentu saja merasakan duka yang tak terhingga dan menuntut keadilan yang setimpal atas kepergian tragis anggota keluarga mereka. Kasus ini juga menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tegas dan responsif untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan keji tidak dapat lolos dari konsekuensi perbuatannya, serta untuk mengembalikan rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Dengan tuntutan penjara seumur hidup yang telah dibacakan, proses hukum akan memasuki babak pembelaan atau pledoi dari pihak terdakwa. Pledoi akan menjadi kesempatan bagi Eko Fitrianto dan penasihat hukumnya untuk menyampaikan argumen yang meringankan atau bahkan membantah dakwaan JPU, dengan harapan mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau bahkan pembebasan. Setelah pledoi, JPU akan memiliki kesempatan untuk mengajukan replik (tanggapan atas pledoi), yang kemudian akan ditanggapi lagi oleh terdakwa melalui duplik. Puncak dari semua proses ini adalah pembacaan vonis oleh Majelis Hakim, yang akan memutuskan apakah Eko Fitrianto terbukti bersalah sesuai dengan dakwaan dan hukuman apa yang pantas diterimanya, berdasarkan bukti-bukti yang terungkap selama persidangan dan argumentasi dari kedua belah pihak. Apabila vonis tidak memuaskan salah satu pihak, jalur banding atau kasasi di pengadilan yang lebih tinggi masih terbuka, menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia memberikan kesempatan bagi setiap pihak untuk mencari keadilan maksimal. Masyarakat Jombang, dan seluruh mata yang mengikuti kasus ini, menanti keputusan akhir yang diharapkan dapat membawa keadilan dan efek jera yang sepadan dengan kekejian kejahatan yang telah terjadi.
Kasus Eko Fitrianto adalah pengingat brutal tentang kapasitas manusia untuk melakukan kekejian yang tak terbayangkan. Tuntutan seumur hidup yang diajukan oleh JPU mencerminkan keseriusan dan bobot kejahatan yang dilakukan, sebuah kejahatan yang tidak hanya merenggut nyawa tetapi juga menghancurkan martabat manusia. Ini bukan sekadar angka atau pasal dalam undang-undang, melainkan cerminan dari hilangnya nyawa secara tragis dan kebiadaban yang menyertai tindakan tersebut. Sementara proses hukum terus berjalan, harapan akan keadilan bagi Agus Sholeh dan keluarganya tetap menjadi prioritas utama. Semoga putusan pengadilan nanti dapat memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya dan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang konsekuensi fatal dari tindakan yang dipenuhi amarah dan kekejaman.
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id