Jaringan Korupsi Dana Hibah Pokmas DPRD Jatim Terkuak: KPK Tetapkan Tiga Warga Tulungagung, Termasuk Eks Kades, sebagai Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik rasuah di berbagai tingkatan pemerintahan, kali ini dengan menetapkan tiga warga Kabupaten Tulungagung sebagai tersangka dalam kasus korupsi Dana Hibah Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang melibatkan anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2022. Ketiga individu yang kini berstatus tersangka tersebut adalah Sukar, mantan Kepala Desa Karanganom, Kecamatan Kauman, serta dua pihak swasta bernama Wawan Kristiawan dan Ahmad Royan. Penetapan ini menjadi babak baru dalam rangkaian panjang pengungkapan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dan mencederai kepercayaan publik.

Sukar, Wawan Kristiawan, dan Ahmad Royan diduga kuat memiliki peran sentral sebagai pemberi suap. Mereka menyuap sejumlah anggota legislatif di DPRD Jawa Timur dengan tujuan tunggal: memastikan proposal dana hibah Pokmas yang diajukan dapat disetujui dan dicairkan. Modus operandi semacam ini, di mana individu atau kelompok harus menyogok pejabat publik untuk mendapatkan hak yang seharusnya bisa diperoleh secara transparan dan akuntabel, merupakan akar permasalahan yang sering ditemui dalam kasus-kasus korupsi dana hibah. Praktik ini secara langsung mengkhianati esensi dari dana hibah itu sendiri, yang seharusnya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan di tingkat komunitas.

Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan secara rinci bahwa pengungkapan kasus ini melibatkan jaringan yang cukup luas. Dari total 21 tersangka yang telah ditetapkan KPK, empat di antaranya merupakan penerima suap, sementara 17 tersangka lainnya, termasuk ketiga warga Tulungagung ini, berperan sebagai pihak yang aktif memberi suap. Angka ini mengindikasikan adanya sebuah ekosistem korupsi yang terstruktur, di mana terdapat pihak-pihak yang siap menerima imbalan ilegal dan pihak-pihak yang bersedia memberikan suap demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Dalam rilis resmi yang dikeluarkan KPK, identitas keempat penerima suap telah diungkap ke publik. Mereka adalah mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi; dua mantan Wakil Ketua, Anwar Sadad dan Achmad Iskandar; serta staf pribadi Anwar Sadad, Bagus Wahyudiono. Para pejabat dan staf ini diduga menggunakan kewenangan dan posisi mereka untuk memuluskan pencairan dana hibah Pokmas dengan imbalan uang. Peran mereka sebagai penerima suap sangat krusial dalam rantai korupsi ini, karena tanpa persetujuan atau fasilitas dari mereka, praktik "ijon" dana hibah mungkin tidak akan terlaksana secara masif. Penangkapan para petinggi legislatif ini menunjukkan bahwa KPK tidak pandang bulu dalam menindak pelaku korupsi, bahkan jika mereka menduduki jabatan strategis.

Asep Guntur Rahayu lebih lanjut menguraikan bagaimana skema penyaluran dana hibah ini menyimpang jauh dari tujuan awalnya. Dana yang seharusnya murni disalurkan berdasarkan kebutuhan riil dan mendesak masyarakat, justru diatur melalui sistem "ijon" yang culas. Sistem "ijon" dalam konteks ini berarti para calon penerima hibah, baik individu maupun kelompok, diwajibkan untuk membayar sejumlah uang muka atau "komisi" terlebih dahulu kepada pihak-pihak tertentu, termasuk anggota dewan atau perantaranya, agar proposal mereka bisa disetujui dan dana hibah dapat dicairkan. Ini adalah bentuk gratifikasi atau suap yang terang-terangan, di mana akses terhadap dana publik diperjualbelikan demi keuntungan pribadi.

Proses pengajuan dana hibah secara normal dimulai ketika anggota DPRD melakukan masa reses, sebuah periode di mana mereka turun langsung ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi masyarakat. "Pokok-pokok pikiran" (Pokir) yang dihasilkan dari aspirasi ini kemudian seharusnya disusun menjadi proposal-proposal yang mencerminkan kebutuhan konkret di lapangan, seperti pembangunan infrastruktur, program pemberdayaan ekonomi, atau kegiatan sosial budaya. Namun, dalam kasus ini, Asep menjelaskan bahwa kenyataannya justru sekelompok pihak yang menginginkan dana hibah tersebut dengan menggunakan sistem "ijon" supaya bisa mendapatkannya, bukan murni berdasarkan prioritas atau urgensi masyarakat. Hal ini menciptakan distorsi dalam alokasi anggaran daerah, di mana proyek-proyek yang seharusnya berjalan terhambat atau bahkan tidak terealisasi karena dana telah dipotong untuk kepentingan pribadi oknum-oknum tersebut.

Kasus korupsi dana hibah Pokmas ini merupakan pengembangan signifikan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Desember 2022. Kala itu, Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak, diciduk KPK terkait kasus serupa. OTT Sahat Tua Simanjuntak menjadi pintu gerbang bagi KPK untuk membongkar jaringan korupsi yang lebih luas dan terstruktur di lingkungan DPRD Jawa Timur. Setelah OTT tersebut, sejumlah pihak diperiksa sebagai saksi untuk mengumpulkan bukti dan keterangan yang mengarah pada penetapan tersangka-tersangka baru. Proses penyelidikan yang panjang dan mendalam ini akhirnya membuahkan hasil dengan penetapan 21 tersangka, termasuk ketiga warga Tulungagung tersebut.

Sukar, mantan Kepala Desa Karanganom, merupakan salah satu saksi yang sempat diperiksa secara intensif oleh KPK. Keterlibatannya dalam kasus ini terungkap lebih jauh dalam proses penyelidikan. Bahkan, ia sempat dikenai pencegahan bepergian ke luar negeri oleh KPK, sebuah langkah antisipasi untuk memastikan yang bersangkutan tidak melarikan diri dan selalu kooperatif dalam proses hukum. Setelah serangkaian pemeriksaan dan perkembangan penyidikan, Sukar akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala desa pada tahun 2024. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah ingin fokus mengurus keluarga, namun kini dengan statusnya sebagai tersangka, publik dapat melihat adanya korelasi antara pengunduran diri tersebut dengan penyelidikan yang sedang berlangsung. Ini menunjukkan bahwa tekanan investigasi KPK seringkali mendorong individu untuk mengambil keputusan drastis, termasuk melepaskan jabatan publik.

KPK menegaskan bahwa penetapan tersangka ini adalah bagian dari upaya serius untuk membersihkan praktik korupsi yang merajalela dalam pengelolaan dana publik. Dana hibah, yang seharusnya menjadi alat untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, seringkali menjadi celah bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri. Kasus ini juga menjadi peringatan keras bagi para pejabat publik dan pihak swasta bahwa KPK akan terus memburu dan menindak siapa pun yang terlibat dalam praktik korupsi, tanpa memandang jabatan atau latar belakang. Proses hukum selanjutnya akan berlanjut dengan pemberkasan perkara, penyerahan ke pengadilan, hingga putusan hakim yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku.

Dampak dari praktik korupsi dana hibah ini tidak hanya terbatas pada kerugian finansial negara. Lebih jauh, ia merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan, khususnya lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat. Ketika dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan publik justru dikorupsi, maka pembangunan di daerah akan terhambat, program-program kesejahteraan tidak berjalan optimal, dan masyarakat lah yang pada akhirnya menjadi korban. Oleh karena itu, langkah KPK ini diharapkan dapat mengembalikan integritas lembaga-lembaga publik dan memastikan bahwa dana rakyat benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap penyaluran dana hibah, baik dari internal pemerintahan maupun dari masyarakat sipil. Transparansi dalam setiap tahapan, mulai dari pengajuan proposal, seleksi, hingga pencairan dan pertanggungjawaban, adalah kunci untuk mencegah terulangnya praktik-praktik korupsi serupa. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan tanpa kompromi seperti yang dilakukan KPK menjadi pilar utama dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Keberanian KPK dalam membongkar jaringan korupsi yang melibatkan mantan pejabat tinggi DPRD Jatim dan pihak-pihak dari tingkat desa menunjukkan keseriusan dalam memerangi korupsi yang telah mengakar.

Penetapan ketiga warga Tulungagung sebagai tersangka ini adalah bagian dari komitmen KPK untuk menuntaskan kasus korupsi dana hibah yang telah merugikan miliaran rupiah uang negara. Masyarakat Tulungagung, khususnya warga Desa Karanganom, Kecamatan Kauman, kini menantikan keadilan ditegakkan dan para pelaku menerima hukuman yang setimpal. Kasus ini menjadi cerminan bahwa praktik korupsi seringkali melibatkan kolaborasi antara pihak internal pemerintahan dengan pihak eksternal, dan penindakannya memerlukan investigasi yang komprehensif untuk membongkar seluruh jaringan. KPK akan terus bekerja keras untuk memastikan setiap rupiah uang rakyat digunakan sebagaimana mestinya, bukan untuk memperkaya segelintir oknum.

Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita rakyatindependen.id

Exit mobile version