Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Tuban kembali menyuarakan desakan keras kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat, menuntut realisasi segera atas janji-janji yang telah diberikan terkait nasib ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdampak kebijakan relokasi dari area Alun-alun. Aksi advokasi ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap mandeknya komitmen pemerintah daerah yang telah menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan bagi para pedagang kecil tersebut. Kondisi Alun-alun Tuban, yang dulunya merupakan pusat keramaian dan denyut nadi ekonomi bagi PKL, kini telah berubah wajah menjadi ruang publik yang tertata rapi, namun di balik kerapian tersebut, tersimpan kisah getir para pedagang yang kehilangan lapak dan mata pencarian.
Kebijakan relokasi ini didasari oleh Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 11 Tahun 2018, khususnya Pasal 27 Ayat 1 huruf a, yang secara eksplisit melarang PKL untuk berjualan di kawasan Alun-alun. Tujuan penataan ini sejatinya mulia, yakni untuk menciptakan ruang kota yang lebih estetis, nyaman, dan mendukung sektor pariwisata. Namun, di tengah upaya mewujudkan visi kota yang lebih modern, janji-janji yang diucapkan pemerintah untuk memberikan solusi komprehensif kepada para PKL seolah menguap begitu saja. Akibatnya, alih-alih mendapatkan tempat baru yang layak dan mendukung usaha mereka, kondisi para pedagang justru semakin memprihatinkan, terjebak dalam ketidakpastian ekonomi yang mengancam keberlangsungan hidup keluarga mereka.
Ahmad Wafa Amrillah, Ketua PC PMII Tuban, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (26/9/2024), tidak dapat menyembunyikan keprihatinannya atas kelanjutan janji yang belum terwujud ini. "Dalam pertemuan antara perwakilan PKL dengan Pemkab Tuban yang berlangsung pada 27 Desember 2023, berbagai janji telah disampaikan oleh pihak pemerintah daerah. Namun, hingga saat ini, janji-janji tersebut tidak kunjung terealisasi, meninggalkan para pedagang dalam limbo ekonomi yang menyakitkan," tegas Wafa, menyoroti kronologi kekecewaan yang telah terakumulasi. Pertemuan akhir tahun tersebut seharusnya menjadi titik terang bagi PKL, namun justru berakhir menjadi rangkaian janji kosong.
Menurut Wafa, dampak relokasi ini jauh lebih parah dari yang diperkirakan. Sejak mereka dipaksa meninggalkan Alun-alun, banyak PKL yang terpaksa "gulung tikar" alias menghentikan usahanya secara permanen, atau beralih profesi dengan berat hati. Mereka yang masih bertahan pun menghadapi kenyataan pahit: omset penjualan mereka anjlok drastis, bahkan lebih dari 60%. Penurunan pendapatan sebesar ini bukan hanya sekadar angka statistik; ini berarti berkurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, kesulitan membayar sewa kontrakan, biaya pendidikan anak, bahkan sekadar membeli bahan makanan sehari-hari. Beberapa pedagang terpaksa berhutang demi menyambung hidup, memperparah beban ekonomi yang sudah ada. Kisah-kisah tentang pedagang bakso yang kini menjadi buruh serabutan, atau penjual gorengan yang terpaksa menjual aset pribadinya, menjadi bukti nyata krisis yang sedang terjadi. Mereka adalah tulang punggung keluarga yang kini terancam patah.
PMII Tuban juga menyoroti serangkaian upaya pertemuan yang telah dilakukan oleh perwakilan PKL dengan Bupati Tuban, Aditya Halindra Faridzky, yang sayangnya tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pada Februari 2024, Bupati sempat mengarahkan para PKL untuk mencoba lokasi baru yang telah disediakan selama dua bulan, dengan janji akan dilakukan evaluasi menyeluruh setelah periode tersebut berakhir. Harapan sempat membuncah di kalangan pedagang, namun dua bulan berlalu, dan omset mereka di lokasi baru ternyata tidak membaik, bahkan cenderung stagnan atau menurun karena kurangnya aksesibilitas dan minimnya kunjungan pembeli.
Meskipun omset menurun signifikan di lokasi percobaan, hasil dari kuesioner yang diberikan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, yakni Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan (Diskopumdag), tidak membuahkan solusi konkret. Para pedagang merasa bahwa data yang mereka sampaikan melalui kuesioner tersebut tidak direspons dengan kebijakan yang tepat sasaran. Pada April 2024, perwakilan PKL kembali menemui Bupati, yang saat itu berjanji akan membahas masalah ini lebih lanjut dengan dinas terkait untuk mencari jalan keluar. Namun, hingga PMII menggelar konferensi pers pada September 2024, janji tersebut belum juga terwujud dalam bentuk tindakan nyata. Para pedagang merasa dipermainkan dan diombang-ambingkan oleh janji-janji manis yang tak berujung.
Bahkan, serangkaian pertemuan di berbagai tempat, seperti di Fitness Tridarma pada 4 Juni 2024 dan di Pasar Sore pada 5 Juni 2024, juga tidak membawa perubahan yang signifikan bagi keberlangsungan usaha PKL. Pertemuan-pertemuan ini seringkali hanya berujung pada diskusi tanpa implementasi, atau hanya memberikan pelatihan dan arahan terkait administrasi dan perizinan usaha. Sementara pelatihan dan perizinan memang penting, PMII menekankan bahwa itu bukanlah akar permasalahan utama yang dihadapi PKL. "Para PKL membutuhkan lokasi berjualan yang strategis, akses pembeli yang stabil, dan dukungan infrastruktur yang memadai, bukan sekadar pelatihan yang tidak menyentuh kebutuhan nyata mereka," tegas Wafa. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi para PKL yang merasa bahwa jeritan hati mereka tidak didengar secara serius oleh pemerintah daerah. Rasa frustasi dan keputusasaan mulai menyelimuti, melihat masa depan usaha mereka yang semakin tidak jelas.
Sebagai bentuk protes dan tuntutan yang lebih terstruktur, PMII Tuban mengajukan empat langkah solusi konkret yang harus segera diambil oleh Pemkab Tuban demi menyelamatkan mata pencarian para PKL:
Pertama, Pemkab Tuban harus segera merelokasi kembali PKL ke area Alun-alun, namun dengan penataan ruang yang lebih strategis dan modern. PMII mengusulkan konsep penataan yang tidak hanya memperhatikan estetika kota, tetapi juga fungsi ekonomi. Ini bisa berarti penyediaan kios-kios permanen yang seragam dan rapi di area tertentu Alun-alun, atau pengaturan jam operasional yang memungkinkan PKL berjualan tanpa mengganggu ketertiban umum. Dengan demikian, Alun-alun dapat kembali menjadi pusat ekonomi yang hidup, sekaligus tetap menjaga keindahan dan kerapian kota. Solusi ini akan mengembalikan aksesibilitas PKL terhadap konsumen yang sudah terbiasa berbelanja di lokasi tersebut, yang merupakan faktor kunci keberhasilan usaha mereka.
Kedua, Pemkab Tuban perlu melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap kebijakan penataan ruang publik dan pemberdayaan PKL yang telah ada. Kajian ini harus melibatkan partisipasi aktif dari perwakilan PKL, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan bersifat inklusif dan berkelanjutan. Peninjauan ulang ini harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan, serta mencari titik temu antara kepentingan penataan kota dan keberlangsungan hidup masyarakat kecil. Apakah Perda No. 11/2018 sudah mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi mikro secara memadai? Apakah ada celah untuk revisi yang lebih humanis? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab.
Ketiga, DPRD Tuban diharapkan segera mengeluarkan rekomendasi resmi tertulis kepada Pemkab Tuban terkait penanganan masalah PKL ini. Rekomendasi dari lembaga legislatif memiliki bobot politis yang kuat dan diharapkan dapat menjadi tekanan bagi eksekutif untuk segera bertindak. DPRD sebagai representasi rakyat memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah dan memastikan hak-hak warga negara terpenuhi. Rekomendasi ini harus mencakup tenggat waktu yang jelas untuk implementasi solusi dan mekanisme pengawasan yang transparan.
Keempat, DPRD Tuban juga didorong untuk menginisiasi kebijakan turunan yang menjamin keberlangsungan usaha PKL di seluruh wilayah Kabupaten Tuban, tidak hanya di Alun-alun. Kebijakan ini bisa berupa peraturan bupati atau peraturan daerah yang lebih rinci mengenai zonasi khusus untuk PKL di berbagai titik strategis kota, program bantuan modal usaha mikro, pelatihan kewirausahaan yang relevan, atau kemudahan akses terhadap permodalan dan pemasaran produk. Dengan adanya kebijakan yang komprehensif, diharapkan para PKL dapat memiliki kepastian hukum dan ekonomi dalam menjalankan usahanya di masa depan. Ini adalah langkah proaktif untuk mencegah masalah serupa terulang di kemudian hari.
"Pemerintah daerah boleh semata-mata berlandaskan pada kepentingan penataan ruang kota demi estetika dan ketertiban. Namun, dalam setiap kebijakan, pemerintah juga wajib mempertimbangkan kondisi riil para pedagang yang menggantungkan hidup dari akses ruang publik tersebut," tutup Wafa dengan nada tegas. Ia menambahkan bahwa pembangunan kota yang modern dan tertata rapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil. Sebuah kota yang maju adalah kota yang mampu menyeimbangkan pembangunan fisik dengan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakatnya. PMII Tuban berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga hak-hak para PKL terpenuhi dan janji pemerintah direalisasikan. Mereka menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam mengawasi dan menekan Pemkab Tuban agar segera mengambil tindakan nyata demi keadilan bagi para pedagang kaki lima.
rakyatindependen.id