Islah Bahrawi Sindir Kejagung: Pamer Sitaan Triliunan, Giliran Silfester Matutina "Ciut"?

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) asal Madura, Islah Bahrawi, kembali melontarkan kritik pedas terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penanganan kasus korupsi. Kali ini, sorotan tajamnya tertuju pada ketidakmampuan Kejagung dalam mengeksekusi Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, yang telah divonis 1,6 tahun penjara. Islah menilai, percuma Kejagung gembar-gembor mengungkap kasus korupsi bernilai fantastis dan memamerkan hasil sitaan bergunung-gunung, jika di hadapan seorang Silfester Matutina saja nyalinya menciut.

Kritik pedas Islah Bahrawi ini muncul di tengah sorotan publik terhadap lambannya penegakan hukum terhadap Silfester Matutina. Padahal, desakan untuk segera mengeksekusi orang dekat mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu telah disuarakan oleh sejumlah tokoh nasional. Islah Bahrawi bahkan secara terang-terangan mempertanyakan keberanian Kejagung dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

"Percuma ngumumin pengungkapan korupsi milyaran sampe triliyunan. Pamer hasil sitaan bergunung-gunung. Mentersangkakan mantan menteri dan banyak orang-orang penting, sementara di hadapan Silfester saja bijinya ciut!," tulis Islah Bahrawi dengan nada sindiran yang kuat.

Pernyataan Islah ini seolah menjadi antitesis dari berbagai pencapaian yang selama ini dibanggakan Kejagung. Sebelumnya, Kejagung memang gencar mengumumkan pengungkapan kasus korupsi besar, termasuk kasus dugaan korupsi pada sektor pertambangan di Kepulauan Riau yang nilai sitaannya mencapai Rp7 triliun. Bahkan, proses penyerahan hasil sitaan negara tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, yang mengindikasikan bahwa kekayaan negara yang dikorupsi dari sektor pertambangan nilainya mencapai Rp300 triliun.

Namun, di mata Islah Bahrawi, semua pencapaian itu terasa hambar jika Kejagung gagal mengeksekusi seorang terpidana yang sudah jelas bersalah. Ia menilai, ketidakmampuan Kejagung dalam menangani kasus Silfester Matutina mencoreng citra lembaga tersebut dan menimbulkan pertanyaan besar tentang independensi dan profesionalisme Kejaksaan.

Kasus Silfester Matutina sendiri memang menjadi sorotan karena proses hukumnya yang terkesan lambat dan berlarut-larut. Padahal, sebelumnya sempat diwacanakan bahwa Silfester Matutina akan dieksekusi pada awal Agustus lalu. Namun, hingga kini, janji tersebut tak kunjung ditepati tanpa alasan yang jelas. Hal ini tentu menimbulkan spekulasi dan kecurigaan di kalangan masyarakat, yang mempertanyakan mengapa Kejagung seolah enggan untuk menindak tegas Silfester Matutina.

Islah Bahrawi bukan satu-satunya tokoh yang mengkritik Kejagung terkait kasus Silfester Matutina. Sejumlah pengamat hukum dan aktivis antikorupsi juga menyuarakan kekecewaan mereka terhadap lambannya penegakan hukum dalam kasus ini. Mereka menilai, ketidakmampuan Kejagung dalam mengeksekusi Silfester Matutina dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan memberikan kesan bahwa hukum dapat dipermainkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.

Kritik keras yang dilontarkan Islah Bahrawi terhadap Kejagung ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi lembaga tersebut untuk berbenah diri dan meningkatkan kinerja dalam penegakan hukum. Kejagung harus membuktikan bahwa mereka benar-benar independen dan profesional dalam menjalankan tugasnya, tanpa pandang bulu dan tanpa takut terhadap tekanan dari pihak manapun.

Selain itu, Kejagung juga harus transparan dan akuntabel dalam setiap proses penegakan hukum yang dilakukan. Masyarakat berhak tahu apa yang sedang dilakukan Kejagung dan mengapa suatu kasus ditangani dengan cara tertentu. Dengan transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan publik terhadap Kejagung dapat ditingkatkan dan citra lembaga tersebut dapat dipulihkan.

Kasus Silfester Matutina menjadi ujian berat bagi Kejagung. Jika Kejagung berhasil mengeksekusi Silfester Matutina dan menuntaskan kasus ini secara profesional dan transparan, maka kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut akan meningkat. Namun, jika Kejagung gagal atau terus menunda-nunda eksekusi, maka citra lembaga tersebut akan semakin terpuruk dan kepercayaan publik akan semakin menurun.

Oleh karena itu, Kejagung harus segera mengambil tindakan tegas dan menunjukkan kepada publik bahwa mereka serius dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kejagung harus membuktikan bahwa mereka tidak "ciut" di hadapan siapapun, termasuk Silfester Matutina.

Kritik Islah Bahrawi ini juga menjadi pengingat bagi seluruh aparat penegak hukum di Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Hukum harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu, agar keadilan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, karena hal itu dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap negara.

Sebagai warga negara, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kinerja aparat penegak hukum dan memberikan kritik yang konstruktif jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Dengan partisipasi aktif dari masyarakat, diharapkan penegakan hukum di Indonesia dapat semakin baik dan keadilan dapat ditegakkan bagi seluruh warga negara.

Kasus Silfester Matutina adalah contoh nyata bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Namun, dengan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, diharapkan tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi dan penegakan hukum di Indonesia dapat semakin baik di masa depan.

Islah Bahrawi telah memberikan kontribusi yang berharga dengan mengkritik Kejagung terkait kasus Silfester Matutina. Kritik ini diharapkan dapat menjadi pemicu perubahan positif dalam penegakan hukum di Indonesia. Mari kita dukung upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum di Indonesia, agar keadilan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara.

Exit mobile version