Jembatan Inovasi dan Tradisi: AI Merevolusi Desain Batik di PCU, Membawa Warisan Budaya Lebih Dekat dengan Generasi Muda.

Di tengah derasnya gelombang digitalisasi global yang merambah hampir setiap aspek kehidupan, upaya untuk menjembatani kekayaan tradisi dengan kemajuan teknologi modern menjadi semakin krusial. Dalam konteks Indonesia, di mana batik diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, pelestarian dan pengembangan batik menjadi prioritas utama. Petra Christian University (PCU) di Surabaya muncul sebagai pionir dalam inovasi ini, menghadirkan sebuah terobosan unik: pemanfaatan teknologi Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk menciptakan motif batik baru yang tidak hanya relevan dengan zaman, tetapi juga tetap teguh berakar pada nilai-nilai dan estetika tradisional Indonesia.

Inisiatif ini dipelopori oleh Aniendya Christianna, seorang dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) PCU yang akrab disapa Niendy. Ia melihat potensi AI sebagai alat yang kuat untuk memperkaya khazanah desain batik tanpa menggeser esensi budaya yang melekat. "Kami mencoba menjembatani masa lalu dan masa kini dengan memanfaatkan teknologi mutakhir saat ini, yaitu AI," jelas Niendy. "Dengan mengeksplor kreativitas dari objek-objek yang ada di sekitar kita maupun di sekitar mahasiswa, objek tersebut bisa dijadikan sebagai motif batik." Pendekatan ini secara efektif membuka ruang eksplorasi yang tak terbatas, memungkinkan desainer dan bahkan masyarakat umum untuk bereksperimen dengan elemen visual sehari-hari, mengubahnya menjadi inspirasi motif batik yang segar dan modern.

Niendy dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan AI bukanlah untuk menggantikan peran vital para perajin batik yang telah melestarikan seni ini secara turun-temurun. Sebaliknya, AI berfungsi sebagai katalisator, menginspirasi dan mempercepat proses eksplorasi motif baru yang diharapkan akan lebih dekat dan menarik bagi generasi muda. Keunggulan utama dari metode ini adalah efisiensi waktu yang luar biasa. "Kelebihannya, dalam waktu singkat kita bisa menghasilkan berbagai motif batik. Saya sudah menyimpan sekitar 50 motif dari satu kali percobaan saja," ungkap Niendy, menyoroti kecepatan produksi ide yang belum pernah terbayangkan sebelumnya dalam desain batik konvensional. Meski demikian, ia mengakui bahwa teknologi ini masih memiliki ruang untuk terus dikembangkan dan disempurnakan.

Saat ini, fokus Niendy masih tertuju pada metode Batik Parang, salah satu motif klasik dengan makna filosofis yang mendalam, sering dikaitkan dengan kekuatan dan kesinambungan. Namun, ia juga tengah gencar mengeksplorasi cara untuk menghasilkan motif Batik Kawung, yang dikenal dengan pola geometrisnya yang terinspirasi dari buah kawung atau kolang-kaling, dengan mengombinasikan objek-objek di sekitar. Niendy optimis bahwa teknologi, alih-alih menjadi ancaman, justru dapat memperluas cakrawala desain batik, membuka peluang untuk interpretasi baru tanpa harus meninggalkan akar tradisinya yang kaya. "Harapannya, AI ini tidak mematikan UMKM atau industri kreatif, tetapi mendukung mereka untuk mengeksplor motif batik yang lebih disukai generasi muda," imbuhnya, menekankan potensi AI sebagai alat pemberdayaan ekonomi kreatif.

Penting untuk dipahami bahwa meskipun motif dihasilkan melalui AI, proses pembuatan batik itu sendiri tetap mempertahankan teknik tradisional yang otentik. Niendy menjelaskan, "Pembuatan batik akan tetap menggunakan malam cair dengan teknik manual dan tradisional." Ini berarti seni membatik dengan canting atau cap, serta pewarnaan alami, tetap menjadi inti dari proses produksi. Tantangan yang sering dihadapi adalah bagaimana menciptakan motif-motif yang secara visual menarik dan relevan dengan selera anak muda, yang terkadang merasa desain tradisional terlalu kaku atau kurang ekspresif. "Jadi di sinilah generate image menggunakan AI ini harapannya bisa menjadi solusi," terangnya, menunjukkan bagaimana AI mengisi celah antara desain yang inovatif dan eksekusi yang otentik.

Niendy juga membagikan pengalaman di balik layar pembuatan motif batik menggunakan Gemini AI, salah satu platform kecerdasan buatan terkemuka. Proses ini, katanya, tentu saja membutuhkan sebuah prompt atau instruksi tekstual yang sangat spesifik dan terperinci. Hal menariknya, untuk menghasilkan satu prompt yang efektif dan presisi, ia mengaku membutuhkan waktu sekitar satu setengah bulan. "Kelihatannya sederhana, tapi satu paragraf itu bisa terus dikembangkan agar bisa lebih presisi, simetris, dan sesuai dengan kaidah batik tradisional," jelasnya. Ini menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam seni bukan sekadar memasukkan kata kunci, melainkan sebuah bentuk seni baru yang menuntut keahlian dalam rekayasa prompt (prompt engineering), di mana pemahaman mendalam tentang estetika batik dan kemampuan komunikasi dengan AI menjadi kunci.

Kembali menegaskan visinya, Niendy sekali lagi menekankan bahwa AI adalah alat inspirasi, bukan pengganti. Tujuannya adalah untuk mendorong eksplorasi motif yang lebih luas, yang pada akhirnya dapat menjadikan batik lebih akrab dan dicintai oleh anak muda. Inovasi ini sendiri menjadi salah satu sorotan utama dalam rangkaian perayaan Hari Sumpah Pemuda 2025, sekaligus menyambut Bulan Batik Nasional yang diperingati setiap Oktober.

Dalam sebuah kegiatan bertajuk "Sumpah Pemuda: Refleksi Cinta Tanah Air Melalui Batik AI Future Code," yang digelar di Perpustakaan PCU pada Senin, 27 Oktober 2025, mahasiswa diajak untuk terlibat langsung dalam proses menciptakan motif batik kontemporer berbasis AI. Acara ini bukan sekadar pameran, melainkan sebuah lokakarya interaktif yang mengintegrasikan semangat nasionalisme dengan kemajuan teknologi. Pameran ini menjadi simbol kuat bahwa cinta tanah air dapat diungkapkan melalui berbagai medium, termasuk kreativitas digital dan teknologi. Niendy menambahkan, "Pameran ini bukan hanya selebrasi kekayaan batik Indonesia, tetapi juga wujud nyata Tri Dharma Perguruan Tinggi: penelitian, pengabdian, dan pengajaran ilmu pengetahuan." Ini menunjukkan komitmen PCU dalam mengaplikasikan hasil penelitian untuk kemajuan masyarakat dan pendidikan.

Melalui pameran interaktif tersebut, pengunjung, khususnya mahasiswa, diajak terlibat secara aktif. Mereka diberi kesempatan unik untuk menciptakan motif batik kontemporer mereka sendiri berdasarkan template prompt yang telah disediakan. Inspirasi datang dari keseharian yang berkaitan erat dengan semangat Sumpah Pemuda—mulai dari motif Pancasila, Bendera Merah Putih, hingga tokoh nasional pahlawan seperti W.R. Supratman. Proses ini tidak hanya menstimulasi kreativitas tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan dan apresiasi terhadap warisan budaya dan sejarah bangsa. "Semoga dengan adanya kegiatan ini, generasi penerus tetap bisa mengenang jasa pahlawan sekaligus menghargai budaya dengan cara yang kreatif, imajinatif, dan menyenangkan. Menciptakan motif batik yang belum pernah ada sebelumnya, sesuai dengan kepribadian masing-masing," tambah Niendy, berharap inovasi ini akan menjadi jembatan bagi anak muda untuk lebih terhubung dengan identitas bangsa.

Selain inovasi Batik AI, PCU juga menghadirkan pameran "Memetik Pucuk Batik", sebuah koleksi yang menampilkan keindahan dua wajah batik yang berbeda namun sama-sama kaya akan cerita: Batik Dolly dan Batik Belanda. Batik Dolly, yang bukan sekadar karya kontemporer, hadir dengan dominasi warna ungu dan motif urban yang ekspresif. Batik ini menjadi bukti nyata bahwa seni memiliki kekuatan transformatif, mampu mengubah stigma kelam sebuah daerah menjadi simbol keindahan, harapan, dan kebangkitan. Sementara itu, Batik Belanda menuturkan kisah lintas budaya yang menarik, sebuah perpaduan estetika dan sejarah yang memperkaya identitas batik Indonesia, mencerminkan interaksi budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Melalui semua inisiatif ini, PCU menunjukkan bagaimana teknologi canggih seperti AI dapat menjadi sekutu dalam upaya pelestarian budaya. Ini bukan tentang menggantikan tradisi, melainkan tentang memberdayakannya, membuatnya relevan, dan memungkinkannya untuk berevolusi dan menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda. Batik, dengan segala keindahan dan filosofinya, kini memiliki jalan baru untuk terus hidup, berinovasi, dan menginspirasi di era digital. Langkah PCU ini diharapkan dapat menjadi model bagi institusi lain untuk terus mencari cara kreatif dalam merayakan dan menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi. Inovasi AI dalam batik bukan hanya tentang motif baru, tetapi juga tentang cara baru mencintai dan menghargai Indonesia.

(rakyatindependen.id)

Exit mobile version