Probolinggo digegerkan dengan perseteruan sengit antara mantan Calon Wali Kota (Cawali) Probolinggo, Sri Setyo Pertiwi, yang akrab disapa Ning Tiwi, dengan seorang rekannya berinisial PE. Konflik ini memuncak setelah Ning Tiwi dituduh melakukan pencurian telepon genggam dan kini telah bergulir ke ranah hukum. Setelah memenuhi panggilan klarifikasi di Polres Probolinggo Kota pada Kamis (25/9/2025), Ning Tiwi akhirnya memilih untuk berbicara kepada publik dan media, meluruskan tuduhan yang dinilainya telah mencoreng nama baiknya. Dengan tegas, ia membantah keras tuduhan pencurian tersebut dan menegaskan bahwa akar permasalahan yang sebenarnya adalah sengketa utang piutang bernilai fantastis, mencapai ratusan juta rupiah, yang hingga kini belum terselesaikan oleh PE.
Ning Tiwi menjelaskan bahwa kehadirannya di kantor polisi bukan karena ia merasa bersalah atau sebagai seorang tersangka, melainkan murni sebagai bentuk itikad baik dan tanggung jawab moral untuk memberikan penjelasan serta meluruskan fakta-fakta yang ada di hadapan penyidik. "Saya hadir untuk menjelaskan, bukan karena merasa bersalah. Tuduhan pencurian ponsel itu tidak benar sama sekali dan sangat merugikan saya," ujarnya dengan nada penuh keyakinan pada Jumat (26/9/2025). Ia menambahkan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepadanya merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama yang sesungguhnya, yaitu kewajiban finansial PE kepadanya.
Lebih jauh, Ning Tiwi membeberkan kronologi permasalahan yang sebenarnya. Menurutnya, konflik yang kini bergulir ke meja hukum bermula dari sengketa utang piutang yang telah lama mengganjal. Ia menyebutkan bahwa PE memiliki kewajiban membayar utang ratusan juta rupiah kepadanya. Jumlah yang tidak sedikit ini, menurut Ning Tiwi, merupakan pinjaman atau investasi yang diberikan kepada PE untuk keperluan tertentu, namun hingga batas waktu yang disepakati, PE tak kunjung menunjukkan itikad baik untuk melunasinya. "Persoalannya jelas, ini soal piutang. Uang saya belum kembali, tapi malah saya yang dituduh macam-macam dan difitnah. Ini benar-benar terbalik dan tidak adil," tegasnya, menunjukkan rasa kecewa yang mendalam atas situasi yang ia hadapi.
Sengketa utang piutang ini, lanjut Ning Tiwi, telah berlangsung cukup lama dan berbagai upaya telah ia lakukan untuk menagih haknya secara kekeluargaan. Namun, setiap kali ia mencoba mencari penyelesaian, respons yang ia terima dari PE justru jauh dari kata kooperatif. Puncak dari ketegangan ini terjadi pada pertemuan terakhir mereka di sebuah kafe cuci mobil yang berlokasi di Kota Probolinggo. Kala itu, Ning Tiwi bermaksud untuk menagih kejelasan mengenai pengembalian uangnya atau setidaknya mendapatkan kepastian kapan pelunasan akan dilakukan. Ia datang dengan harapan bisa menemukan titik terang dan menyelesaikan masalah ini secara damai.
Namun, harapan Ning Tiwi pupus di tengah jalan. Alih-alih mendapatkan respons positif, ia justru dihadapkan pada respons emosional yang berlebihan dari PE. Dalam pertemuan tersebut, Ning Tiwi bahkan sempat menawarkan solusi berupa jaminan agar PE bisa segera melunasi utangnya. "Saya bahkan menawarkan opsi jaminan berupa sertifikat tanah. Saya meminta PE untuk memberikan jaminan tersebut agar saya punya pegangan dan keyakinan bahwa utang saya akan kembali. Tapi begitu saya meminta itu, dia langsung marah besar, suasananya langsung memanas dan tidak kondusif," ungkap Ning Tiwi, menggambarkan betapa tegangnya suasana kala itu. Penawaran atau permintaan jaminan sertifikat tanah ini merupakan langkah Ning Tiwi untuk mengamankan investasinya, mengingat nominal utang yang sangat besar.
Melihat suasana yang semakin memanas dan tidak memungkinkan untuk melanjutkan diskusi, Ning Tiwi akhirnya memutuskan untuk meninggalkan lokasi. Ia mengakui bahwa saat meninggalkan kafe, ia sempat membawa serta ponsel milik PE. Namun, ia dengan tegas membantah bahwa tindakannya itu didasari oleh niat untuk mencuri. Menurut Ning Tiwi, keputusannya membawa ponsel tersebut adalah sebagai upaya terakhir untuk menekan PE agar mau datang baik-baik ke rumahnya dan membicarakan permasalahan utang piutang ini secara serius. "Handphone itu hanya saya bawa pulang untuk memaksa dia datang baik-baik ke rumah saya, supaya masalah bisa dibicarakan secara kepala dingin. Tidak ada niat sedikit pun untuk mengambil haknya atau mencuri. Itu murni sebagai alat negosiasi agar PE mau merespons panggilan saya," jelasnya panjang lebar. Ia berharap, dengan "menyimpan" ponsel tersebut, PE akan merasa terdorong untuk segera menghubunginya dan mencari penyelesaian.
Sayangnya, langkah yang diambil Ning Tiwi tersebut justru berbuntut panjang dan membawa konsekuensi hukum yang tidak ia duga. PE, alih-alih datang untuk berdiskusi, justru melaporkan Ning Tiwi ke pihak kepolisian atas dugaan pencurian ponsel. Tak hanya itu, Ning Tiwi juga mendapati dirinya menjadi korban fitnah melalui akun media sosial TikTok bernama ‘ninis123’. Akun tersebut menyebarkan tuduhan-tuduhan yang sangat merugikan dan mencoreng nama baiknya di mata publik. "Fitnah itu sangat menyakitkan dan merusak reputasi saya sebagai seorang tokoh publik. Logikanya, buat apa saya mencuri ponsel, sementara orang itu masih punya utang ratusan juta kepada saya? Ini tidak masuk akal dan jelas merupakan upaya untuk mengaburkan masalah sebenarnya," katanya dengan nada kecewa dan putus asa. Ia merasa dirugikan secara material dan imaterial oleh tuduhan dan fitnah tersebut.
Menanggapi fitnah yang beredar di media sosial, Ning Tiwi sempat berencana untuk melaporkan balik dugaan pencemaran nama baik tersebut. Namun, ia memutuskan untuk menunda langkah hukum tersebut setelah unggahan yang menyerangnya di TikTok sudah dihapus. Meski demikian, Ning Tiwi menegaskan bahwa hal itu tidak akan menyurutkan niatnya untuk memperjuangkan hak-haknya yang terabaikan. Ia merasa bahwa keadilan harus ditegakkan dan utangnya harus dikembalikan. "Yang jelas saya sudah menjelaskan kronologi sebenarnya kepada penyidik secara detail. Saya tidak bersalah dalam konteks pencurian, saya hanya ingin hak saya kembali. Ini soal keadilan dan integritas. Saya tidak akan berhenti sampai masalah utang ini diselesaikan," tandasnya dengan penuh keyakinan.
Situasi ini menempatkan Ning Tiwi dalam posisi yang sulit, di mana ia harus menghadapi tuduhan pidana sekaligus berjuang untuk mendapatkan kembali haknya atas utang piutang. Sebagai mantan calon wali kota, reputasi dan integritas adalah hal yang sangat krusial. Tuduhan pencurian ini, meskipun ia bantah, berpotensi merusak citra publik yang telah ia bangun selama ini. Oleh karena itu, ia bertekad untuk membersihkan namanya dan membuktikan kebenaran di balik perseteruan ini.
Sementara itu, pihak kepolisian melalui Kasatreskrim Polres Probolinggo Kota, Iptu Zaenal Arifin, membenarkan adanya laporan terkait dugaan pencurian tersebut. "Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Kami sudah memeriksa pelapor maupun terlapor, dan akan mendalami keterangan yang ada dari kedua belah pihak. Kami juga akan mengumpulkan bukti-bukti tambahan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan terang benderang mengenai kejadian ini," singkatnya. Iptu Zaenal Arifin menambahkan bahwa proses penyelidikan akan dilakukan secara profesional dan transparan, tanpa keberpihakan kepada salah satu pihak. Penyidik akan memeriksa rekaman CCTV jika ada, saksi-saksi lain yang mungkin berada di lokasi kejadian, serta menganalisis data dari ponsel yang diduga dicuri untuk melengkapi berkas perkara.
Kasus ini menjadi perhatian publik di Probolinggo, mengingat status Ning Tiwi sebagai mantan calon kepala daerah. Banyak pihak menantikan bagaimana kelanjutan penyelidikan ini akan berakhir dan apakah sengketa utang piutang yang menjadi akar masalah dapat diselesaikan dengan adil. Kedua belah pihak kini sama-sama berpegang pada versi cerita masing-masing, dan tugas penyidiklah untuk mengungkap kebenaran di balik konflik yang rumit ini. Pertarungan hukum ini tidak hanya akan menentukan nasib ponsel yang menjadi objek sengketa, tetapi juga reputasi dan hak-hak finansial yang diperjuangkan oleh Ning Tiwi.
rakyatindependen.id